youngster.id - Fesyen terus bergulir. Setiap tahun, selalu saja ada model, ide, atau inovasi baru yang ditampilkan industri ini. Namun ternyata industri mode memainkan peran utama dalam polusi lingkungan. Pada 2019 saja, Indonesia diperkirakan memproduksi 2,3 juta ton sampah tekstil.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengidentifikasi industri fesyen sebagai industri kedua penyumbang pencemaran lingkungan di dunia. Industri ini menghasilkan 8% dari emisi karbon dan 20% limbah air. Industri ini juga menyumbang seperlima dari 300 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahun pada skala global.
Hal ini mendorong Tinkerlust menggelar survei pada Juli 2022. Hasilnya, menunjukkan 65% responden mengetahui industri fesyen berdampak negatif terhadap lingkungan. Sebanyak 85,56% mengakui bahwa limbah fesyen berakhir menjadi tumpukan sampah, 33,8% mencemari air, dan 29,6% menjadi polusi tanah dan udara.
COO dan Founder Tinkerlust Aliya Amitra mengatakan, saat ini sudah banyak masyarakat yang peduli terhadap keberlanjutan. Masih dalam survei yang sama, 75% responden tahu mengenai fesyen berkelanjutan.
“Mayoritas sudah mudah tau kalau semakin banyak fesyen yang menawarkan sustainability, masyarakat juga lebih tergugah lagi dan akan ikutan,” ujar Aliya di acara Tinkerlust Fashion Impact Summit 2022 Selasa (15/11/2022) di Alila Jakarta.
Aliya menjelaskan, responden dari survei itu menjawab bahwa bentuk yang paling umum dari mode berkelanjutan adalah pakaian dengan bahan organik dan mampu didaur ulang, baju preloved atau bekas, maupun mode lambat.
“Tidak sedikit yang menganggap fesyen keberlanjutan adalah yang mengurangi penggunaan bahan kimia, memiliki daya tahan dan umur panjang keausan, praktik kerja yang adil, mode hippie, dan harga yang terlalu mahal,” katanya.
Menurut Aliya, saat ini sejumlah masyarakat mulai membeli pakaian bekas atau preloved di toko penjual baju bekas. Dari survei Tingkerlust, 9,5% mengaku selalu membeli barang preloved, 28,3% sering, 36% jarang, 13,8% sangat jarang dan 12,4% tidak pernah.
Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang turut menyumbang sampah pakaian seperti yang tergambar dalam survei. Ada sejumlah alasan mereka membuang busana mereka. Tinkerlust mencatat 37,2% dari responden mengaku bosan, 22% ingin mengubah gaya, 19,4% mengaku pakaian tersebut tidak lagi muat, dan 21,3% pakaiannya sudah rusak.
Ketika ditanya mengapa mereka tidak menjual pakaian tersebut, 41,8% tidak tahu harus menjual kemana, 18,8% terlalu sibuk untuk menjualnya, dan 46,4% menyebut kondisi barangnya buruk untuk dijual.
Sementara itu, Konsumsi rata-rata fesyen terutama pakaian meningkat 60% setiap tahunnya. Indonesia pun tercatat sebagai salah satu dari 10 negara penghasil tekstil teratas dan merupakan eksportir tekstil dan pakaian terbesar ke-12 di dunia.
Faktanya, dari 197 perusahaan garmen yang terdaftar, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang di Indonesia. Sekitar 2 juta ton pun berujung ke tempat tempat pembuangan sampah atau menjadi sampah di laut. Pada 2019 saja, Indonesia diperkirakan memproduksi 2,3 juta ton sampah tekstil.
CEO Tinkerlust Samira Shihab berharap survei ini bisa menjadi guideline bagi para industri fesyen di Tanah Air. “Harapan kita report ini menjadi guideline fashion brand dan fashion stakeholder untuk mengerti dampak dari keberlanjutan dan memilih bahan yang berkelanjutan dalam hal memproduksi. Kita bisa sama-sama sebarkan isu ini,” tuturnya.
STEVY WIDIA
Discussion about this post