youngster.id - Tanggal 2 Agustus 2016, Pemerintah mengeluarkan Surat Edaran mengenai Implementasi Biaya Interkoneksi tahun 2016.
Surat edaran No 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani Plt. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Geryantika Kurnia ini memastikan biaya interkoneksi diturunkan dari Rp 250/menit menjadi Rp 204/menit. Juga, penerapan perhitungan pola simetris atau tidak berbasis biaya penggelaran jaringan yang telah diinvestasikan oleh masing-masing operator.
Padahal, perlu diketahui bahwa Peraturan biaya Interkoneksi ini sesungguhnya hanya sangat berpengaruh kepada bisnis antar-operator (B2B), dan tidak berdampak langsung pada tarif ritel (tarif yang dibayarkan pelanggan).
Dr. Fahmy Radhi, MBA, Pengamat Ekonomi dan Bisnis UGM mengatakan langkah penetapan pola biaya interkoneksi secara simetris yang besarannya sama untuk semua operator sangatlah tidak tepat.
Secara teori, penetapan biaya interkoneksi secara simestris akan mencapai efisiensi di pasar, hanya jika syarat coverage jaringan sudah menjangkau seluruh wilayah di suatu negara dan mencapai keseimbangan jaringan antar operator. Kalau syarat itu belum terpenuhi, kebijakan penetapan biaya interkoneksi secara simetris akan menyebabkan “blunder” bagi industri telekomunikasi. “Tidak hanya menghambat pembangunan jaringan, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat, sehingga tidak sesuai dengan tujuan pemerintah dalam menetapkan biaya interkoneksi,” ucap Fahmy.
Di Indonesia coverage gap antar-operator telekomunikasi masih sangat tajam. Data menunjukan bahwa total BTS yang sudah dioperasikan oleh operator telekomunikasi di Indonesia baru sebanyak 249 ribu BTS, di antaranya dimiliki Telkomsel sekitar 46,6 %, XL 23,7 %, Indosat 21,3 %, dan Smart 6,02 %. Dalam kondisi adanya coverage gap yang masih tajam ini, Indonesia mestinya menerapkan kebijakan asimetris, yaitu penetapan biaya yang besarannya berbeda di antara operator. Kalau kebijakan simestris dipaksakan dikawatirkan akan menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan industri Telekomunikasi di Indonesia.
Selanjutnya, keputusan penentuan perhitungan biaya interkoneksi pola simetris yang digunakan Kominfo tersebut sangatlah tidak bijak. Pasalnya sampai saat ini biaya interkoneksi yang berlaku di Indonesia sebesar Rp 250 per menit merupakan salah satu biaya interkoneksi termurah dibandingkan negara lain apalagi sekarang telah diturunkan menjadi Rp 204 per menit.
Contohnya, di Jepang dan Philipina yang kondisi geografisnya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Jepang memberlakukan biaya interkoneksi berkisar Rp 1.447Â hingga Rp 2.108Â permenit. Sedangkan untuk Philipina menetapkan Rp 1.184 permenit. “Berdasarkan perbandingan harga tersebut, adakah urgensi bagi Pemerintah untuk menurunkan biaya interkoneksi di Indonesia?,” tanya Fahmy.
Fahmi mencium gelagat penurunan biaya interkoneksi tersebut justru berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat dan menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi di Indonesia. Selain coverage gap pembangunan jaringan telekomunikasi yang tak merata, harga yang ditetapkan pemerintah di bawah harga pokok penjualan (HPP) para operator telekomunikasi. “Tentu saja langkah pemerintah ini akan merugikan para operator penyelenggara jaringan telekomunikasi,” pungkas Fahmy.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IÂ DPR-RIÂ Ahmad Hanafi Rais, menilai selama ini banyak kebijakkan Kominfo yang kurang adil dan tidak proposional dan condong berpihak kepada kepentingan asing atau sekelompok industri. “Indikasi kurang adil dan tidak proposional Kominfo ini sudah menjadi kegelisahan teman-teman di Komisi I. Seharusnya pemerintah bisa menjadi wasit yang benar. Dengan kondisi tersebut dalam waktu dekat kami akan meminta penjelasan dari Menkominfo,” terang Hanafi di Gedung Parlemen.
ANGGIE ADJIE SAPUTRA