youngster.id - Sociopreneur atau wirausaha sosial cenderung melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukan keuntungan materi atau kepuasan pelanggan, melainkan bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat.
Seorang sociopreneur adalah mereka yang sedang menabung jangka panjang karena usahanya memerlukan waktu dan proses yang lama untuk dapat terlihat hasilnya. Hal itulah yang dilakukan Harry Anugrah Mawardi, lewat Amygdala Bamboo. Bisnis yang berdiri pada awal 2014 ini mengedepankan pengolahan tanaman bambu dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa.
Tanaman bambu ada banyak di sekitar kita. Saking banyaknya, tanaman ini hanya sedikit dimanfaatkan. Namun di tangah pemuda kelahiran Bandung, 5 April 1986, tanaman ini bisa menjadi kreasi menarik dan inovatif serta bernilai ekonomi tinggi bagi masyarakat.
Lulusan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2009 ini bercerita kepada Youngsters.id, bahwa usaha yang digeluti ini awalnya berasal dari penelitian di kampusnya.
“Bisnis ini berawal dari keterlibatan saya pada sejumlah penelitian akademis untuk program studi Desain Produk ITB mengenai pengembangan desain produk kerajinan bambu. Saya melihat besarnya potensi pengrajin bambu Indonesia untuk menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar global, namun para pengrajin tidak memiliki akses dan wawasan yang tepat untuk itu. Oleh karena itu saya memulai bisnis ini. Untuk menjadi jembatan antara pasar modern saat ini dengan para pengrajin Indonesia, agar produk kerajinan Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan idola di negara lain,” ungkap Harry.
Harry tidak puas jika hasil akhir dari penelitiannya hanya sebatas menjadi paper dan prototype. Dia melihat besarnya potensi pengrajin bambu Indonesia untuk menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar global. Dengan keahlian di bidang desain yang dimilikinya, Harry meracik dan mengembangkan bisnis kerajinan bambu di Maret 2014.
“Saya ingin menunjukkan pada desainer lainnya, bahwa desain pun dapat memberikan manfaat nyata pada masyarakat desa. Sehingga bisnis ini dipilih dikarenakan dapat menerapkan human centered design secara nyata untuk konsumen dan produsen,” jelasnya.
Handmade
Harry memulai bisnisnya bersama seorang pengrajin bernama Utang Mamad (45 tahun), warga asli Kampung Ciloa, Desa Mekarsari, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut. Di Kecamatan Selaawi warganya sudah turun-temurun menjadi pengrajin bambu. Hasil produksinya berupa perabotan rumah tangga dan sangkar burung.
“Memadukan desainer kota besar dengan pengrajin di desa dengan tanpa mengganggu zona nyaman masing-masing untuk pindah tempat ke lokasi salah satu di antaranya,” ujarnya.
Tidak hanya sebatas memproduksi perabotan rumah tangga dan sangkar burung, Harry dan Utang berhasil membuat puluhan jenis produk baru. Harga yang ditawarkan mulai Rp 50.000 hingga Rp 2,2 juta per produk. “Banyak sekali macamnya, seperti home decor, lampu, kursi, tableware, perhiasan, tas, bahkan pintu,” ucapnya.
Sebagian besar produk kerajinan yang dihasilkannya justru dibuat dengan menggunakan tangan (handmade). “Amygdala menawarkan desain yang sederhana namun modern dengan menerapkan teknik produksi yang tidak banyak bergantung pada peralatan,” ungkapnya.
Bahkan dengan semakin bertambahnya jumlah pelanggan dan pemesanan, Harry memilih untuk bekerjasama dengan para pengrajin lokal lainnya. Saat ini ada 8 Kepala kelompok pengrajin. Menurut Harry, dia melakukan perekrutan dengan proses seleksi melalui percobaan produksi desain yang tidak umum mereka lakukan. Hal itu untuk melihat kualitas yang dicarinya.
“Produktivitas para pengrajin sangat tinggi, rata-rata tiap bulan bisa menghasilkan sekitar 100 produk,” ujarnya.
Sistem kerja sama yang digunakan adalah dengan pola kemitraan. “Kami berusaha tidak hanya mempekerjakan pengrajin, tetapi juga memberikan mereka wawasan melalui studi banding perjalanan ke daerah pengrajin lain untuk belajar. Juga, menerapkan sistem kemitraan bagi hasil yang dimaksudkan untuk menyesuaikan kesejahteraan mereka dengan bisnis ini,” kata Harry lagi.
Meski usaha ini berjalan dengan baik, Harry mengakui ada beberapa rintangan yang dihadapi Amygdala. Dua masalah utama yaitu profesionalisme pengrajin dan kualitas material alam yang membutuhkan maintenance yang tepat.
Sebagai contoh, production time seringkali tidak sesuai target dikarenakan pengrajin tidak terbiasa mengejar target waktu dan berujung pada melesetnya target untuk deliver pada klien.
”Hal itu sekarang disiasati dengan membuat stok komponen siap rakit untuk memperpendek waktu persiapan bahan, dan juga memberi tenggat waktu lebih cepat dari tenggat klien, agar pengrajin dapat memiliki kisaran waktu yang lebih cukup. Sementara untuk bahan baku, support dengan bahan-bahan pendukung seperti anti-jamur, anti-rayap, dan finishing ramah lingkungan terus ditingkatkan melalui penelitian-penelitian yang komprehensif demi menemukan kualitas bahan baku untuk barang jadi yang unggul dan lebih memuaskan pasar,” ungkapnya.
Minat pasar yang semakin tinggi terhadap produk bambu atau bahan alam lainnya, memberi peluang besar untuk Amygdala mengembangkan usaha ini. Padahal, Harry mengaku, ia memulai usaha Amygdala Bamboo hanya bermodal Rp 1 juta dari kocek pribadinya. “Modal awal Rp 1 juta untuk modal produk sampel ketika pameran. Tidak ada investor,” ujarnya sambil tertawa.
Meski demikian, Harry mendapat dukungan, terutama untuk penelitian, melalui institusi pendidikan tempat kuliah. Selain itu, beberapa instansi yang memberikan pembinaan secara gratis seperti Syamsi Dhuha Foundation, British Council, dan Bank Mandiri.
Bangun JejaringÂ
Butuh cara ekstra bagi Harry memperkenalkan Amygdala Bamboo kepada masyarakat Indonesia. Menurut Harry, strategi khusus yang dijalani Amygdala adalah konsisten menempatkan diri sebagai yang terdepan untuk produk bambu modern. Hal ini diupayakan dengan mengikuti beberapa kompetisi untuk meningkatkan nilai competitiveness dari brand ini.
“Melalui prestasi dari kompetisi yang diikuti, diharapkan kepercayaan masyarakat terus meningkat, dan menumbuhkan rasa harus memiliki produk Amygdala,” ucapnya.
Selain itu, Amygdala menerapkan sistem crowd sourcing terhadap pengrajin yang menjadi ujung tombak Amygdala. Ini artinya SDM Amygdala didapatkan dari masyarakat luas. Amygdala membangun jejaring dengan pengrajin bambu di Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Lembang, Banten dan Bandung.
Jejaring ini dibangun untuk memutarkan dan membagi produksi Amygdala sesuai dengan jenis produk dan jenis keahlian pengrajin. Hal itu, menurut Harry agar kemakmuran pengrajin menjadi merata dan tepat guna. Keuntungan dari sistem ini adalah tidak diperlukan workshop sendiri, karena yang dibutuhkan hanya storage sebagai tempat transit untuk quality control dari pengrajin ke end user.
“Dengan jejaring ini, diharapkan Amygdala dapat menjadi most wanted bamboo product in Indonesia, karena Amygdala berkoneksi dengan hampir semua produsen bambu di Jawa Barat,” sebutnya.
Nah strategi bisnis lain yang dijalankan Amygdala adalah rutin mengikuti pameran berskala internasional seperti Trade Expo, Crafina, IFEX, dan INACRAFT. Di pameran-pameran tersebut Harry mempromosikan produknya sembari melihat reaksi pasar terhadap produk tawaran Amygdala. Sehingga selain promosi, ajang ini menjadi riset untuk Amygdala.
Harry juga menerapkan sistem titip jual di situs Collective Brands. Dituturkan Harry, cara ini memudahkan pengurusan retail dan mengurangi biaya promosi dikarenakan konsinyasi kepada situs tersebut sudah termasuk promosi. Saat ini Amygdala pun sedang mencoba menjajaki kemungkinan penjualan offline dengan sistem stock di toko fisik. Tetapi, menurutnya, dibutuhkan modal untuk stock dan distribusi rutin ke toko tersebut.
Strategi bisnis ini diakui Harry berdampak positif pada peningkatan jumlah permintaan produk bambu buatannya. Omzet yang didapatnya kini mencapai ratusan juta rupiah. “Sudah, omzet Rp 200-300 juta/tahun dengan jumlah 8 ketua kelompok pengrajin,” katanya.
Semua itu membuat produk Amygdala Bamboo semakin dikenal masyarakat. “Di dalam negeri kita sudah menjual di Bandung, Jakarta, Bali, dan Makassar,” sebutnya.
Tidak hanya sukses di dalam negeri, penjualan produk Amygdala juga sudah menyasar ke mancanegara. Sejak tahun 2015, produk Amygdala sudah berhasil menembus pasar Singapura, Jepang hingga Australia. “Di luar negeri itu ke Australia, Jepang, Korea, Malaysia, dan Singapura,” ungkap Harry bangga.
Saat ini, 90% produk Amygdala Bamboo dipasarkan di dalam negeri, dan sisanya 10% dipasok ke pasar ekspor. Meski memiliki porsi yang lebih kecil, Harry menilai potensi pasar ekspor ke depannya cukup besar. Menurutnya, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Korea, dan Eropa mulai jenuh dengan lifestyle modern. Sedangkan tren sustainable dan go green saat ini justru berkembang dan meningkat sehingga mereka cendrung ingin kembali ke alam.
Menurut Harry, respon konsumen luar sangat sangat bagus dengan ketertarikan dan memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi terhadap produk handmade Indonesia. Harry optimis peluang bisnis produk bambu bakal terus meningkat. Hal ini karena masih sedikit pengusaha yang bermain dengan material bambu karena proses produksinya yang membutuhkan treatment khusus.
“Saya ingin memperluas jaringan usaha dan memperbesar workshop. Para pengrajin semua mendorong saya untuk terus meningkatkan bisnis ini karena mereka siap dan berniat untuk berkembang demi kesejahteraan hidup mereka dan keluarga,” ungkap suami dari Mendy Fizayanti Alkadrie itu penuh harap.
================================
Harry Anugrah Mawardi
- Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 5 April 1986
- Pendidikan Terakhir : S2 Desain ITB
- Nama Perusahaan : Amygdala Bamboo
- Nama Brand : Amygdala Bamboo
- Tanggal Berdiri : Maret 2014
- Modal Awal : Rp 1 juta
- Omzet : Rp 200-300 juta/tahun
- Proyek yang dikembangkan : Bamboo Modern Craft
Prestasi :
- Best of The Best Wirausaha Muda Mandiri 2015,
- Best of The Best Bravacasa Design Challenge 2014,
- Juara 2 Kategori Startup Anugrah Jawara Wirausaha Sosial Bandung 2015,
- Anugerah Prakarsa Jawa Barat 2016
====================================
ANGGIE ADJIE SAPUTRA
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post