Solusi Teknologi Smart City Dorong Kota Yang Aman dan Inklusif Bagi Perempuan

Perempuan perkotaan

Perempuan adalah kaum yang rentan di lingkungan perkotaan. (Foto: ilustrasi/istimewa)

youngster.id - Kota yang ramah dan inklusif bagi perempuan diyakini akan menjadi kota yang layak huni oleh masyarakat. Pembangunan infrastruktur melalui jaringan teknologi informasi juga menjadi faktor penting dalam memberikan rasa aman. Keberadaan kamera pengawas atau CCTV di ruang publik juga menjadi penting agar dapat memberikan rasa aman maupun tingkat kepercayaan diri bagi perempuan dalam beraktivitas.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komnas Perempuan pada 2021, kasus kekerasan pada perempuan justru terjadi lebih banyak di daerah perkotaan. Kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan pada 2021 tercatat sebesar 338.496 kasus dimana angka ini meningkat 50% dari laporan tahun 2020 sebanyak 226.062 kasus yang terverifikasi.

Hasil survei pun menunjukkan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan ini lebih banyak terjadi di perkotaan dengan persentase 27.8% dan 23.9% di pedesaan. Data-data ini disampaikan berdasarkan survei pengalaman hidup perempuan nasional 2021 dengan responden perempuan berusia 15-64 tahun yang tersebar di 160 Kabupaten/Kota pilihan pada 12.800 rumah tangga.

Qlue berkolaborasi dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan sesi diskusi bertemakan “Mewujudkan Kota Inklusif Bagi Perempuan”. Keberadaan kota yang inklusif terhadap perempuan juga diyakini akan menjadikan kota tersebut sebagai kota yang layak huni dan memiliki taraf hidup yang baik.

President Qlue Maya Arvini mengatakan, sebagai perusahaan penyedia ekosistem smart city Qlue mendorong terciptanya kota yang ramah dan inklusif bagi perempuan.

“Model pembangunan kota Jakarta yang terjadi selama kurun waktu 10 tahun terakhir juga bisa menjadi acuan bagaimana mewujudkan pembangunan kota yang inklusif bagi perempuan. Masifnya pembangunan berjalan selaras dengan kemudahan mobilitas melalui integrasi transportasi dan terbukanya akses informasi. Pembangunan infrastruktur pendukung seperti lampu penerangan hingga rambu lalu lintas juga menjadi aspek yang ikut mempengaruhi rasa aman saat beraktivitas,” kata Maya dalam keterangannya, Sabtu (21/5/2022).

Menurut dia, solusi Qlue yang dapat menjadi saluran pelaporan warga juga bisa menjadi sarana dalam mendukung pembangunan kota yang inklusif bagi perempuan. Aplikasi pelaporan warga yang disediakan oleh Qlue ini sudah digunakan oleh lebih dari 30 kota di Indonesia. Sedangkan, teknologi kecerdasan buatan untuk meningkatkan utilitas kamera CCTV sudah diimplementasikan di kota Minamichita, Jepang.

Selain itu, dia menekankan faktor edukasi juga penting karena pembangunan kota yang inklusif juga mesti diimbangi pemahaman yang baik dari kaum perempuan, karena tingkat literasi digital perempuan di Indonesia masih berada di angka 59% di 2021 sesuai data Biro Pusat Statistik. “Jadi kalau pembangunan suatu kota direncanakan secara baik, tentu akan menjadi kota yang cerdas dan inklusif. Dan saya yakin itu yang akan dilakukan melalui pembangunan ibu kota baru nanti,” ujar Maya.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan, syarat kota yang inklusif atau ramah bagi perempuan adalah menjadi kota yang juga peka terhadap kelompok rentan lainnya seperti penyandang disabilitas, lansia, kelompok minoritas, hingga anak-anak. Salah satu kriteria umum kota yang inklusif adalah tidak adanya peraturan daerah yang bersifat diskriminatif pada gender, terutama perempuan.

Selain itu, sebuah kota beserta seluruh instansinya juga menerima masukan maupun kritik dalam aspek perkotaan agar lebih ramah terhadap perempuan maupun kelompok rentan lainnya. Menurut Rainy, Komnas Perempuan juga aktif dalam memberikan rekomendasi tata ruang yang melibatkan warga setempat untuk dapat bersama-sama mewujudkan kota yang ramah bagi perempuan.

“Kota yang inklusif terhadap perempuan adalah kota yang dapat mengukur pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi kota yang ramah terhadap HAM bukan hanya ramah terhadap perempuan, tetapi juga kelompok rentan lain seperti penyandang disabilitas, lansia, hingga anak-anak. Intinya, kota yang inklusif ini harus merangkul semua kelompok masyarakat, terutama kelompok rentan,” kata Rainy.

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version