youngster.id - Ekonomi kreatif diyakini mampu menjadi poros ekonomi terbaru Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini, industri kreatif menyumbang pemasukan yang tidak bisa dianggap remeh bagi negara. Tak terkecuali industri kerajinan atau kriya.
Dua tahun lalu, dari total PDB ekonomi kreatif sebesar Rp 852 triliun, 15,7% di antaranya disumbang dari industri kerajinan. Sementara itu, dari total ekspor pada 2015 sekitar Rp 19,4 miliar, industri kerajinan berkontribusi 37%. Di antaranya dengan ekspor terbesar ke Amerika Serikat.
Produk-produk kriya Indonesia terkenal dengan ”buatan tangannya”, dan memanfaatkan hal tersebut sebagai nilai tambah sehingga bisa dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi. Namun, tidak cukup hanya bermodal itu untuk dapat menembus pasar internasional. Dibutuhkan berbagai elemen lain yang saling bersinergi sehingga akhirnya produk lokal dapat sejajar dengan produk luar negeri.
Menariknya, langkah ini yang ditempuh oleh Ratna Indrawati, pemilik Ratna Artshop dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Perempuan kelahiran 27 April 1988 ini memproduksi dan menjual produk kerajinan “rotan ketak”. Tak hanya memproduksi dia juga memberdayakan lebih dari 800 pengrajin di NTB agar dapat menghasilkan produk kerajinan yang mampu menembus pasar internasional.
“Saya berasal dari desa yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari kerajinan anyaman. Dan saya ingin mengangkat perekonomian mereka menjadi lebih baik dengan produk yang berkualitas, sekaligus melestarikan produk khas yang telah menjadi bagian dari masyarakat sejak lama,” tutur Ratna, kepada youngster.id saat ditemui di acara Telkom Craft Indonesia 2018.
Produk anyaman rotan ketak ini merupakan salah satu kerajinan khas dari NTB, terutama Lombok. Bahan baku yang digunakan adalah tanaman lokal yang disebut ketaq atau ketak, yang dalam bahasa Latin disebut Lygodioum Circinatum. Tanaman ini termasuk paku-pakuan yang menjalar pada tanaman induk.
Anyaman ketak mula-mula berkembang di wilayah Lombok Barat, karena bahan baku yang berlimpah di sana. Pada tahun 1988 pemerintah mulai melakukan pembinaan serta intensif berupa pelatihan keterampilan, pengembangan design, pameran baik lokal maupun nasional, sehingga produk anyaman ini dapat berkembang hingga ke Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Di Ratna Artshop sebagian besar produknya berupa barang dekoratif, meskipun masih melekat fungsi dari produk tersebut. Seperti tempat tisu, keranjang, alas meja atau keranjang. Namun ada juga tas dan akseori lainnya.
“Jadi saya mendesain sendiri produk yang ada di Artshop ini. Tetapi ada juga desain yang datang dan saya dapat dari buyer. Saya harus memenuhi keinginan itu untuk menjaga pelanggan yang selama ini ada dengan membuatkan model seperti yang mereka mau,” ungkap perempuan kelahiran Blike, Praih Timur Lombok, NTB itu.
Sesungguhnya, Ratna tidak bekerja sendiri. Dia melibatkan 10 orang karyawan dan membina 836 pengrajin anyaman yang berasal dari wilayah Lombok Timur. Alhasil produk dari Ratna Artshop kini tak hanya dipasarkan di wilayah NTB tetapi telah merambah hingga ke 25 negara termasuk Amerika Serikat dan Jepang.
Kendala dan Improvisasi
Sejatinya, usaha kerajinan ini diwarisi Ratna dari orang tuanya yang telah terlebih dahulu berbisnis ini selama 15 tahun. Bahkan, Ratna mengaku tidak tertarik menekuni usaha atau pekerjaan lain, karena sejak awal sudah jatuh hati pada produk anyaman berbahan rumput yang disebut rotak ketak ini.
“Saya tidak ingin beralih kebidang lain, atau bekerja untuk orang lain, karena saya mencintai pekerjaan saya sekarang ini. Selain itu, saya juga bisa memajukan desa saya melalui usaha kerajinan ini untuk dikenal lagi oleh dunia melalui kerajinan tangan yang dibuat masayarakat NTB. Apa yang saya lakukan ini juga untuk melestarikan budaya. Salah satunya dengan mencintai produk yang dibuat oleh masyarakat di kampung saya ini,” katanya.
Dijelaskan Ratna, produk hasil kreatifnya itu terbuat dari bahan dasar rotan ketak atau rumput gunung. Kalau orang Jepang biasa menyebutnya Ata. Untuk proses pembuatan kerajinan ini dimulai dari pengumpulan rumput yang berada di wilayah gunung. Rumput yang terkumpul lalu dipilah menjadi empat bagian. Lalu dihaluskan dengan menggunakan pisau setelah kering dan terlihat bersih, kemudian rotan keta atau rumput gunung ini dianyam. “Jadi dalam pembuatan kerajinan tangan ini semua alamiah, karena tidak melalui proses kimiawi. Bahkan proses pengeringan dilakukan dengan kayu jati dan memakan waktu selama 3 hari,” sambung dia.
Menurut Ratna, potensi hasil kerajinan dan produk pangan olahan di Provinsi NTB ini sangat besar, karena memiliki konten lokal sangat bagus. Akan tetapi, kendala terbesar ada pada kesiapan sumber daya manusia (SDM). Dan, upaya untuk mendapatkan SDM yang bagus ini tidak mudah. Pasalnya, kebanyakan pengrajin di wilayahnya masih pengrajin musiman. “Ketika mengembangkan usaha ini ada kendala yang harus saya hadapi, dan yang terbesar adalah dari sumber daya manusia,” ujarnya.
Alumni Pondok Pesantren Nurul Hakim NTB ini menuturkan, tenaga pengrajin di NTB itu bisa berkurang kalau saat musim padi dan tembakau sedang panen. Pasalnya, para pengrajin beralih ke situ. “Jadi dari awal kami sudah harus mengingatkan kepada buyer supaya mereka memahami. Dan, untuk mengatasinya, biasanya kami harus punya stok. Karena ketika musim panen banyak pengrajin yang beralih ke sana,” ungkap Ratna.
Oleh karena itu, Ratna mesti berusaha untuk melakukan pembinaan kepada para pengrajin agar usaha kerajinan ini dapat berjalan baik dan berkembang. Sehingga dapat memberi penghasilan yang memadai jika mereka komitmen.
“Pengrajin yang sudah tergabung kami beri bimbingan, pelatihan dan pendampingan agar mereka dapat berimprovisasi ketika membuat produk. Misalnya, mereka yang awalnya bunder-bunder doang, sekarang beralih sudah bisa membuat yang kotak atau oval gitu,” ujar Ratna sambil tersenyum.
Selain itu, Ratna juga berupaya menjaga kualitas dari produk yang dihasilkannya. “Yang jelas produk kami bisa dijamin keawetannya. Jadi kami jamin 20 tahun ke depan nggak bakalan rusak. Karena kami saat proses pengovenannya itu menghasilkan warna yang bagus. Jadi, dari hasil oven itu yang bisa membuat produk ini bisa bertahan lama, kecuali dibakar,” ungkapnya.
Untuk lebih memperkuat penetrasi pasar dan branding, Ratna pun aktif mengikuti berbagai pameran atau berkongsi sebagai mitra binaan. Salah satunya dengan PT Telkom, yang sudah dilakukannya sejak tahun 2012.
“Saya sudah tergabung dengan PT Telkom sejak 6 tahun lalu. Dan bisa tampil di acara Telkom Craft Indonesia 2018 tentunya melalui proses seleksi dulu. Alhamdulillah, bisa sampai di acara sebesar ini. Semua ditanggung dari Telkom. Jadi saya tinggal memperkenalkan produk-produk yang ada di Ratna Arthop ini,” kata anak pertama dari tiga bersaudara ini sambil tersenyum.
Inovasi
Usaha kerajinan berbahan dasar rumput ketak ini telah dirintis mendiang orang tua Ratna sejak tahun 1970. Dia mengaku baru 15 tahun lalu menekuni dan akhirnya melanjutkan usaha orang tuanya. Hasilnya, ia telah berhasil melakukan pembinaan pada 836 pengrajin. Selain itu dia telah menyediakan lapangan kerja bagi 10 karyawan untuk mendukung usaha Ratna Artshop.
Ratna mengaku memulai pengembangan usaha ini sejak tahun 2012 dengan modal sekitar Rp 5 juta. Dia melakukan pendekatan kepada para pengrajin di desanya. Menurut Ratna, sejak kecil masyarakat Lombok, khususnya perempuan telah belajar menganyam. Namun mereka hanya mengerjakan pekerjaan yang sama selama turun temurun untuk memenuhi keperluan rumah tangga sehar-hari.
Oleh Ratna mereka diajak untuk mengembangkan produk sesuai dengan permintaan pasar. Para pengrajin diajarkan untuk menghasilkan berbagai macam produk dengan desain dan motif yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai tambah bagi produk unik. Alhasil, ketak dapat dianyam menjadi berbagai bentuk, mulai dari nampan, tempat tisu, tempat buah, keranjang dan tas.
Dia juga mendorong para pengrajin untuk tidak lagi menjadi pekerja musiman. Apalagi minat terhadap produk kerajinan ini menjadi salah satu sumber ekonomi penunjang pariwisata di wilayah NTB. Dengan motivasi dan dorongan ini, alhasil omset dari usaha ini bisa mencapai Rp 1 miliar. “Penghasilan saya masih belum menentu bisa tiga bulan sekali,” ujarnya.
Tentu saja, agar bisa survive dan mengikuti perkembangan pasar, Ratna juga melakukan inovasi produk. “Perlu inovasi dan kreatifitas. Desain itu harus mengikuti pasar, jangan sebaliknya pasar mengikuti desain. Intinya saya tidak mau mati gaya. Oleh karena itu, kami terus berimprovisasi dan melakukan upgrade produk setiap bulan mengikuti tren di pasar. Itu kami lakukan agar pembeli tidak bosan dan terus menikmati produk kami,” ungkapnya.
Tak mengherankan, kini produk Ratna Artshop telah menembus pasar internasional. “Sekarang kami memang sudah ekspor. Produk kami sudah sampai ke 25 negara, seperti, Jepang dan Amerika,” katanya bangga.
Selain itu, Ratna bisa membuka cabang Ratna Artshop ini di Ubud, Bali. Dari sana banyak permintaan untuk diekspor. Menurut Ratna, produk anyaman ketak yang dia hasilkan dijual dengan kisaran harga mulai dari Rp 5.000 hingga seharga Rp 2 juta. “Semakin halus produknya, maka harganya semakin mahal,” katanya.
Tentunya, Ratna ingin usaha ini dapat terus berkembang sehingga para pengrajin binaannya juga dapat turut merasakan dampak positif dari industri kriya. “Sebagai pengusaha UMKM, kami ingin dapat mengangkat perekonomian masyarakat melalui produk kerajinan kreatif. Kami ingin lebih banyak melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar dan kita dapat sukses bersama,” pungkas Ratna penuh harap.
=====================================
Ratna Indrawati
- Tempat Tanggal Lahir : Blike, Nusa Tenggara Barat, 27 April 1988
- Pendidikan Terakhir : SMA – Ponpes Nurul Hakim, Nusa Tenggara Barat
- Nama Usaha : Ratna Artshop
- Modal Awal : Rp 5 juta
- Omset : sekitar Rp 1 miliar/triwulan
- Jumlah Pengrajin Binaan : 836 orang
- Jumlah Karyawan : 10 orang
====================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post