Pebisnis Harus Antisipasi Dark Web

youngster.id - Saat Asia Pasifik menjadi salah satu perekonomian digital terbesar di dunia, semakin banyak pula pertukaran data pribadi yang terjadi. Dengan lebih dari 2,007 juta pengguna Internet yang unik, menempati hampir setengah dari populasi wilayah Asia Pasifik, pengadopsian teknologi yang semakin cepat di Asia Pasifik mengarah ke semakin banyaknya jumlah perangkat.

 “Kini, hampir tidak mungkin bagi bisnis modern untuk beroperasional tanpa pemanfaatan data, yang juga disadari oleh penjahat siber. Asia Pasifik menjadi target empuk untuk kejahatan siber, terutama di ranah dark web,” kata Budi Janto, Country General Manager, Lenovo Indonesia dalam keterangannya baru-baru ini.

Banyaknya jumlah perangkat dan endpoint berarti adanya semakin banyak peluang untuk terjadi penyusupan oleh penjahat siber, terutama jika pengguna dan perusahaan gagal melakukan antisipasi.

“Walaupun komunitas dark web di Asia, termasuk di Indonesia, masih lebih kecil dibanding negara Barat, tapi tetap saja ini ancaman yang tidak bisa dihindari,” ujarnya.

Menurut dia, “Dark web” mengacu pada bagian internet yang tidak terindeks oleh mesin pencari. Akses ke dark web membutuhkan perangkat lunak khusus, yang memungkinkan pengguna mengungkapkan indentitas dan aktivitasnya dibalik enkripsi yang berlapis-lapis. Karena dark web itu anonim, diperkirakan lebih dari 50% situs di dark web digunakan untuk kegiatan kriminal.

Meskipun banyak yang mengasosiasikan dark web dengan narkoba atau artefak curian, banyak juga terjadi penjualan data digital, seperti username akun, alamat email, dan kata sandi. Data-data ini biasanya dijual oleh penjahat siber, yang mendapatkan akses ke informasi sensitif, seperti data keuangan dan kesehatan. Penjualan data pribadi ini menjadi bisnis yang tumbuh subur, dengan harga per identitas bisa mencapai ratusan dolar.

Bisnis harus menaruh perhatian untuk memerangi ancaman pencurian data yang riil dan semakin meningkat ini. Bagaimana pun juga, lebih dari setengah serangan siber di Asia Tenggara telah mengakibatkan kerugian lebih dari US$1 juta.

.“Perusahaan perlu mengambil tindakan secepatnya, untuk memastikan mereka memiliki solusi keamanan yang tepat dan pendekatan strategis pada perangkat yang digunakan di tempat kerja modern,” ucap Budi.

Selain itu, perusahaan juga menghadapi kemungkinan terjadinya krisis reputasi, misalnya perginya pelanggan karena tidak lagi percaya atau yakin. Menurut Ponemon Instite, perusahaan yang kehilangan 1% pelanggannya bisa mengalami kerugian USD 2.8 juta, sementara perusahaan yang kehilangan 4% pelanggannya bisa rugi USD 6 juta secara rata-rata. Walaupun sulit dihitung dari segi kuantitas, kehilangan reputasi bisa mempengaruhi peluang bisnis di masa depan. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrem, perusahaan bisa bangkrut.

“Perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan harus bekerjasama untuk memerangi ancaman. Keamanan siber saat ini harus lebih dari sekadar fokus pada produk. Keamanan siber membutuhkan solusi menyeluruh, pendekatan yang holistik, dan pendekatan yang lebih terkalkulasi untuk perangkatnya. Ini sangat krusial di era tenaga kerja mobile, di mana pekerjaan tidak lagi terbatas di kantor saja dan ancaman siber semakin meningkat,” ungkapnya.

STEVY WIDIA

Exit mobile version