IFSoc Dorong Keberlanjutan Ekosistem Fintech di Tengah Tantangan Fraud, AI, dan Integrasi Regional

ekosistem Fintech

IFSoc Dorong Keberlanjutan Ekosistem Fintech di Tengah Tantangan Fraud, AI, dan Integrasi Regional (Foto: Ilustrasi)

youngster.id - Indonesia Fintech Society (IFSoc) menilai tahun 2025 menjadi momentum krusial bagi industri fintech Indonesia untuk memperkuat fondasi keberlanjutan melalui tata kelola yang baik, perlindungan konsumen, dan penguatan kepercayaan publik.

Ketua IFSoc Rudiantara menegaskan bahwa pesatnya pertumbuhan industri fintech harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pengelolaan ekosistem secara menyeluruh.

“Skala industri fintech Indonesia saat ini sudah sangat signifikan dan terintegrasi dengan sistem keuangan nasional. Karena itu, fokus kita tidak bisa lagi hanya pada pertumbuhan dan inovasi, tetapi juga pada tata kelola, perlindungan konsumen, dan kepercayaan public. Tanpa fondasi tersebut, pertumbuhan justru dapat menciptakan risiko baru bagi ekosistem,” ujar Rudiantara, dikutip Senin (22/12/2025).

Dalam Catatan Akhir Tahun 2025, IFSoc menyoroti lima isu utama yang dinilai akan menentukan arah industri fintech ke depan, mulai dari peran pinjaman daring, pemberantasan fraud, pemanfaatan kecerdasan buatan, hingga penguatan tata kelola perusahaan teknologi.

Peran Pindar dan Isu Suku Bunga

Anggota Steering Committee IFSoc Hendri Saparini menilai pinjaman daring (pindar) memiliki peran sosial dan ekonomi yang semakin penting, khususnya bagi UMKM serta masyarakat unbanked dan underbanked.

“Pindar berperan mengisi celah pembiayaan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi perbankan. Data per September 2025 menunjukkan outstanding KUR menurun, sementara pindar justru meningkat. Kebijakan terhadap pindar perlu dirancang secara seimbang agar perlindungan konsumen tetap terjaga tanpa mematikan keberlanjutan industri,” kata Hendri.

Terkait dugaan kartel suku bunga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Hendri menegaskan bahwa batas atas suku bunga merupakan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai bagian dari kebijakan perlindungan konsumen.

Menurutnya, fakta menunjukkan batas suku bunga justru terus menurun dan memberi manfaat bagi peminjam. Proses hukum tentu perlu dihormati, namun penilaian harus dilakukan secara komprehensif dengan melihat konteks kebijakan dan dinamika industri.

Pemberantasan Fraud Digital

Anggota Steering Committee IFSoc Tirta Segara menyampaikan bahwa fraud dan penipuan digital masih menjadi tantangan besar di tengah rendahnya literasi keuangan masyarakat.

“Inisiatif seperti Indonesia Anti Scam Center (IASC) dan Satgas PASTI sudah berada di jalur yang tepat dan menunjukkan hasil konkret dalam melindungi masyarakat,” ujar Tirta.

Namun, mantan Dewan Komisioner OJK periode 2017–2022 itu menilai peningkatan efektivitas dan kecepatan respons masih menjadi pekerjaan rumah.

QRIS Crossborder dan Integrasi Regional

Anggota Steering Committee IFSoc Dyah N.K. Makhijani menilai pengembangan QRIS Crossborder sebagai langkah strategis dalam memperkuat sistem pembayaran nasional sekaligus mendorong integrasi ekonomi kawasan.

“QRIS Crossborder menunjukkan bahwa Indonesia mampu membangun sistem pembayaran yang inklusif, efisien, dan berdaya saing, sekaligus mendukung UMKM dan sektor pariwisata,” jelas Dyah.

Ia menambahkan bahwa interoperabilitas QR lintas negara menegaskan keterbukaan Indonesia terhadap kerja sama regional.

Pemanfaatan AI di Fintech

Anggota Steering Committee IFSoc Karaniya Dharmasaputra menyoroti kesiapan Indonesia dalam memasuki era kecerdasan buatan (AI), yang dinilai semakin strategis bagi industri fintech.

“Indonesia berada di peringkat kedua dalam tingkat adopsi AI di Asia Pasifik, namun masih tertinggal dari sisi investasi, infrastruktur, dan pemanfaatan AI pada produk frontline,” ujar Karaniya.

Menurutnya, pengembangan AI di Indonesia masih berada pada tahap awal dan membutuhkan dorongan kebijakan yang lebih kuat.

Penguatan Tata Kelola Perusahaan

Menutup rangkaian isu, Anggota Steering Committee IFSoc Eddi Danusaputro menekankan bahwa tata kelola perusahaan teknologi menjadi faktor kunci dalam menjaga kepercayaan investor dan keberlanjutan ekosistem startup.

“Penurunan pendanaan startup menjadi sinyal bahwa pasar kini semakin memperhatikan kualitas tata kelola dan transparansi perusahaan teknologi,” kata Eddi.

Ia menegaskan bahwa penguatan tata kelola harus dilakukan secara kolektif oleh seluruh pemangku kepentingan. (*AMBS)

Exit mobile version