Athalia Mutiara Laksmi dkk. : Menjembatani Komunikasi Para Penyandang Tuna Rungu Dengan Masyarakat

Athalia Mutiara Laksmi, Co-founder & CEO HearMe (Foto: Dok. Pribadi)

youngster.id - Penyandang disabilitas adalah bagian dari masyarakat. Mereka juga memiliki kemampuan untuk bisa  beraktivitas dan produktif. Untuk mendukung mereka, lahirlah berbagai inovasi yang ramah disabilitas, termasuk untuk menjembatani keterbatasan dalam hal komunikasi. Bahkan, inovasi ini menjadi peluang bisnis yang menarik.

Secara global WHO World Report on Disability pada Juni 2011 menunjukkan ada 1,1 miliar penyandang disabilitas di seluruh dunia. Sekitar 15% dari populasi dunia hidup dengan beberapa ragam disabilitas, 2-6% di antaranya mengalami kesulitan signifikan dalam fungsinya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Saat inin, belum ada angka pasti jumlah penyandang disabilitas di Indonesia. Namun berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional 2018, ada 14,2% penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas atau sekitar 30,38 juta jiwa.  Data lain dari sistem informasi penyandang disabilitas pada Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas pada Maret 2020 menyebut ada 197.582 jiwa penyandang disabilitas di Indonesia. Ini tentu bukan angka yang kecil.

Tetapi, kepedulian masyarakat akan hal ini juga mulai meningkat. Termasuk di kalangan anak muda. Seperti yang ditunjukkan oleh Athalia Mutiara Laksmi, Safirah Nur Shabrina, Octiafani Isna Ariani dan Nadya Sahara Putri yang mengembangkan aplikasi HearMe untuk para penyandang tuna rungu. Aplikasi ini membawa mereka menjadi salah satu finalis ajang Diplomat Success Challeng X di tahun 2019.

Athalia, CEO dan Co-founder HearMe mengatakan, konsep aplikasi ini untuk menjembatani komunikasi para penyandang tuli dan masyarakat. “Bahasa isyarat untuk orang tuli ini sulit dipahami, apalagi terkadang kosakata di setiap daerah juga berbeda-beda. Dengan aplikasi ini, mereka yang ingin berkomunikasi dengan teman tuli hanya perlu merekam suaranya. Karena secara otomatis, aplikasi tersebut dapat menerjemahkan ke bahasa isyarat dengan memunculkan gambar,” papar Athalia kepada youngster.id.

Dengan HearMe, diklaim Athalia, membuat semua orang bisa berkomunikasi memakai bahasa isyarat dengan penyandang tuna rungu. Begitu pun sebaliknya, para tuna rungu juga mampu berkomunikasi dengan masyarakat luas.

Mahasiswi Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB) ini terinspirasi dari pengalaman pribadinya. Beberapa waktu lalu, ketika hendak melakukan perjalanan dengan taksi online dia mendapat seorang supir yang ditemani putrinya. Ternyata pengemudi itu adalah penyandang tuna rungu, dan putrinya membantu untuk berkomunikasi dengan penumpang.

“Sering kali driver dirating rendah karena dinilai enggak sopan dengan penumpang dan sering miss communication. Padahal penumpang tidak tahu kalau si driver tuli jadi sering susah komunikasi. Nah dari situ kami mikir gimana caranya buat mengatasi masalah itu, sampai akhirnya menghasilkan HearMe,” kisah Athalia.

 

Kurang Percaya Diri

Athalia mengaku di awal mendirikan startup ini, dia merasa kurang percaya diri. Pasalnya, mereka berempat tidak memiliki latar belakang pendidikan IT. Namun melihat perkembangan zaman yang memang ke arah digital, dengan semua aktivitas didominais oleh teknologi, mereka yakin solusi yang diharapkan adalah lewat teknologi digital.

“Kami melihat masyarakat sudah terbiasa dengan kehadiran teknologi dan ini akan dapat menjadi solusi yang tepat. Karena itu kami memutuskan untuk menjadikan ini sebagai bisnis,” ujar Athalia.

Athalia menilai, memasuki society 5.0. berbagai jenis bisnis harus berdampak sosial terhadap masyarakat. Oleh karena itu, melalui penerapan teknologi ini mereka akan menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya disabilitas. Aplikasi ini bersifat satu arah, yakni dari non difabel ke penyandang difabel.

Penggunaan aplikasi yang simple dan cepat, tentu menjadi salah satu pembeda antara HearMe dari aplikasi sejenis yang selama ini ada. “Jadi selama ini hanya ada kamus bahasa isyarat. Ada juga Hand Talk, aplikasi dari Brasil yang mengajak penggunanya mencari satu-persatu gambar untuk berkomunikasi. Sedangkan HearMe ingin yang lebih cepat. Contoh saat saya menyebut nama saya Athalia, itu langsung keluar di aplikasi dalam bentuk traslate dari aplikasi kami. Jadi nggak perlu mencari satu-satu di kamus,” paparnya.

Keunggulan lainnya, suguhan animasi di aplikasi HearMe bisa muncul dalam bentuk 3D. “Ini menjadi pembeda, sekaligus menjadi keunggulan kami dari aplikasi sejenis. Dengan ini kami mencoba membuat orang-orang lebih aware untuk mengenal bahasa isyarat lewat teknologi,” ujar Athalia.

Menurut Athalia, aplikasi rancangannya ini telah diuji coba pada 100 orang yang sebagian adalah komunitas tuna rungu di wilayah Bandung, Jawa Barat. “Melihat hasilnya, pengguna merasa cukup terbantu dengan adanya aplikasi ini, terutama dalam hal komunikasi,” klaimnya.

Dia mengakui, saat ini pengguna aplikasi HearMe masih jauh dari yang diharapkan. Mereka terus melakukan pendekatan sosial untuk memperkenalkan aplikasi yang mulai diluncurkan pada akhir 2019 ini ke khalayak luas.  “Kami berharap ke depan lebih banyak pengguna yang bergabung di dalamnya. Alhamdulillah, saat ini aplikasi kami sudah di-download sebanyak 1500 pengguna,” katanya.

Athalia mengungkapkan, dalam memulai usaha ini tidak sedikit cibiran datang dari masyarakat, termasuk para difable tuli. Namun, di sisi lain, juga banyak yang mendukung.

“Dalam mendirikan usaha, meskipun itu baik, tentu ada saja yang kurang senang. Tapi keadaan itu, justru menguatkan kami untuk lebih semangat mengembangkan usaha yang sudah kami niatkan sejak awal. Cibiran selalu menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki aplkasi,” kata Athalia sambil tersenyum.

 

Athalia berharap dengan aplikasi HearMe ini akan dapat mengurangi diskriminasi, menyediakan fasilitas ramah-disabilitas, dan akan meningkatkan hak yang sama bagi para penyandang disabilitas. Juga, orang-orang lebih aware dengan bahasa isyarat (Footo: Istimewa/youngster.id)

 

Komitmen

Aplikasi HearMe telah ikut serta dalam sejumlah kompetisi. Antara lain Bandung Startup Pitching Day, yang diadakan di ITB. HearMe pun mendapatkan gelar The Most Innovative Idea dalam acara tersebut. Selain itu, aplikasi HearMe juga turut dalam Swiss Innovation Challenge di Bali dan mendapatkan peringkat kedua. Lalu pada kompetisi DSC 2918 aplikasi Hear Me mendapatkan modal hibah sebesar Rp 250 juta.

“Modal itu yang kami keluarkan, semua benar-benar dari dana hibah lomba. Menang lomba pertama dapat sebesar Rp 30 juta, terus kami running bisnis ini. Kemudian dapat sebesar Rp 60 juta, dan terus dapat lagi sehingga kami dapat terus mengembangkan aplikasi sampai saat ini,” ungkap Athalia.

Diakui Athalia, dalam mengembangkan aplikasi HearMe ini mereka menghadapi beragam kendala dan tantangan. Antara lain karena para foundernya yang masih kuliah, sehingga harus bisa berkomitmen untuk menjalankan bisnis ini. Athalia menuturkan hal ini sempat menjadi kendala tersendiri bagi mereka.

“Kendala dan tantangan banyak banget, karena ini bisnis sosial dan juga didirkannya juga oleh mahasiswa masih kuliah. Jadi kami para co-foundernya belum punya banyak pengalaman, belum punya banyak network. Kendalanya, sebenarnya dari komitmen,” ungkapnya.

Menurut Athalia, membangun startup itu modalnya besar, dan untuk balik modalnya cukup lama. Apalagi untuk bidang social enterprise, sehingga butuh struggle yang sangat besar dan keyakinan kuat supaya bisa tetap bertahan. “HearMe adalah bisnis berbasis sosial. Kami adalah sociopreneur,” tegas Athalia.

Oleh karena itu, lanjut Athalia, mereka mengembangkan bisnis dengan konsep B2B,B2C dan B2G.  “Kami tidak mau memberatkan customer. Karena itu untuk B2B kami akan melakukan pendekatan pada perusahaan-perusahaan yang memang mau memakai HearMe sesuai kebutuhan perusahaan. Kemudian B2C seperti di bandara, kami juga akan menampilkan Wifi khusus untuk menampilkan bahasa isyarat. Misalkan ada pengumuman bisa disampaikan dalam bentuk bahasa isyarat.  Dan kalau untuk B2G, kami akan meng-approach ke Kementrian Sosial, lebih dalam menyediakan fasilitas publik yang ramah tuli dan ramah disabilitas lainnya,” terangnya.

Athalia menegaskan, aplikasi ini tersedia dan digunakan secara gratis untuk masyarakat. Menurut dia, saat ini HearMe sedang dilengkapi dengan beberapa fitur tambahan yang berbayar. Misal fitur dalam bentuk penyediaan bahasa daerah. “Kami terus mengembangkan manfaat fitur lain melalui aplikasi ini, termasuk fitur voice atau teks,” kata Athalia.

Tak hanya itu, lanjut Athalia, aplikasi HearMe juga sedang melakukan pengembangan agar komunikasi nantinya bisa dilakukan dua arah. Dengan harapan akan semakin banyak yang mengadopsi aplikasi ini. Semua itu demi memperkuat komunikasi antara masyarakat dengan para penyandang tuna rungu.

“Kami berharap dengan aplikasi ini akan dapat mengurangi diskriminasi, menyediakan fasilitas ramah-disabilitas, dan akan meningkatkan hak yang sama bagi para penyandang disabilitas. Dan, saya berharap dengan adanya aplikasi ini orang-orang lebih aware dengan bahasa isyarat,” pungkas Atha.

 

=====================

Athalia Mutiara Laksmi

Prestasi                      :

=====================

 

FAHRUL ANWAR

Editor : Stevy Widia

Exit mobile version