youngster.id - Belakangan ini bisnis berbagi ruang kerja (coworking space) meningkat pesat dalam dua tahun terakhir ini. Hingga Juni 2018, data Asosiasi Coworking Indonesia menunjukkan ada sekitar 200 unit coworking space yang tersebar di Indonesia. Namun bisnis ini belum menemukan patron sehingga terkendala regulasi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Coworking Space Indonesia, Felencia Hutabarat menyampaikan, jumlah coworking space pada tahun 2010 hanya sekitar 41 unit. Setahun kemudian meningkat menjadi 150 unit, dan kini sudah lebih dari 200 unit.
“Bisnis coworking space terbilang masih baru. Dalam dua tahun terakhir peningkatan jumlah unit coworking space mencapai 400% dengan lokasi di sejumlah daerah seperti Jakarta, Bandung, Medan, Batam hingga Manado. Bahkan teman-teman di Papua sedang merencanakan membangun coworking space,” ucap perempuan yang akrab disapa Elen itu, dalam diskusi yang digelar Cocowork baru-baru ini di Jakarta.
Meski meningkat pesat, namun industri ini mash memiliki banyak kendala terutama dari sisi regulasi maupun perizinan. “Kami tidak punya nomenklatur, sehingga perizinan dan pajaknya masih membingungkan,” ujarnya.
Elen memberi contoh, pemahaman pemerintah daerah (pemda) atas coworking space sama dengan kantor virtual. Akibatnya beberapa waktu lalu, sejumlah coworking space di Jakarta ditutup. Namun setelah dikeluarkan SE PTSP DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2016, yang merupakan pengembangan dari Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 1014 tentang zonasi usana ini dapat dibuka kembali pada 2016.
Sayangnya, ini baru terjadi di DKI Jakarta. Sementara, coworking space mulai dibangun di daerah-daerah lain. “Jakarta sudah lebih mapan secara akses. Kami harap kota-kota kecil lainnya bisa juga merasakan fasilitas yang sama,” ujarnya.
Masalah lain, karena ketiadaan nomenklatur juga, pengusaha coworking space kesulitan memenuhi kewajiban pajak. Sebab, tidak ada aturan yang menjelaskan perhitungan pajak industri ini. Sementara, menurutnya bisnis ini hampir mirip dengan fitness center karena memperoleh pendapatan dengan skema per jam. Namun, bisa juga disebut perkantoran karena menyewakan ruang bekerja.
Bahkan, pajak coworking space disamakan dengan warung internet (warnet) di beberapa tempat, karena menyediakan tempat kerja dan ada fasilitas internet. “Pembayaran pajak kami bingung. Kami tidak hanya sewakan ruangan, tetapi ruang penuh aktivitas. Karena pajaknya belum jelas, kami berargumen terus dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP),” ungkap Ellen.
Belum lagi, ada coworking space yang berafiliasi dengan bisnis restoran. Alhasil, dikenakan juga pajak restoran, yang semestinya itu dipisah. Di beberapa daerah, bisnis coworking space juga dikenakan retribusi daerah, padahal nomenklaturnya saja tidak ada.
Sebagai solusi, menurut Ellen, asosiasi ini telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) supaya ada kejelasan nomenklatur. Dengan begitu, industri ini bisa berkembang dengan baik dan memenuhi peraturan. “Kami mau bayar pajak kok,” ujarnya.
Bila pemerintah mendukung industri ini, ia optimistis pengaruhnya terhadap perekonomian juga akan baik. Sebab, ia mengklaim bisnis ini bisa membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berekspansi dengan biaya yang lebih murah.
STEVY WIDIA
Discussion about this post