youngster.id - Faktor kemiskinan (struktural, kultural, natural, dan mental) sangat memengaruhi munculnya fenomena peminta-minta atau pengemis. Semakin banyak jumlah orang miskin semakin potensial mereka menjadi pengemis. Namun perilaku ini dapat berubah lewat pemberdayaan potensi diri.
Kementerian Sosial menargetkan Indonesia akan bebas gelandangan dan pengemis (gepeng) pada 2017. Permasalahan gepeng, terutama di kota-kota besar, akan mereka selesaikan dengan cara pemberdayaan dan membangun rumah tinggal layak huni. Dengan demikian, para gepeng bisa hidup mandiri dengan standar hidup lebih layak tanpa harus kembali ke jalan.
Langkah pemberdayaan ini tak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga sejumlah perusahaan swasta. Salah satunya adalah pelatihan yang diberikan melalui PerpuSeru dari Coca-Cola Foundation Indonesia dengan dukungan Bill & Melinda Gates Foundation. Pelatihan wirausaha yang diberikan ini mulai membuahkan hasil, salah satunya bagi kehidupan Ni Wayan Srimentik, warga Tianyar Barat, Karang Asem, Bali.
Hadirnya perpustakaan dan program pelatihan kewirausahaan, telah mengubah hidup perempuan yang akrab disapa Sri ini. Sebelum mengikuti pelatihan wirausaha dari PerpuSeru, Sri hidup di jalanan Denpasar, Bali, sebagai pengemis. “Mau kerja apa lagi, saya dulu enggak tahu mau kerja apa. Saya juga enggak tahu kalau ngemis itu dilarang,” tuturnya kepada Youngster.id yang menemuinya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Namun itu kisah masa lalu. Kini, Sri telah menjadi salah satu pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dengan produk dupa herbal merek Munti Agung. Di perpustakaan pula ia belajar cara memasarkan dupa tersebut. Berkat advokasi dan dukungan PerpuSeru di Karangasem, kini dupa herbal milik Sri telah direkomendasikan Bupati untuk terus menggunakan dupa herbalnya di seluruh instansi Kabupaten Karangasem, Bali.
“Dalam hati saya berdoa, ya Tuhan kenapa saya hidup satu kali tapi kok seperti ini. Mengapa hidup saya mendapatkan uang dengan cara mengemis? Kapan saya bisa seperti orang lain mendapatkan hasil yang halal dan dihargai orang lain? Mungkin saat ini doa saya sudah terjawab dan dikabulkan sama Tuhan,” ungkap Sri mengenang awal perjuangannya.
Semangat dan daya juang Sri membuat dia memutuskan untuk meninggalkan kegiatannya sebagai gepeng (pengemis) yang telah bertahun-tahun dijalaninya. Dia pun mengikuti kegiatan pelatihan di Perpuseru untuk membuat dupa herbal. Kini, tak cuma membuat produk dupa herbal, Sri bersama suami berjualan produk kerajinan kreatif seperti gelang dan perlengkapan ibadah di Denpasar. Paling tidak sebulan dia bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 4 juta.
PerpuSeru yang diikuti Sri merupakan program CSR yang dilaksanakan Coca-Cola Foundation Indonesia dengan dukungan Bill & Melinda Gates Foundation. Kegiatan ini merupakan program yang mengembangkan perpustakaan umum menjadi pusat belajar masyarakat yang memberikan pelayanan berbasis teknologi informasi. PerpuSeru yang kini telah berada di 586 Perpustakaan Desa dan 104 perpustakaan Kabupaten di 18 propinsi ini telah memberikan dampak sosial pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, termasuk bagi Sri.
Dari Buruh Jadi Gepeng
Sri mengakui banyak orang menilai orang seperti dirinya telah menikmati hidupnya menjadi pengemis. Namun, sesungguhnya hal ini bertolak belakang dengan hati kecilnya. Ia menginginkan memiliki pekerjaan yang lebih baik seperti orang lain dan bisa mendapatkan uang secara halal. Sayang, minimnya pendidikan dan keterbatasan keterampilan menjadi penghalang dirinya mengejar mimpi hidup sukses.
Warga dusun Munti Gunung ini bercerita sebelum jadi pengemis ia sempat bekerja sebagai buruh pencari batu. Namun pekerjaan itu tidak dapat diteuskan, karena dia tertimpa kecelakaan saat bekerja. “Baru kerja enam hari terkena longsor,” ujar Sri.
Ia bahkan menderita patah tulang akibat peristiwa itu. Akibatnya dia tidak bisa lagi bekerja berat sebagai buruh. “Begitu ada tawaran itu, saya langsung ikut, yang penting bisa dapat uang, bisa makan dan menghidupi keluarga. Habis, mau kerja apa lagi, kalau saya jadi buruh batu lagi enggak bisa, karena tulang belakang saya patah,” ungkap.
Ternyata pekerjaan yang ditawarkan padanya adalah jadi gepeng alias pengemis di jalan-jalan Denpasar. Sejak 2002 sampai 2014, ibu empat anak ini mengemis uang dari orang yang berbelas kasih. “Saya sudah bingung, terus mau kerja apa lagi. Saya juga enggak tahu kalau ngemis itu dilarang,” ungkapnya.
Sampai suatu hari di 2014, dirinya ditangkap Satpol PP. “Mereka bilang, ‘berhentilah jadi pengemis, harga diri kamu enggak ada’,” kenang Sri. Sejak ditangkap oleh Satpol PP, Sri pulang lagi ke desanya di Tianyar Barat, Karang Asem. Menenangkan diri, tapi tanpa penghasilan. Setahun kemudian, ia pun berkumpul dengan teman-temannya. Mereka berjualan barang milik orang lain selama satu tahun. Sampai akhirnya datang seorang rekannya mantan pengemis yang mengajak Sri untuk ikut pelatihan berwirausaha dupa herbal yang dilaksanakan oleh PerpuSeru.
“Nah, dari situlah pelan-pelan saya dilatih dengan berbagai kegiatan positif di dalamnya mengenai tentang bagaimana cara berwirausaha seperti belajar jualan, termasuk belajar jualan di internet juga,” terang Sri.
Hadirnya PerpuSeru telah menciptakan peluang wirausaha yang menyerap lapangan pekerja dan mengubah hidup orang. Menariknya, beberapa pekan mengikuti pelatihan PerpuSeru membuat Sri bisa berjualan dupa herbal dengan nama merek ‘Munti Agung’.
“Saya sangat merasa senang bisa bergabung dengan program ini. PerpuSeru turut mengubah hidup saya,” kata Sri. Setelah bergabung Oktober 2016 di PerpuSeru, Sri pun memperoleh inspirasi membuat dupa herbal. “Dupa herbal terbuat dari bahan-bahan alami, yakni kayu cendana, menyan, dan majegau, jadi aromanya memang tidak seperti dupa biasa,” ungkapnya.
Tantangan dan Harapan
Usaha yang dimulai sejak Oktober 2016 ini pun ditekuni Sri. Dia mengaku usaha yang dimulai dengan modal Rp 800 ribu ini tidaklah semudah yang dibayangkan. “Tantangan yang saya hadapi adalah cara memasarkan dupa ini. Salah satunya protes dari pembeli dupa yang mengatakan aromanya tidak sekuat dupa biasa,” ungkapnya.
Walau tidak terlalu wangi, dupa ini tidak membuat batuk atau mata pedih seperti dupa biasa. Sebab, di dalamnya tidak ada bahan-bahan kimiawi. Berkat advokasi dan dukungan PerpuSeru, kini dupa herbal ‘Munti Gunung’ telah direkomendasikan oleh Bupati untuk menggunakan dupa herbal di seluruh instansi kabupaten Karangasem Bali.
Usaha ini pun telah memberikan hasil baik bagi Sri maupun rekan-rekannya sesama mantan gepeng. Tak cuma dupa herbal, Sri bersama suami berjualan kerajinan kreatif seperti gelang dan perlengkapan ibadah di Denpasar.
“Jadi untuk satu kantong Dupa ini saya jual seharga Rp 5000. Dari satu kantong ini saya dapat hanya Rp 300. Dalam sebulan saya bisa menjual sekitar 50 kantong dan saya ambil dari yayasan seharga Rp 4700. Tapi belum termasuk produk dan kerajinan lain yang saya jual hasil dari warga Munti Gunung seperti gelang, kipas, sampai tempat makan yang biasa digunakan orang Bali,” jelasnya.
Melihat omset terus bertambah setiap bulannya. Bantuan dana sebagai modal membesarkan usahanya yakni memasarkan produk dupa herbal juga didapat Sri dari pemerintah setempat. Tentu saja, hal ini membuat Sri semakin bersemangat memasarkan produknya.
“Jadi tak cukup memberikan pelatihan, dan melihat omset terus meningkat. Pemerintah setempat juga memberikan bantuan modal tambahan buat saya, sehingga saya bisa berjualan dupa herbal ini dan produk kreatif lainnya karya dari masyarakat Mentil Gunung. Yang jelas terima kasih sekali dengan bantuan yang saya dapat selama ini,” imbuhnya.
Tentu saja, kondisi itu secara perlahan dapat mengubah hidup Sri ke arah yang lebih baik. Kini, Sri bisa lebih bangga melihat pengalaman hidup sebelumnya.“Saya bangga, akhirnya bisa keluar dari pekerjaan sebelumnya. Bersyukurnya, bekal pelatihan bermanfaat yang saya dapat, bisa membuat saya bertahan hidup. Lagi, saya bisa sampai ke Perpustakaan Nasional dan melihat secara langsung,” tuturnya.
Menurut Sri, selain melakukan cara berjualan konvensional. Saat ini dirinya tengah memperdalam cara berjualan melalui online. Meskipun, cara berjualan melalui cara digital ini cukup membuatnya kerepotan dan menjadi kendala baginya.
“Nah melalui pelatihan ini, saya juga sedang belajar untuk melakukan berjualan melalui via online dari pemerintah di Karang Asem, yayasan dan PurpuSeru mereka gabung membina kami. Kadang ini menjadi kendala juga, karena sebelumnya saya melakukan berjualan keliling dan menawarkan produk dupa ini langsung ke pembelinya,” ungkapnya sambil tersenyum.
“Tapi di sini kami pastinya sangat terbantu, dari bekal pelatihan yang kami dapat ini tentu ada hasil yang lebih baik ke depannya yang bisa saya dan warga Munti Gunung dapat nantinya. Yang jelas dengan cara berjualan ini, juah lebih baik. Termasuk dalam penghasilan, dibandingkan ketika saya menjadi gepeng,” lanjut dia.
Diakui Sri, dia tak merasa nyaman menjalani hidup sebagai gepeng. Sri mengaku kalau dirinya ingin mendapatkan perubahan hidup yang lebih baik dengan meninggalkan kebiasaannya sebagai seorang pengemis.
“Saya ingin mendapat hidup yang lebih baik dan ada perubahan. Saya enggak mau menjadi gepeng seumur hidup. Saya juga tak hanya ingin membesarkan usaha saja, tapi kepingin mengajak teman-teman gepeng yang lainnya meninggalkan pekerjaan itu, dan bisa mengikuti jejak saya mencapai kehidupan yang lebih baik,” pungkas Sri.
======================================
Ni Wayan Sri Mentik
- Tempat Tanggal Lahir : Karang Asem, Desa Banjar Gunung, Bali 12 Desember 1983
- Usaha : UKM Dupa Herbal dengan merk Munti Gunung
- Nama brand : Dupa Herbal Munti Gunung
- Mulai Usaha : Oktober 2016
- Modal awal : Rp 800.000
=======================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post