youngster.id - Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro mengundang chief executive officer (CEO) dari lima perusahaan berbasis teknologi dan tujuh venture capital (VC) dalam negeri untuk meminta saran terkait program percepatan (quick win) dalam meningkatkan kompetisi Indonesia dalam bidang teknologi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Bambang mengungkapkan, program quick win diperlukan untuk mendorong inovasi yang mungkin masih menjadi kelemahan Indonesia dalam pengembangan ekonomi nasional. “Kami mendengarkan bagaimana kira-kira kami dari pihak pemerintah dapat bersinergi dengan pelaku bisnis, termasuk memfasilitasi inovasi yang lebih besar untuk memajukan Indonesia, berupa program-program percepatan (quick win),” kata Menristek, dalam siaran pers Kamis (31/10/2019) di Jakarta.
Menurut Bambang, program quick win harus dilakukan mengingat ranking Global Competitiveness Index Indonesia menurun dari 36 menjadi 50. Salah satu faktor yang dianggap tertinggal di Indonesia itu adalah di parameter inovasi. “Rankingnya relatif rendah, berarti kita perlu mengidentifikasi program-program quick win untuk memacu ranking inovasi agar lebih besar, sehingga nantinya bisa membantu ranking dari daya saing Indonesia sendiri,” ucapnya lagi.
Selain itu,program quick win ini diharapkan dapat menciptakan lebih banyak perusahaan pemula (startup) berbasis teknologi menjadi unicorn yang bervaluasi lebih dari US$ 1 miliar.
Hadir dalam kesempatan ini CEO Bukalapak Achmad Zaky, Co-CEO Gojek Andre Sulistyo, CEO Bubu Shinta Danuwardoyo, Co Founder Tokopedia Leontinus Alpha Edison, dan Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata. Sedangkan dari perusahaan venture capital ada Martin Hartono dari Djarum, Patrick Walujo dari Northstar, Abraham Hidayat dari Skystar Ventures, Sebastian Togelang dari Kejora Ventures, Melisa Irene dari East Venture, Jefrey Joe dari Alpha JWC Venture, dan Anthony Lim GDP Venture.
Adapun dalam hal ini masukan dari para CEO adalah pertama, match making (matching) program antara kebutuhan industri dan produk-produk inovasi yang dihasilkan peneliti dan perekayasa dari kalangan akademisi. Kedua, penciptaan program kolaborasi antara institusi litbang pemerintah dan/atau pendidikan tinggi dengan pihak swasta. Beberapa CEO dari perusahaan teknologi, seperti Tokopedia telah mempunyai kolaborasi dengan Universitas Indonesia (UI) antara lain dalam Research on Big Data.
Ketiga, penerapan dan pemantapan konsep Triple Helix yang sekarang telah berkembang menjadi Penta Helix (Academicians – Business – Government – Community – Media), harus terus menerus dipelihara untuk menjaga ekosistem pengembangan ristek dan inovasi di Indonesia.
Keempat, perubahan mind set kurikulum program pendidikan yang mengarah pada problem solving (pemecahan masalah), dari pada hanya pasif dan menerima masukan searah, juga perlu di evaluasi, karena pemikiran kritis ke arah inovasi harus dibiasakan sejak usia dini.
Kelima, evaluasi terhadap metode reverse engineering (bermula dari akhir) dalam berinovasi. Dalam proses produksi, inovasi harus mulai digalakkan kembali.
Keenam, sharing pengalaman dari CEO perusahaan besar dunia, seperti Google maupun Amazone perlu juga dilakukan agar dapat menginspirasi anak muda Indonesia untuk berkarir dalam pengembangan Innovative Business. Ketujuh, evaluasi dan optimalisasi pogram-program diaspora juga harus dilakukan secara maksimal, sehingga Indonesia dapat memaksimalkan kan para diaspora karena brain circulation tetap akan bermanfaat bagi pengembangan inovasi di Indonesia.
STEVY WIDIA
Discussion about this post