youngster.id - Dunia butuh 15 juta tenaga expertis untuk cyber security. Indonesia kini butuh 1000 tenaga ahli (expert) cyber security di luar officer untuk berbagai kebutuhan instansi pemerintah, dunia industri, perbankan, telko dan lain sebagainya. Namun, tidak banyak orang memutuskan mendalami bidang keamanan siber.
Untuk itu, pemerintah menggelar program Born to Control. Berbeda dengan kompetisi hacking lainnya adalah karena ia tidak hanya melatih para peserta tentang cara untuk melakukan peretasan, tapi juga tentang moral dan integritas. Ternyata, keahlian meretas sistem saja tidak cukup untuk menjadi bagian dari tim keamanan siber sebuah perusahaan.
“Mereka butuh proses, training dan pengenalan ke industri dan etika. Moral itu bagian dari kurikulum, karena etika dan integritas itu penting sekali,” kata Eva Noor Chairman Program Born to Control dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (31/1).
Dalam pelatihan Digicamp selama 2 minggu, juga akan diadakan tes psikotes dan pengembangan kepribadian. “Sekarang, sepintar apapun, kalau mindset negatif kan tetap tidak bagus,” kata CEO PT Xynexis International itu.
Untuk mendorong para mahasiwa IT agar ingin mendalami keamanan siber, Eva menyebutkan, melalui program Born to Control, mereka akan menjelaskan tentang jenjang karir para ahli keamanan siber.
Menurut Eva, ada 400 ribu mahasiswa IT di Indonesia saat ini. Dan idealnya, sekitar 30% mengkhususkan diri menjadi ahli cyber security.
Untuk program ini Xynexis International bekerjasama dengan Kementerian Informasi dan Telekomunikasi Indonesia, serta menggandeng Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komputer (APTIKOM) yang akan membantu menyediakan 10 Universitas di 10 kota secara roadshow, mulai April-Mei 2017. Selain itu disediakan juga Noosc Academy yang berpengalaman mengembangkan teknis sistem untuk hacking games dalam mengaplikasikan dan menjalankan program tersebut untuk masyarakat luas.
Menurut dia, program Born To Control dirasakan sangat penting diselenggarakan agar tidak terjadi ketimpangan teknologi yang melesat jauh dengan SDM yang ada. Hal ini juga dirasakan penting agar pemerintah seyogyanya tidak lagi mengimpor atau mendatangkan tenaga ahli luar dalam penanganan masalah cyber security di negeri ini. Bila hal ini terjadi sudah barang tentu sangat merugikan dan membahayakan ketahanan dan pertahanan bangsa.
Dilema yang muncul adalah, disatu sisi Indonesia butuh pengembangan teknologi dalam industri bisnis dan tatakelola pemerintahan.
Disisi lain SDM yang dimiliki terbatas dan tidak menutup kemungkinan bila tenaga ahli luar yang di berdayakan, kedepan akan membawa masalah serius dan besar apalagi berbicara kerahasiaan data, dimana masalah yang muncul menjadi sebuah keamanan yang cukup sensitif khususnya pada masalah ketahanan dan pertahanan bangsa dalam berbagai sektor.’
“Disinilah akhirnya kita berbicara bagaimana kita menjaga sebuah kedaulatan bangsa dari peran cyber security dalam menangkal kemungkinan cyber war yang bisa saja terjadi. Kelak kedepan sudah tepat kiranya kita punya generasi yang memiliki mindset bela dirimu dan bela bangsamu,” tegas Eva Noor.
STEVY WIDIA
Discussion about this post