Sistem Penghitungan Tiket Bioskop Sebaiknya Terintegrasi

Antrian penonton film. (Foto : Ilustrasi/Youngsters.id)

youngster.id - Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengusulkan penerapan Sistem Pelaporan Tiket Bioskop Terpadu (Integrated Box Office System/IBOS) untuk menghitung penjualan tiket bioskop secara terintegrasi sebagai bahan mengevaluasi perfilman.

“IBOS adalah metode pencatatan penjualan tiket online dari setiap layar pertunjukan dalam waktu berjalan (real time). Jadi bisa digunakan untuk melihat data jumlah dan karakteristik penonton,” kata Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Bekraf Endah W Sulistianti dalam dialog investasi dilansir Antara, Kamis (21/7/2016) di Jakarta.

Usulan itu diharapkan bisa masuk dalam turunan UU Nomor 33/2009 tentang Film, yang kewenangannya berada di Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan kini tengah disusun.

Menurut Endah, selama ini tidak ada data valid mengenai jumlah penonton untuk satu film sehingga produser film tidak bisa secara detail mendapatkan hitungan data penonton atau hitungan pajak yang harus dibayar dari hasil karyanya.

“Produser film rata-rata melakukan riset ke penonton sendiri. Ini beda dengan asing yang harus hitung mereka dapat berapa dan harus bayar pajak berapa,” katanya. Dia menambahkan, sistem pelaporan tiket bioskop terpadu itu nantinya akan dikelola pemerintah, dalam hal ini Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) Kemendikbud sebagaimana diterapkan di Korea Selatan.

Dengan ditangani pemerintah langsung, diharapkan ada data transparan yang bisa didapat untuk mendorong pertumbuhan industri perfilman nasional.

“Sistem seperti itulah yang menjadi pemicu perfilman di Korea. Sistem ini juga bisa jadi acuan untuk memperoleh insentif,” kata Endah.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Sheila Timothy mengatakan kendala yang tengah dihadapi industri film adalah minimnya data valid dan riset mengenai sektor tersebut.

Menurut produser film itu, sektor perfilman butuh data valid untuk diolah guna melihat pangsa pasar dan menentukan target pertumbuhan. “Kita butuh data yang diolah untuk melihat seberapa besar pangsa pasar dan bagaimana menentukan target,” katanya.

Meski Indonesia punya potensi besar di sektor perfilman, tambah Sheila, pertumbuhan sektor tersebut sangat lambat karena belum adanya dukungan pemerintah. Ia berharap, dengan dikeluarkannya sektor perfilman dari Daftar Negatif Investasi (DNI), dapat mendorong pertumbuhan sektor tersebut di bidang produksi, peredaran dan eksibisi.

“Kita punya potensi dan banyak kelebihan. Sayangnya kita terlambat. Saat 2011 Vietnam membuka pasarnya, ternyata lima tahun setelahnya pangsa pasar mereka naik 200 persen. Produksi filmnya pun naik 100 persen. Sedangkan Indonesia masih jalan di tempat,” papar Sheila.

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version