Alain Bunjamin : Mengangkat Perekonomian Perajin Kriya Bambu

Alain Bunjamin, Co-founder & CEO Studio Dapur (Foto: Dok, Pribadi)

youngster.id - Di tengah gempuran perlengkapan rumah tangga berbahan plastik, stainless steel dan enamel, peralatan berbahan anyaman bambu masih bertahan. Apalagi material bambu merupakan salah satu material unggulan dalam penerapan konsep eco socialpreneur dengan banyak keunggulan.

Salah satu daerah penghasil kerajinan bambu adalah Tasikmalaya, Jawa Barat. Sayangnya, para perajin di sana masih belum merasakan buah manis dari hasil karya kriya mereka. Ingin memperbaiki perekonomian para perajin bambu itu, Alain Bunjamin bersama rekan-rekannya membangun Studio Dapur.

Usha rintisan berbasis sosial (sociopreneur) ini mencoba menerapkan konsep eco socialpreneur melalui produk bambu yang didesain dengan kualitas tinggi dan diproduksi oleh perajin bambu berpengalaman di Tasikmalaya.

“Kegiatan wirausaha ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di desa sekitar perajin. Di samping itu, lingkungan di desa tersebut diharapkan dapat dipelihara kelestariannya,” ungkap Alain kepada youngster.id.

Alain mengungkapkan, kondisi ekonomi para perajin bambu tradisional menjadi perhatian dan keprihatinan mereka sejak awal. Studio Dapur didirikan Alain dan kedua rekannya dari jurusan Desain Produk Institut Teknologi Nasional Bandung, yakni Maulana Fariduddin Abdulah dan Mega Pitriani Puspita.

Sebelum membuka jenis usaha kriya bambu ini, Alain dan rekannya selalu menyisihkan waktu bertemu dengan para perajin dan tukang bambu asal Tasikmalaya di dekat kampus mereka dan melihat langsung fakta tentang kesejahteraan perajin bambu yang di bawah rata-rata perajin produk-produk lain. Ketika itu, harga per satuan produk sangat rendah dan menjadi penyebab kesejahteraan dari perajin anyaman bambu juga kurang terpenuhi.

Pemuda lulusan Desain Produk, Institut Teknologi Nasional Bandung ini menuturkan alasan lain yang  mendorong dirinya membuka usaha ini karena melihat beberapa persoalan di industri kerajinan bambu di dalam negeri yang tidak berkembang. Selain itu, degradasi keahlian perajin yang disebabkan masyarakat melihat bambu sebagai material murahan dan berkualitas buruk. Hingga pasar menuntut bambu harus murah. Akibatnya perajin membuat produk asal-asalan, kualitasnya buruk, desainnya tidak berkembang selama puluhan tahun.

“Industri bambu yang tidak berkembang. Degradasi keahlian perajin yang disebabkan masyarakat melihat bambu sebagai material murahan dan berkualitas buruk. Pasar menuntut bambu harus murah. Akibatnya perajin membuat produk asal-asalan, kualitasnya buruk, desainnya tidak berkembang selama puluhan tahun. Begitu juga teknik produksi industri lokal. Padahal bambu memiliki potensi sangat tinggi dan dikenal sebagai material sangat ramah lingkungan. Negara-negara lain sudah bisa menciptakan teknologi baru untuk mengolah material bambu, sementara kita yang punya ratusan spesies bambu malah menebang habis pohon-pohon bambu. Sehingga, perlu ada perubahan mindset di masyarakat dan perajin supaya industri bambu lokal dapat berkembang dan menyejahterakan masyarakat,” papar lelaki kelahiran Bandar Lampung, 04 Januari 1992.

 

Produk Kualitas Ekspor

Alain menuturkan, awal berdirinya usaha kriya bambu ini bermula dari proyek kuliah Desain Produk di Itenas. Ketika itu rekannya Mega keliling-keliling dari Bandung sampai Tasikmalaya untuk mencari perajin bambu yang mampu membuatkan desainnya, tetapi sulit sekali ketemu yang pas.

“Sampai akhirnya kami menemukan satu perajin yang merekomendasikan perajin artisan yang kemudian menjadi partner kami. Dari perkenalan itulah akhirnya kami mendapat kesempatan memberikan pembinaan bagi perajin di daerah tersebut. Dengan melakukan desain ulang berbekal ilmu yang kami pelajari di kampus dulu, kami merancang barang-barang dari kerajinan bambu yang bervariasi, lebih halus dan berkelas,” cerita Alain.

Sang perajin yang bernama Toto pun digandeng sebagai patner ketika mereka mendirikan Studio Dapur pada 2016. Nama itu dipilih mengingat peralatan berbahan bambu banyak digunakan di dapur. Selain itu ketiganya juga suka berwisata kuliner yang tentu akrab dengan kegiatan di dapur.

Sesungguhnya butuh waktu 6 bulan bagi Alain dan rekan-rekannya mendirikan startup ini. “Risetnya selama 6 bulan, karena kami tidak ingin main-main ketika mendirikan Studio Dapur. Makanya, risetnya lumayan lama,” ujar Alain.

Dengan keterampilan yang mereka miliki, maka Alain dan rekan-rekannya membina para perajin bambu di daerah Tasikmalaya untuk meningkatkan produk menjadi berkualitas ekspor. Produk kerajinan bambu yang diciptakan diantaranya mulai dari : tudung saji, baki, wadah multifungsi mulai dari tatakan minuman dan tempat sumpit dan lain sebagainya.

Studio Dapur mengedepankan desain futuristik dan unik. Hal ini, tentunya menjadi kekuatan dibanding produk-produk kriya bambu lainnya. Menurut Alain, dalam hal ini Studio Dapur selalu menghasilkan desain-desain orisinil, tidak menyontek produk-produk yang sudah ada di pasaran dan selalu memegang prinsip ramah lingkungan di setiap produknya.

“Selama ini, setiap produk yang kami hasilkan selalu dengan desain orisinil, tidak menyontek produk-produk yang sudah ada di pasaran. Kami berusaha memegang prinsip-prinsip fair trade seperti teknik produksi yang ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia beracun, serta membayar upah artisan dengan layak. Termasuk memberikan tunjangan kesehatan atau lainnya kepada para perajin,” paparnya. Keunggulan itu membuat desain produk Studio Dapur tidak banyak dapat diikuti oleh pesaing-pesaing.

Alain mengungkapkan tantangan terbesar dari bisnis ini adalah dalam mengubah mindset para perajin bambu. “Kami harus menghadapi kebiasaan yang sulit diubah seperti ketelitian, mengadaptasi teknik produksi yang baru, kesadaran mengejar standar produksi yang lebih tinggi,” terang lelaki berusia 28 tahun ini.

Selain itu, tantangan dari pasar. “Masyarakat masih men-stigma bambu sebagai produk murahan sehingga tidak bisa menghargai produk bambu bernilai tinggi. Itu menjadi tantangan yang selalu kami berusaha untuk pecahkan,” lanjut Alain.

Bahkan, Alain mengkaui, yang paling sulit adalah saat pertama kali mengenalkan produk ke pasar. Rupanya, harga produk Studio Dapur dinilai mahal untuk produk-produk bambu. “Banyak yang kaget, bahkan mengumpat, saat tahu harganya. Butuh waktu bagi kami menemukan pasar yang tepat, yaitu di Bali. Setelah itu, exposure brand kami mulai menaik seiring semakin sering ikut berbagai pameran atau pop up market,” klaim Alan bersemangat.

 

Alain Bunjamin bersama dengan Maulana Fariduddin Abdulah dan Mega Pitriani Puspita mendirikan Studio Dapur untuk memberdayakan para perajin kriya bambu (Foto: Dok, Pribadi)

 

Optimis

Sebagai bisnis sociopreneur, maka saham Studio Dapur selain dimiliki 3 co-founder-nya juga dibagi dengan master artisan Toto, dan kelompok binaan. Itu artinya, perajin binaan Studio Dapur juga turut memiliki perusahaan. Meskipun menurut Alain, mereka bekerja dengan gaji mingguan.

“Di akhir tahun mereka mendapat sharing profit dari perusahaan. Kami juga memberikan tunjangan BPJS kepada sebagian artisan binaan. Selain itu, peralatan dan teknik produksi dikembangkan bersama dengan artisan untuk menambah kapasitas produksi,” jelas Alain.

Di awal berdiri Studio Dapur menerapkan model business to business (B2B) dengan menggandeng industri perhotelan dan pariwisata. “Tetapi di saat pandemi ini, sektor perhotalan lumpuh sehingga kami harus menggeser pasar kami ke segmen B2C,” aku Alain.

Dia optimis bisnis ini dapat bertahan di tengah badai pandemi covid-19 yang melanda semua dunia usaha di Indonesia.  “Kami optimis. Produk bambu masih punya pasar yang sangat luas. Apalagi masyarakat semakin terbuka matanya untuk produk-produk ramah lingkungan dan yang mempunyai desain baik. Saat ini momentum yang sangat besar untuk industri kriya seperti bambu,” ucap Alain.

Mereka juga melakukan pendekatan sosial agar setiap produk-produk yang dihasilkan oleh Studio Dapur bisa lebih dikenal masyarakat, khususnya untuk kalangan milenial.

“Kami rutin ikut pameran dan menjelaskan keunggulan produk-produk bambu yang bernilai tinggi. Termasuk pentingnya tanaman bambu di masyarakat dan alasan kenapa artisan bambu harus dibayar lebih layak. Selain itu, kami juga mengadakan program-program workshop menganyam untuk memberikan kesadaran akan bernilainya keahlian menganyam bambu,” papar Alain.

Pertumbuhan pasar yang cepat membuat tim Studio Dapur sempat mencapai 20 orang. Ternyata hal itu kemudian menjadi beban, karena biaya operasional membengkak sementara penjualan malah menurun. Akirnya mereka mulai kembali dengan tim awal yaitu 5 orang. “Sekarang sudah mulai bertumbuh lagi menjadi 10 orang dengan tantangan baru, perubahan sifat dan permintaan pasar. Kami harus cepat adaptasi dengan segala keterbatasannya supaya tetap dapat berkembang,” sambungnya.

Di sisi lain, Alain menegaskan, target utama mereka adalah meningkatkan kesejahteraan bagi para perajin dan warga sekitar di desa binaan. “Mereka cukup terbantu dengan lapangan pekerjaan yang dihasilkan, upah yang layak, dan pendapatan yang stabil. Di samping itu, kami mendukung perkembangan industri kriya lokal yang berkualitas tinggi dengan standar desain dan produk yang kami hasilkan. Sehingga masyarakat lebih melek terhadap desain dan kualitas produk lokal,” tambahnya.

Sejumlah langkah pengembangan usaha siap dilakukan Alain dan tim ke depannya agar usaha dapat terus berkembang dan berkelanjutan. “Rencana pengembangan ke depan sudah ada. Salah satunya kami siap mengembangkan peralatan di workshop sehingga bisa mengefisiensi produksi,” ujarnya.

Sementara untuk persaingan usaha Alain menyebut kompetitor sebagai penanda bahwa industri ini semakin bertumbuh. Untuk itu, ia sendiri tak terlalu khawatir adanya persaingan di usaha sejenis.

“Kami terus berinovasi dalam hal desain dan teknik produksi sehingga terus menghasilkan produk-produk berstandar tinggi. Selain itu, di sini kami selalu mencari celah-celah pasar baru yang dapat dikembangkan dengan bahan baku bambu,” pungkas Alain.

 

=========================

Alain Bunjamin

==========================

 

FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia

Exit mobile version