Hanna Suhardi : Bangkitkan Kehidupan Ekonomi Desa Penjahit

Hanna Suhardi, Co-founder & CEO Lemontree (Foto: Dok. Pribadi)

youngster.id - Transformasi digital telah menjadi pendorong utama pertumbuhan di hampir semua sektor, terutama sektor ritel. Transformasi ini ikut mendorong lahirnya banyak pebisnis muda, termasuk dari kalangan perempuan. Bahkan mereka juga telah memberikan dampak positif bagi orang sekitar.

Saat kehidupan dan pekerjaan banyak orang terkena imbas dari pandemi, pekerjaan dan mata pencarian, perempuanlah yang paling rentan terdampak. Hasil studi McKinsey mengungkap kemungkinan pekerja perempuan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 1,8 kali lebih besar dibandingkan dengan pekerja laki-laki.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), dalam laporan berjudul Building Forward Fairer: Women’s rights to work and at work at the core of the COVID-19 recovery, juga mengungkap bahwa pekerja perempuan di Asia-Pasifik terkena dampak krisis secara tak proporsional—lebih banyak kehilangan pekerjaan ketimbang laki-laki. Ini tak lain karena mayoritas pekerjaan mereka berada di sektor yang terpengaruh krisis, misal jasa dan manufaktur.

Kementerian Sosial merilis jumlah pekerja formal perempuan yang mengalami dampak buruk pandemi sebesar 40%. Di sisi lain, perempuan adalah tulang punggung perekonomian di Indonesia. Pasalnya, dari 64 juta UMKM yang ada di Indonesia, 34% usaha menengah dijalankan oleh perempuan, sementara 56% usaha kecil dan 52% usaha mikro pun dimiliki oleh perempuan.

Meski demikian, masih banyak pelaku usaha perempuan yang tidak menyerah dengan kondisi. Mereka berusaha bangkit di masa sulit akibat dampak Pandemi Covid-19, bahkan memberdayakan masyarakat di sekitarnya.

Seperti yang dilakukan Hanna Suhardi bersama brand Lemontree terhadap para penjahit di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lewat bisnis yang dirintis sejak 2013, Hanna berhasil menghidupkan dua desa penjahit di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sehingga kehidupan para penjahit di sana dapat kembali tertolong.

“Penjahit adalah salah satu profesi yang turut merasakan imbas dari pandemi Covid-19.  Melalui usaha ini, saya bertekad bahwa orang-orang yang ikut membantu saya juga harus ikut maju dan sejahtera,” ungkap Hanna dalam peluncuran Alibaba Handbook bertajuk Titik Mulai Perempuan Indonesia.

Hanna telah berhasil memberdayakan sekitar 100 penjahit dari dua desa yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Berkat kontribusinya itu, Hanna juga berhasil meraih penghargaan di kategori “Inspiring Seller Award” dari Lazada Forward Women Awards 2021. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi Lazada atas prestasi seller perempuan di Asia Tenggara yang telah melewati berbagai tantangan di kehidupan pribadi, komunitas, dan budaya mereka.

 

Titik Balik

Sesungguhnya perempuan berusia 29 tahun ini mulai merintis bisnis online sejak 2013, tetapi benar-benar aktif menekuni usaha pada 2017. “Saya memang sejak awal kurang sreg bekerja dengan orang, akhirnya saya mencoba untuk membuka jalan sendiri lewat bisnis online,” ujar Hanna.

Hana mengawali usaha dengan membuka toko online bernama Shopping Shoes Store. Menurut Hanna, dia melihat kesempatan toko online jauh lebih terbuka. “Dulu kesempatan lebih luas karena memang belum banyak orang yang terjun ke jualan online, jadi kompetitor pun belum semarak sekarang. Makanya kami memutuskan masuk ke dunia marketplace. Apalagi sebelum produksi sendiri, supplier kami juga lebih banyak berjualannya lewat marketplace,” ungkapnya.

Hanna mengaku, untuk memulai mengembangkan usahanya dengan modal sekitar Rp800 ribu yang dipakai untuk membeli sepatu lokal dari produsen. Hana pun mulai dari berjualan lewat grup-grup di sosial media hingga menjual sepatu menggunakan mobil pick up pinjaman di depan minimarket. Hasil dari penjualan itu yang dia putar untuk masuk marketplace.

“Awalnya saya masih ambil dari produsen, dan seiring berjalannya waktu dan semakin ramainya pelanggan, produsen saya makin tahu teknologi hingga akhirnya ikut terjun ke marketplace dengan harga lebih rendah dari reseller,” ujarnya.

Hal ini yang mendorong Hanna memutskan untuk mulai memproduksi sendiri. Keputusan yang terbilang nekad, mengingat Hanna hanya memiliki latar belakang pendidikan ahli gizi. Sedangkan suaminya dari bidang Teknologi Informasi. Padahal, untuk industri sepatu perlu persiapan yang tidak sedikit.

“Kami benar-benar belajar secara otodidak. Mulai dari memahami anatomi kaki manusia, mengukur, fitting, mendesain produk yang fungsional dan estetik, memilih bahan pembuatan hingga detail proses kerajinan dan operasional bisnis kami pelajari sendiri,” ungkapnya.

Ternyata usahanya untuk membuat sepatu sendiri tak berjalan mulus. Mereka sempat menghadapi kerugian besar akibat salah memilih supplier. Hana berkisah, karena tidak memiliki modal besar, maka dia belum memiliki workshop sendiri dan harus memesan produk ke supplier. Sayangnya, seiring waktu melihat bisnis Hanna semakin berkembang dan banyak peminat, supplier tersebut menjual produk-produk yang dipesan Hanna secara ecer. Kejadian ini cukup berdampak buruk pada bisnis Hanna.

Supplier itu menjual sepatu kepada saya misalnya seharga Rp50 ribu, tetapi dia jual sendiri secara ecer seharga Rp45 ribu. Jadi kami tidak menyaingi supplier itu,” kisahnya.

Kejadian-kejadian ini tidak membuatnya putus asa. Sebaliknya, Hanna menjadikan ini sebagai titik balik untuk memproduksi produk lain berupa tas. Dia juga melakukan rebranding Shopping Shoes Store menjadi Lemontree. Hanna juga mempekerjakan penjahit lokal untuk produksi mereknya sendiri.

Pikiran menentukan apa yang kita inginkan, tetapi tindakan akan menentukan apa yang akan kita dapatkan,” ucap Hanna.

 

hana-suhardi-penjahit
Melalui usaha yang dikembangkan Hanna dan suaminya mampu membangkitkan perekonomian desa para penjahit di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Foto: Dok. Pribadi)

 

Berdayakan Penjahit Lokal

Dari yang membuat tas bermodalkan satu mesin, Lemontree akhirnya memiliki rumah produksi yang bisa memproduksi sekitar 7.500 tas per bulan. Caranya dengan menggandeng para pengrajin lokal.

“Saat bisnis saya mulai berkembang dan order semakin banyak, saya mulai mencari mitra yang bisa mendukung pasokan. Setelah mencari-cari secara intensif, saya menemukan tiga desa yang mayoritas penduduknya adalah penjahit konveksi.

Namun bisnis tidak selamanya lancar, apalagi pandemi di Indonesia cukup berdampak di berbagai bisnis. “Namanya usaha pasti ada aja rintangannya. Terutama saat kami memulai produksi di desa, saat itu juga pandemi merambah di Indonesia,” ujar Hanna.

Dampak Pandemi Covid-19 sempat membuat penjualan Lemontree menurun hingga 70%. Kondisi berat ini membuat Hanna malah memikirkan kelangsungan hidup dari para karyawan dan para pengrajin lokal yang bekerjasama dengannya.

Perempuan berusia 29 tahun ini mengaku terketuk hati melihat kondisi desa penjahit di Jawa Barat dan Jawa Tengah. “Kondisi ini membuat kami tidak ingin menyerah begitu saja,” ujarnya.

Berdasarkan pemikiran itu, Hanna malah berusaha meningkatkan produksi. Tak hanya sekadar merekrut, Hanna juga berusaha mengembangkan usaha para penjahit dengan mengajarkan cara kerja sama dan memberikan dukungan modal agar mereka bisa membuat produksi sendiri.

“Sebagian besar penjahit memang memiliki pengalaman untuk mengerjakan ratusan pesanan dari konveksi sebelum pandemi. Dengan keahlian yang mereka miliki, kualitas barang yang dihasilkan tidak kalah saing dengan produk impor,” ungkapnya.

Di sisi lain, Hanna juga melihat bahwa para penjahit ini ingin mencoba mandiri, namun mereka kesulitan mendapatkan kredit permodalan dari bank karena tingginya tingkat kredit macet. “Saat itu saya memutuskan untuk menjadikan mereka sebagai mitra untuk menggerakkan perekonomian di desa tersebut sesuai dengan keahlian masyarakatnya,” ujar Hanna.

Hanna mengaku sangat senang melihat orang yang bekerjasama dengannya bisa maju dan berkembang. Jika sebelumnya kehidupan para penjahit ini sangat terdampak oleh pandemi, sehingga pendapatan mereka berkurang dan sangat membutuhkan bantuan. Maka ketika Hanna mengajak untuk bekerja sama, kesejahteraan mereka pun berangsur pulih.

Bila sebelumnya, mereka hanya memproduksi 7.500 tas per bulan, saat ini Lemontree bisa memproduksi 9.000 hingga 15.000 tas per bulan. Tak hanya itu, dia juga melatih para penjahit tentang cara kerja sama dan memberikan dukungan modal agar mereka bisa membuat rumah produksi  sendiri.

Beberapa desa yang dibantunya sudah berjalan sesuai dengan harapan Hanna. Bahkan ada satu desa yang dapat menghasilkan pendapatan hingga ratusan juta rupiah per bulan. Ke depan Hanna ingin membaut koperasi yang menjual peralatan dan bahan jahit yang lebih terjangkau.

“Saya berharap seiring dengan meningkatnya usaha, saya dapat memberdayakan lebih banyak orang lainnya agar kita bisa terus bertahan dan tumbuh bersama meski di tengah situasi sulit saat ini,” tutup Hanna.

 

=======================

Hanna Suhardi

=======================

 

STEVI WIDIA

Exit mobile version