youngster.id - Desain grafis atau komunikasi visual telah menjadi tren di masyarakat. Produknya pun telah melekat dan ikut membentuk kehidupan modern. Dan dalam desain grafis, Indonesia tidaklah kalah.
Desain grafis hampir digunakan dalam setiap aktivitas manusia. Untuk itu banyak yang mulai melirik pekerjaan menjadi seorang desainer grafis. Perkembangan teknologilah yang telah membuat desain grafis semakin maju. Alhasil desain grafis semakin canggih dan beragam.
Seiring itu, semakin banyak desainer muda yang bermunculan. Keahlian dalam bidang mendesain ada yang mereka peroleh dari pendidikan formal, infomal, karir, ataupun otodidak.
Salah satunya adalah Veronica Stevany. Gadis kelahiran Jakarta, 7 September 1993 ini adalah graphic desainer professional dengan laman veronicastevany.com atau Graphic by Veste. Yang menarik, Veronica menggabungkan keterampilan otodidak, ilmu formal dan cita rasa seni. Alhasil dia bisa berbagai macam gaya desain.
“Saya bisa segala macam style desain. Kan banyak desainer grafis yang idealis, atau cuma suka di satu style aja. Kalau saya, dari style yang elegan, minimalis, vintage, modern, illustrative, cute, sampai yang norak-norak juga bisa. Itu keunggulan saya,” klaim Veronica kepada Youngsters.ID.
Karena kemampuan itulah, dalam rentang waktu relatif pendek Veronica sudah mengerjakan lebih dari 100 proyek karya desain grafis dan website developer. Di antaranya untuk Goethe Institute, promotional media untuk Tridental Implant Indonesia & Australia, website Orkaden, landing page Stellar Strive (game by Gotta Games), Milaxo, Choco Club, promotional media Daisho Restaurant, web design untuk Indonesian Luxury, dan lain-lain.
Bagi Veronica desain grafis merupakan profesi, hobi sekaligus sumber penghasilan. “Ini having fun while earning money,” ujarnya sambil tertawa. Di sini dia bisa menyalurkan hobi menggambar dan merancang desain dan mengutak-atik tampilan website.
“Saya suka dengan pekerjaan ini. Walau kadang sambil sakit mata kerjain yang norak-norak, yang penting saya happy dan klien juga happy karena sesuai style yang dia suka. Jadi ya ciri khas saya sebenarnya style yang campur aduk itu,” kata Veronica sambil tertawa.
Suka Seni
Jadi desain grafis bukanlah cita-cita awal Veronica. Bahkan seperti anak kecil lain, dia sempat bercita-cita jadi dokter, bahkan astronot. Namun hobi membaca komik Jepang mempengaruhi hobi dan kemudian mengarahkan putri sulung dari pasangan Willy Setiawan dan Agnes ini ke dunia seni.
“Sedari kecil saya suka membaca komik Jepang, dari situ saya jadi suka menggambar. Bahkan sama adik kami sering berlomba dan saingan menggambar,” kisahnya.
Kemudian setelah SMP, Veronica mulai mengenal internet. Dari sana dia mulai mengenal desain grafis lewat icon dan signature yang muncul di wallpaper komunitas yang diikutinya. Dari situlah, gadis yang gemar mencoba hal baru ini belajar membuat website desain sendiri. Dia belajar HTML dan CSS dasar secara otodidak, lewat internet. Ia juga coba membuat desain blog dan layout Friendster. “Sejak itu saya jadi suka sama desain grafis dan web desain,” ujarnya.
Melihat minat anaknya, kedua orang tuanya mendukung. Termasuk ketika Veronica memutuskan untuk kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Pelita Harapan. “Mereka memberikan kebebasan pada saya untuk memilih pendidikan yang saya mau dan sesuai dengan minat saya. Awalnya mau ambil IT karena ingin belajar programming, tapi akhirnya memilih DKV karena lebih suka seni,” ungkap Veronica.
Di jurusan ini ketrampilannya semakin terasah. Namun ketika itu Veronica mencoba jadi ilustrator. Dia menggarap lukisan potret teman-temannya jadi ilustrasi yang menarik. Ternyata itu banyak peminatnya. Sampai kemudian di semester V, dia mendapat mata kuliah web desain.
“Saya sangat berterima kasih dengan mata kuliah web desain. Di situ saya jadi kepancing untuk meng-eksplore sendiri, eksperimen buat web desain sendiri dan akhirnya keterusan sampai sekarang,” kenangnya.
Veronica menguasai Adobe Photoshop, Adobe Indesign, Adobe Illustrator, Adobe Flash Professional, Adobe Dreamweaver, Art Rage.
Di situ Veronica menggabungkan hobi gambarnya dengan desain grafis dan web development. Ternyata kemampuan itu yang ditampilkan pada tugas-tugas menarik perhatian dosen. Alhasil dia pun diberi proyek dari klien sang dosen untuk mengerjakan website developer milik seorang desainer adibusana.
Ternyata sang klien puas, sehingga Veronica pun dipromosikan. Dia sampai kebanjiran pesanan desain web. “Waktu itu mulai memberanikan diri untuk buka jasa layanan grafik disain dan logo desain. Dari promosi mulut ke mulut, dan promosi di Kaskus saya pun dapat banyak orderan,” ungkapnya.
Veronica yang kala itu masih berusia 19 tahun mulai berani menetapkan harga yang bervariasi dan cukup terjangkau sesuai kebutuhan klien. Alhasil namanya mulai dikenal sebagai disainer grafis profesional.
Manajemen Waktu
Sebagai tenaga profesional lepas, Veronica mengaku menemui kebebasan dalam berkarya. “Modal saya hanya niat, skill, komputer dan internet,” ujarnya. Dengan itu dia bisa memperoleh pendapatan hingga puluhan juta rupiah. Itu sudah lebih dari cukup bagi Veronica untuk hidup mandiri, bahkan untuk bisa menyelesaikan biaya kuliah sendiri.
Namun di sisi lain, Veronica mengaku menemui kesulitan dalam hal manajemen waktu dan produktivitas. Pasalnya semua dia harus hadapi sendiri. Mulai dari bertemu klien, bernegosiasi, mengerjakan desain, hingga memenuhi tenggat waktu. “Yang paling sulit itu ketika ada beberapa klien yang minta meeting. Kalau ada meeting, dijamin saya seharian cuma bisa produktif kerja beberapa jam,” ujarnya.
Belum lagi ketika dia harus kerja sama dengan tim (back end) developer.” Karena lokasi tidak sama, dan harus berdiskusi tetapi komunikasi tidak lancar. Itu menghambat produktivitas,” tambah penyuka gym itu.
Keadaan itu cukup membuat Veronica tertekan. Apalagi saat itu dia masih kuliah dan mengerjakan tugas akhir. Bahkan, dengan banyaknya proyek yang dikerjakan membuat Veronica hampir-hampir tidak punya waktu untuk diri sendiri. “Saya menghabiskan waktu untuk mengerjakan proyek klien, dan dikejar deadline. Belum lagi harus memenuhi meeting, kualitas dan kepuasan klien. Sampai saya kadang ikut hang out dengan teman-teman tapi pikiran saya tidak ada di situ. Sekarang menyesal karena sudah jarang bisa bertemu mereka karena kerja melulu,” ungkapnya.
Akhirnya gadis yang berencana melanjutkan S2 Hukum Bisnis itu belajar untuk bisa mengelola waktu dengan tepat. Alhasil dia berhasil menyelesaikan kuliah dengan tepat waktu dan memperoleh nilai memuaskan. Dia juga mendapat pengalaman berharga dengan beragam klien. Termasuk ketika dia pernah tertipu mengerjakan proyek tanpa mendapat bayaran karena kliennya tiba-tiba menghilang.
“Saya menemukan keberanian dan percaya diri berhadapan dengan klien. Termasuk menegaskan quotation, pengerjaan, serta kejelasan dalam pembayaran. Supaya kita tidak disangka nggak profesional atau malah dimanfaatkan dan ditipu klien. Intinya, berani, percaya diri dan tegas saja,” tegas Veronica.
Bagi dia industri desain grafis memiliki prospek yang baik. Belakangan memang banyak aplikasi atau software yang memudahkan orang awam untuk membuat desain sendiri. Namun ia belum merasa itu sebagai sebuah ancaman. “Desain grafis masih dibutuhkan orang-orang di masa depan. Karena cita rasa dan signature yang dihadirkan dalam karya desain grafis memiliki nilai seni yang sulit ditiru. Hanya memang desain grafis harus punya kemampuan lebih, dan punya keunikan sendiri supaya bisa tetap bertahan,” pungkasnya.
=========================================
Veronica Stevany
• Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 7 September 1993
• Pendidikan Terakhir : Sarjana Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan
• Nama Perusahaan : veronicastevany.com / Graphic by Veste
• Karya Desain : Goethe Institute, Tridental Implant Indonesia & Australia, Orkaden, Stellar Strive (game by Gotta Games), Milaxo, Choco Club, Daisho Restaurant, Indonesian Luxury, dll.
• Rate : Rp 1 juta – Rp 20 juta/ per project
=======================================
STEVY WIDIA