youngster.id - Belakangan ini Indonesia ramai digelar aksi unjuk rasa. Tetapi ada “unjuk rasa” berbeda yang ditawarkan Yayasan Kelola. Mereka melibatkan beragam gagasan dan praktek pekerja seni dan kalangan profesional di Indonesia yang mewakili strategi seni untuk transformasi sosial dalam sebuah buku berjudul “Unjuk Rasa : Aktivisme-Seni-Performativitas.
“Penulisan dan penerbitan buku ini dilatarbelakangi oleh Program Hibah Cipta Perdamaian yang telah dijalankan oleh Kelola sejak 2015. Program Hibah Cipta Perdamaian yang didukung oleh Kedutaan Besar Denmark di Indonesia memfokuskan diri dalam pemberian dukungan kepada para seniman yang mengedepankan agenda transformasi sosial dalam praktik keseniannya. Utamanya para seniman yang tinggal dan berada di wilayah Indonesia Tengah dan Timur,” ungkap Gita Hastarika, Direktur Yayasan Kelola dalam keterangannya, Senin (3/12/2018) di Jakarta.
Bertempat di Galeri Cipta 3, Kompleks Taman Ismail Marzuki, menandai peluncuran buku ini, dilakukan acara diskusi yang dihadiri oleh Melani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Indonesia, Andy Yentriyani, seorang Peneliti dan Aktivis untuk masalah-masalah HAM dan Isu-isu seputar perempuan. Acara diskusi dan bedah buku ini dipandu oleh Manshur Zikri, sebagai Moderator.
“Unjuk Rasa adalah ajakan untuk membangun pengetahuan bersama secara partisipatif melalui pengalaman keseharian menubuh dalam ruang waktu, mengolah kesabaran dan rasa sakit untuk merakit kembali kebersamaan melalui keriaan,” ungkap Melani Budiantara.
Menurut Melani, ada 16 pengalaman unjuk rasa ini mewakili bangkitnya seni warga yang partisipatoris di berbagai pelosok Indonesia untuk membangun ruang-ruang dialog yang setara dan memberdayakan, di dalam, bukan di luar tatanan global yang telah selesai mewujud.
Buku ini menerjemahkan istilah Unjuk Rasa sebagai suatu wacana estetiko-politik dalam proses demokratisasi di Indonesia. Istilah ini mengandung aspek kreatif dalam medan visual (unjuk—menunjukkan, memperlihatkan, menampakkan) dan aspek penginderaan tekstur pengetahuan yang sensibel (rasa—sumber epistemik yang lekat dengan pengalaman menubuh).
Mewakili salah satu penulis dalam buku ini, Manuel Alberto(Abe) Maia – Komunitas Film Kupang, mengungkapkan konflik selalu menyisakan cerita yang tak akan ada habisnya, begitu juga yang dialami rakyat Maubere sejak tahun 1975 hingga tahun 1999.
“Meskipun Referendum ‘99’ telah menjadikan kembali Timor Leste sebagai Negara merdeka, akan tetapi tersisa cerita lain bagi mereka yang sampai saat ini masih berada di kamp-kamp pengungsi dengan status yang menggantung. Berbagai gagasan dan ide-ide besar yang bertemakan rekonsiliasi sepertinya menguap tak berbekas,” kata Abe.
Kegelisahan Abe diungkapkan dalam sebuah proses berkesenian dalam penulisan naskah film “Siko” yang berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga pasca referendum 1999 di Timor Leste. Naskah yang ditulisnya ini kemudian disutradarai sendiri oleh Abe. Proses film ini sendiri dimaksudkan untuk menjadi salah satu metode healing dengan menjadikan karakter tokoh Siko dan keluarga sebagai medium refleksi terhadap konflik tahun 1999 tersebut.
STEVY WIDIA