youngster.id - Koneksi 5G di Asia Pasifik (APAC) diperkirakan akan mencapai 430 juta pada tahun 2025, meningkat dari 200 juta pada akhir tahun 2021, menurut laporan terbaru dari asosiasi industri GSMA. Di sisi lain upaya serangan siber juga meningkat tajam dan kerap menginterupsi aktivitas bisnis.
Vice President and Regional Chief Security Officer, Asia Pacific and Japan, Palo Alto Networks Sean Duca mengatakan, fluiditas serangan siber saat ini mengharuskan para pemimpin bisnis untuk menata kembali pendekatan keamanan siber mereka secara konstan.
“Pemimpin bisnis harus mempertimbangkan solusi, teknologi, dan pendekatan inovatif yang mengungguli mekanisme tradisional. Perusahaan-perusahaan memiliki banyak hal untuk dipertimbangkan di tahun ini, tetapi dengan tetap waspada dan siaga, mereka akan mampu mempertahankan diri dari ancaman yang terus berkembang,” kata Sean dalam jumpa pers virtual, Kamis (12/1/2023).
Untuk itu, prediksi Keamanan Siber Asia Pasifik (APAC) Palo Alto Networks 2023 menghadirkan 5 insights teratas dari para pakar keamanan siber untuk membantu organisasi mencapai keamanan yang lebih baik di masa mendatang. Di dalam ranah keamanan siber, prediksi-prediksi ini sangatlah relevan, karena selain perilaku para kriminal siber, prediksi tersebut mempertimbangkan perspektif yang lebih luas – mulai dari aspek teknologi hingga tren di tempat kerja serta perkembangan undang-undang dan peraturan siber.
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah akselerasi adopsi 5G akan meningkatkan level kerentanan. Koneksi 5G di Asia Pasifik (APAC) diperkirakan akan mencapai 430 juta pada tahun 2025, meningkat dari 200 juta pada akhir tahun 2021, menurut laporan terbaru dari asosiasi industri GSMA.
Walaupun memberikan kelincahan, skalabilitas, dan kinerja yang lebih besar, pemanfaatan teknologi cloud turut mengekspos core 5G ke kerentanan keamanan cloud. Serangan skala besar bisa datang dari mana saja, bahkan dari dalam jaringan operator.
Kedua, pentingnya mengamankan perangkat medis yang terkoneksi. Digitalisasi memungkinkan berbagai kapabilitas baru dalam industri kesehatan, seperti layanan kesehatan virtual dan diagnosa jarak jauh. Prevalensi sistem lama dan data sensitif yang menarik bagi penjahat siber menjadikan industri kesehatan sebagai sasaran empuk, sehingga pelaku ancaman siber akan memfokuskan perhatian pada industri ini.
Ketiga, serangan terhadap cloud supply chain akan mengganggu bisnis. Berbagai perusahaan mulai mengadopsi arsitektur cloud native, yang berarti mereka juga menggunakan kode pihak ketiga di dalam aplikasi penting mereka.
“Masalah ini berada di dalam wilayah cloud supply chain dan kita akan melihat lebih banyak gangguan di tahun-tahun mendatang yang didorong tren adopsi cloud. Oleh karena itu, di dalam riset terbaru kami, 37% organisasi menduga serangan software supply chain akan menjadi jenis serangan yang mengalami peningkatan terbesar di tahun 2023,” kata Ian Lim Field Chief Security Officer APAC Palo Alto Networks.
Keempat, dengan semakin bergantungnya dunia pada data dan informasi digital, jumlah peraturan dan undang-undang yang didorong keinginan untuk melindungi warga negara serta memastikan ketersediaan layanan penting akan meningkat. Maka, perbincangan seputar lokalisasi dan penguasaan data akan semakin intens di tahun 2023.
Terakhir, Metaverse akan menjadi Area Bermain baru Bagi Para Pelaku Kejahatan Siber. Sebesar US$54 miliar (setara lebih dari Rp 841 triliun) diperkirakan akan dihabiskan setiap tahunnya untuk produk virtual. Karena itu, metaverse dapat menjadi area bermain baru bagi penjahat siber.
“Mulai dari memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) yang berfokus pada pencegahan serangan hingga mengaplikasikan strategi dan arsitektur Zero Trust. Namun, juga yang lebih penting adalah harus dibangunnya resiliensi untuk mampu menanggapi dan memulihkan diri dari ancaman yang tidak terhindarkan,” pungkas Sean.
STEVY WIDIA
Discussion about this post