youngster.id - “Donor darah sekarang, untuk masa depan seseorang… Setiap Anda membaca tulisan ini, 5 orang di Indonesia sedang sekarat menunggu datangnya transfusi darah.”
Kebutuhan akan transfusi darah di berbagai negara masih sangat rendah, terutama di negara-negara berkembang. Begitu juga tingkat kesadaran warganya untuk menyumbangkan darahnya, masih rendah. Hanya 40% dari penduduk di negara berkembang yang dapat terpenuhi kebutuhan darahnya.
Menurut data WHO, tercatat hanya ada 108 juta pendonor darah secara global dari populasi 7 miliar manusia sejagad raya. Jumlah ini jelas sangat minim. Para pendonor ini separuhnya berasal dari negara-negara maju. Tercatat hanya 62 negara yang telah memenuhi kebutuhan darah secara mandiri atau 100% didapat secara sukarela. Sebanyak 34 negara masih bergantung dari donor darah para keluarga pasien. Selebihnya harus mengeluarkan anggaran untuk membayar donor dari 75% kebutuhan sang pasien.
Di Indonesia saja, rata-rata ada kekurangan sekitar 1,3 juta kantong darah per tahun dengan tingkat kebutuhan mencapai 4,8 juta kantong per tahun. Hal ini juga terkait dengan masih kurangnya kesadaran orang untuk mendonorkan darah. Selain karena kurangnya pendonor, keterhubungan dengan penyedia darah juga masih kurang.
Berangkat dari kepedulian akan hal itu, seorang lajang muda bernama Leonika Sari Njoto Boedioetomo menggagas aplikasi Redblood. Ini adalah aplikasi yang membantu user untuk rutin dalam melakukan donor darah. Reblood memberikan reminder kepada user terkait dengan kegiatan donor darah yang akan diadakan di suatu tempat.
“Saya memang mempunyai mimpi dimana saya bisa memberikan impact yang sangat besar untuk masyarakat, dan impact itu bener-bener yang scalable. Saya melihat startup ini salah satu jalan yang cocok banget, cepat dan tepat,” kata Leonika, kepada Youngsters.id.
Leonika menegaskan bahwa aplikasi Reblood ini ditujukan bagi masyarakat yang bingung mencari lokasi donor darah, khususnya untuk daerah Surabaya dan sekitarnya. Pasalnya, gadis kelahiran Surabaya, 18 Agustus 1993 ini melihat masalah utama transfusi darah adalah Indonesia selalu kekurangan donor darah. “Harusnya, minimal 1,3 juta orang per tahunnya mendonorkan darahnya,” ucapnya.
Menurut Leonika, aplikasi di dunia maya cukup efektif mengajak masyarakat terlibat. Media sosial, kata Leonika, bisa mengubah perilaku seseorang yang tadinya tertutup menjadi terbuka. Berangkat dari hal ini, ia ingin memanfaatkan tekonologi informasi berupa aplikasi untuk kegunaan yang baik. “Kami ingin bisa mengubah masyarakat yang belum rutin donor darah menjadi rutin mendonor darah,” ujarnya.
Berawal Dari Broadcast Message
Gadis manis yang masih kuliah di Sistem Informasi ITS Surabaya ini membeberkan alasannya membuat aplikasi Redblood. Menurutnya, ketika itu ketersediaan darah di Surabaya belum cukup banyak dan belum memiliki pendonor dalam jumlah besar. Padahal, saat itu jumlah pasien yang membutuhkan darah cukup banyak, terbukti dari banyaknya Broadcast Massage yang ia dapatkan semasa kuliah.
“Saya sering banget mendapatkan banyak broadcast message tentang orang butuh darah di sebuah rumah sakit. Itu tersebar di sosial media maupun di messenger. Akhirnya, saya mencari tahu kebutuhan darah itu,” ungkap Leonika. “Ternyata permasalahan kebutuhan darahnya untuk skala Nasional. Dan, kebutuhannya ini sekitar lima juta liter setiap tahunnya. Setelah mencari tahu, ternyata dari kebutuhan darah nasional itu masih kekurangan 1 – 2 juta liter,” tambahnya.
Leonika juga menceritakan, awalnya ia tidak langsung membuat aplikasi Reblood. Justru, ia membuat aplikasi Bloobis, yang membantu rantai pasokan darah di rumah sakit dan PMI di Surabaya. Namun setelah beberapa tahun, ia bersama dengan rekannya mengganti aplikasi tersebut yang ditujukan untuk para pendonor.
“Akhirnya setelah mendapat banyak masukan dari para mentor, dosen dan mengikuti berbagai acara startup, tepatnya setelah mengikuti Surabaya Batch 1 di tahun 2015, kami mengganti aplikasi tersebut menjadi aplikasi untuk masyarakat. Sebab, ternyata yang lebih dibutuhkan adalah pendonor dan bukan rantai pasokannya,” jelas Leonika.
Bersama dengan rekannya, yakni Faisal Setia Putra, Ari Agustina, dan M Zuhri, mereka juga mencari tahu informsi mengapa tidak banyak orang yang mau mendonorkan darahnya untuk PMI dan pihak rumah sakit.
“Akhirnya kami mencari tahu, dari 255 juta orang masa semuanya takut jarum. Dan, ternyata ketahuan banyak orang yang ingin donor namun mereka kurang informasi. Antara lain gak tahu tempatnya, kapan, dan kalaupun daftar pasti ketolak,” ujar Leonika.
Lalu, pada tahun 2013 Leonika dan kawan-kawannya membuat aplikasi Redblood. Aplikasi ini ditujukan bagi masyarakat Surabaya sehingga mereka bisa mengetahui jadwal dan tempat dari donor darah tersebut. “Tadinya mereka pikir mendonor darah harus ke PMI. Padahal, di Surabaya saja bisa ada lima titik tempat donor darah. Mereka tidak tahu akan informasi itu. Di sinilah perannya teknologi informasi,” ujar Leonika sambil tersenyum.
Disebutkan Leonika, di dalam aplikasi Redblood ini ada fitur “Event” untuk menampilkan acara donor darah di Surabaya dengan keterangan alamat dan waktunya. Fitur Event ini dilengkapi dengan “reminder” yang bisa digunakan untuk memberi pesan pengingat (ke nomor ponsel user) mengenai Event yang diinginkannya. Juga, ada fitur “Share” yang digunakan untuk re-posting Event yang ditampilkan ke Facebook atau Line.
Menurut Leonika, dengan adanya fitur pengingat ini membuat orang lebih siap sehingga berdampak pada jumlah pendonor yang hadir di setiap kegiatan donor darah di wilayah Surabaya dan sekitarnya.
“Dari sekian ratus event yang kita support, jumlah pendonor yang berhasil mendonorkan darahnya menjadi lebih banyak, bahkan mencapai 50% dari jumlah pendonor yang hadir. Bukan hanya itu, jumlah pendonor yang hadir juga semakin banyak,” klaim Leonika bangga.
Tak mengherankan, Redblood cepat sekali diterima di masyarakat Surabaya karena informasi yang ditawarkannya. Hal ini juga terihat dari banyaknya pengunduh aplikasi sosial ini di Playstore hingga mencapai lebih dari 5000 unduhan.
Menurut Leonika, Surabaya merupakan pilot project untuk pengembangan aplikasi Redblood ini. Mereka berusaha menjadikannya sebagai contoh yang berhasil agar dapat dicontoh oleh kota lain di Indonesia.
Diakuinya, membentuk Redblood bukannya tanpa kendala. Ia sering mendapat penolakan kerja sama dari beberapa rumah sakit. “Karena dianggap masih mahasiswa sehingga penerimaannya susah sekali,” cerita Leonika. Untunglah dia mendapat dukungan dari Walikota Surabaya Tri Rismaharini, sehingga akhirnya startup dan aplikasi Redblood bisa berjalan di tahun 2015.
Awalnya, Leonika dan temannya memanfaatkan event di berbagai kampus dan perkantoran untuk memperkenalkan Reblood. Bahkan, tidak ada modal untuk mengembangkan aplikasi Redblood ini. Sementara untuk penyebarannya mereka memanfaatkan channel partnership dengan beberapa kampus dan gedung perkantoran di Surabaya.
“Waktu itu kami cuma bikin aplikasi doing. Sedangkan untuk partner dengan ITS, ya tinggal bagaimana kita meyakinkan mereka karena ini hanya bersifat partnership aja,” tegas Leonika.
Monetizing
Bagi Leonika jadi entrepreneur bukanlah hal yang mustahil. Wanita yang pernah terpilih menjadi Mandiri Young Technopreneur 2014 ini sudah tertarik jadi pebisnis sejak lama. Apalagi di saat kuliah setiap mahasiswa/i dianjurkan untuk membuat sebuah usaha. Mulai dari mengambil project sampingan dan segala macam.
“Memang baru waktu kuliah sebenarnya saya tertarik berbisnis, namun tidak langsung Redlood. Dan dari kuliah pun saya juga meng-encourage mahasiswa untuk bisnis, mulai dari menangani project dan sebagainya,” tambahnya.
Leonika juga memanfaatkan kemampuan programing yang dimilikinya untuk mengerjakan berbagai project. Seperti jasa pembuatan website dan semacamnya. Sampai akhirnya dia mencoba membangun startup.
Menurut Leonika tantangan yang dihadapi ketika memulai terjun ke dunia startup kebanyakan dari dalam. Seperti membangun tim, membuat aplikasi sebagus mungkin hingga menjaga aplikasi Reblood agar tetap stabil. Namun bagi dia, anak muda yang ingin berkreativitas harus bisa berpikir out of the box. “Sebaiknya, anggota tim harus beragam supaya bisa saling melengkapi,” ujarnya.
Hingga saat ini Leonika mengaku belum melakukan monetizing pada aplikasi Redblood. Bersama rekannya ia hanya berfokus untuk menghadirkan sebuah aplikasi yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, ia tidak menampik ke depannya akan ada rencana untuk mencari profit meski bukan itu tujuan utama.
“Kalau sekarang sih kami belum ada profitnya, karena memang plan besarnya tidak membahas profit. Tujuan kami adalah bagaimana menciptakan sebuah aplikasi yang product marketed dan dapat bermanfaat bagi banyak orang,” pungkasnya.
==============================================
Leonika Sari Njoto Boediono
- Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 18 Agustus 1993
- Pendidikan Terakhir : S1 Institut Teknologi Sepuluh November
- Jabatan : CEO & Co-Founder Reblood
- Nama Startup : RedBlood
- Mulai Usaha : 2015
- Pengguna : hampir 9000 user (hingga awal Maret 2017)
- Jumlah karyawan : Volunteer dan Intership
- Prestasi : Mandiri Young Technopreneur 2014
===============================================
ARIE KUSNANDAR
Editor : Stevy Widia