youngster.id - Sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia menjadi pasar konsumsi fesyen muslim terbesar nomor 5 di dunia setelah Turki, Uni Emirat Arab, Nigeria dan Saudi Arabia. Namun kini produsen busana muslim dalam negeri tumbuh pesat untuk bisa menguasai pasar lokal dan ekspansi ke pasar global.
Industri fesyen muslim dunia menunjukkan perkembangan yang semakin pesat. Menurut data Thomson Reuters dalam State of the Global Islamic Economy 2016/2017, total belanja fesyen muslim mencapai US$ 254 miliar di tahun 2016. Dan, diprediksi akan meningkat hingga mencapai US$ 373 miliar di tahun 2022. Di Indonesia, konsumsi modest fashion sudah mencapai US$ 13,5 miliar.
Kemenperin mencatat, nilai ekspor produk fesyen nasional pada 2017 mencapai US$ 13,29 miliar atau naik sebesar 8,7% dibanding tahun sebelumnya. Bahkan, Indonesia ditargetkan menjadi kiblat fesyen muslim di dunia pada 2020. Peluang ini ditangkap oleh para pelaku industri lokal dengan menghadirkan produk-produk fesyen muslim yang berkualitas, bahkan menciptakan tren tersendiri.
Salah satunya adalah kami., brand yang telah bergelut di modest fashion sejak tahun 2009. Merek fesyen kami. ini dikembangkan oleh tiga wanita hebat, yaitu Nadya Karina, yang Creative Director, Istafiana Candarini alias Irin sebagai Director, dan Afina Candarini atau Afi sebagai Direktur Keuangan kami.. Jatuh bangun sudah mereka rasakan dalam membangun industri ini. Mulai dari berubah produk, hingga berganti nama. Namun satu yang mereka tahu bahwa bisnis modest fashion memiliki peluang emas yang layak untuk diperjuangkan.
“Kami membangun bisnis dengan learning by mistake. Ada banyak kesalahan di awal, bahkan ada complain dari pelanggan. Tapi protes customer ini yang buat kami maju terus hingga sekarang ini,” ucap Nadya kepada youngster.id.
Kini, bisa dibilang kami. menjadi brand fashion lokal ready to wear modest untuk muslimah ternama. Produk yang dihadirkan mulai dari baju, celana, hingga gaun pernikahan. Bahkan mereka telah membuka toko offline di sejumlah daerah, mulai dari Jabodetabek, hingga ke Yogyakarta, Bandung, Medan, Padang, Palembang, dan Malang. Tak heran jika brand ini digandeng sejumlah pihak untuk bekerjasama untuk program promo selama bulan Ramadhan, termasuk produk scraft yang eksklusif hadir di Tokopedia.
Ekspansi kami. juga meluas ke berbagai department store seperti Central, Sogo, Lotte Shopping Avenue, dan Metro. Lebih jauh lagi, mereka mulai merambah dunia internasional dan membuka gerai di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Kegigihan menghadapi kendala bisnis mampu mengantarkan mereka pada kesuksesan. Paling tidak produksi mereka setiap bulan berkisar pada angka 10 ribu produk di segmen konsumen premium, dengan omzet diperkirakan mencapai miliaran Rupiah per bulan. Pada bulan Ramadan dan menjelang hari raya, produksi dan keuntungan mereka dapat berlipat.
Persahabatan dan Passion
Nadya yang didampingi dua rekannya, Irin, dan Afi bercerita bahwa bisnis ini bermula dari persahabatan dia dan Irin semasa SMA.
“Kalau flashback lagi ke 8 tahun lalu, siapa yang sangka KAMI bisa bertumbuh sejauh sekarang. Masih ingat sekali di tahun 2009, berawal dari saya dan sahabat saya Irin bertemu setelah sekian lama sibuk kuliah dan bekerja. Ternyata kami sama-sama mulai bosan dengan kerjaan kantoran yang monoton. Kami ingin membuat sesuatu yang kami senangi dan menghasilkan,” ungkap Nadya. “Kami cari passion kami di mana. Itu sempat trial and error. Cari sesuatu yang bisa kita buat sekaligus bisa dijual,” imbuh Irin.
Akhirnya, dengan modal sangat kecil, mereka memutuskan untuk mulai bisnis aksesori. Produk pertama adalah kalung dan syal (shawl). “Waktu itu kami menjual syal dari bahan kaus yang kami warnai sendiri menggunakan metode tie dye. Kami jualan online, tetapi kami sudah ada pemikiran untuk membuat toko suatu saat nanti,” ujar Nadya sambil tertawa.
Oleh karena itu, mereka pun membuat merek dengan nama KAMI Idea. Ternyata memulai bisnis ini sangatlah menyita waktu. Akhirnya Nadya yang bekerja di sebuah perusahaan desain interior, dan Irin yang bekerja di sebuah instansi pemerintah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan masing-masing untuk serius mengembangkan sebuah merek. Padahal, di awal mereka sempat setahun tidak mendapatkan keuntungan apapun dan hanya mengandalkan tabungan. Namun karena fokus untuk membesarkan bisnis ini, maka hal itu tidak menjadi masalah berarti.
“Kami tak hanya ingin jadi agen penjualan, beli barang dari toko lalu dijual lagi. Kami harus memberi tambahan value pada produk kami. supaya orang tertarik,” tegas Nadya.
Mereka lalu mengajak Afina, adik kandung Irin yang baru pulang kuliah dari luar negeri. “And as we know, the more the merrier. Karena saya dan Karin cukup ‘tahu diri’ bahwa kami berdua kurang berbakat untuk mengurus urusan yang terkait dengan pegawai, akhirnya tidak lama setelah kami. ada, Afi pun masuk menjadi bagian dari brand ini. So there were three of us from the very beginning of kami.,” kata Irin.
Modal pun mereka kumpulkan masing-masing Rp 5 juta seorang. Dengan modal ini produksi mereka pun ditingkatkan. Apalagi dalam setahun permintaan akan produk, terutama syal, terus bertambah. Akhirnya mereka memutuskan untuk membuat produk all look, mulai dari dalaman, celana, baju, hingga hijam. “Kami belok dari aksesori ke modest fashion,” ujarnya.
Akhirnya, pada tahun 2010 mereka memutuskan untuk fokus pada modest. “Lama-lama hijab dan baju kami seriusi dan aksesorinya menghilang,” ujar Nadya.
Soal desain, tidak ada masalah. Nadya bertindak sebagai creative director yang membawahkan divisi kreatif. Mereka bertekad memiliki full range apparel dan collection untuk memenuhi keinginan pelanggan. Alhasil, produk mereka mendapat sambutan positif di pasar.
Perubahan
Dalam perjalanannya, keinginan tiga wanita muda untuk terus berinovasi memberikan produk berkualitas membuat mereka melakukan beberapa kali perubahan. Termasuk menampilkan motif dalam busana mereka. “Kami melihat orang-orang suka dengan produk yang ada motif di bandingkan polos. Apalagi karena pilihan warna kami kebanyakan soft sehingga sesuai dengan warna kulit orang Indonesia,” kata Nadya.
Namun inovasi ini tak selamanya sukses. Ada juga yang gagal dan berujung pada protes pelanggan. “Kami pernah berekseperimen untuk bisa memberikan sesuatu yang baru dalam produk kami., tetapi malah bermasalah,” ujar alumni Jurusan Visual Communication and Design Binus University ini sambil tersenyum.
Nadya dengan gamblang bercerita, mereka pernah mendapat masalah ketika mengubah teknik pembuatan motif pada kain dari tie dye ke batik cap. “Rupanya pelanggan kami mindset-nya baju kami. kasual. Jadi ketika diterapkan motif batik, mereka kurang paham. Terutama dalam perawatannya. Akibatnya bajunya luntur, bahkan ada yang luntur saat dikenakan,” ungkapnya.
Tetapi peristiwa itu dan protes pelanggan tidak membuat Kami Idea berkecil hati. Mereka memperbaiki kesalahan dan mencari pemecahan masalah, yakni printing. “Kami merancang motif sendiri dan menuangkan pada kain. Dan itu mendapat sambutan baik dari pelanggan,” ujar Nadya.
Bisnis pun terus berkembang. “Kami memiliki beberapa lini, ada Basic, Signare, First dan Bride and Bridemaid. Koleksi yang masuk ke dept. store adalah Basic dan Signare, karena lebih affordable untuk konsumen,” kata Nadya. Cakupan harga pakaian siap pakai yang ditawarkan mulai dari Rp 300-an ribu sampai Rp 5 jutaan.
Pada tahun 2014, mereka berhasil membuka butik di Kemang. “Perjalanan dari online ke offline store sebenarnya bukan perjalanan mudah. Kami juga harus pintar memutar modal yang ada,” kata Nadya lagi.
Berkat basis pelanggan yang kuat inilah, ketika KAMI Idea menawarkan waralaba, sambutan pun meluas ke mana-mana. Kini, waralaba KAMI Idea ada di Palembang, Padang, Yogya, Balikpapan dan Bandung. KAMI Idea juga sudah membuka toko yang dikelola sendiri di Malang dan Medan.
Untuk sistem waralaba, menurut Irin, pihaknya menawarkan sistem pembelian yang berbeda-beda. Ada sistem beli putus, ada pula yang konsinyasi. Intinya, satu kota hanya satu toko. Toko pun harus cukup luas untuk mendisplai barang agar tidak digabung dengan merek lain.
Untuk pasar Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, KAMI Idea sudah tersedia di website multilabel market seperti Shopat22.com dan Fashionvalet.com. “Desember 2016 kami juga sudah mulai masuk offline store lain di Malaysia,” ungkap Irin tentang ekspansi bisnisnya.
Menurut Irin, risiko berbisnis fesyen, harus siap mengeluarkan produk baru dengan cepat. Biasanya pihaknya mengeluarkan produk baru dalam satu bulan tiga item. “Intinya, jumlah produksi tidak berkurang setiap bulan. Bahkan, kalau perlu, terus bertambah,” ujar Irin. Penjualan mereka bisa mencapai 1.000-1.500-an setiap bulan, baik melalui butik, online dan offline store, maupun butik.
“Penjualan terbesar masih dari website online kami sendiri, tetapi saya lupa berapa persen dibandingkan yang lain,” katanya.
Meski penjualan sudah bagus, mereka tidak berhenti mengomunikasikan diri. Salah satunya dengan mengubah brand mereka menjadi kami.. Nadya menuturkan, perubahan nama merek ini bukan tanpa alasan.
Rupanya kesalahan penyebutan merek tak hanya terjadi satu atau dua kali saja. Kata idea yang berasal dari bahasa Inggris kerap kali dibaca sebagai idea dalam bahasa Indonesia. “Padahal kita sudah bilang ini idea (dalam bahasa Ingris) yang artinya sebuah ide,” kata Nadya.
Sebenarnya, pada awalnya mereka tak terlalu mementingan nama brand. Asalkan produk disukai dan mendatagkan keuntungan saja sudah cukup bagi mereka. “Tapi sekarang, setelah semuanya sudah balance, barulah kita ganti nama brand,” katanya.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadikannya lebih sederhana. Merek dengan nama yang baru ini pun terbilang unik. Kata kami ditulis dengan huruf kecil dan diakhiri dengan tanda titik. Tanda titik diakhir kata Kami pun memiliki makna tersendiri bagi mereka. “Titik itu memang identik dengan akhir dari kalimat, tapi buat kami, ini adalah awal untuk membuat sesuatu. Titik itu merupakan awal kami mulai berkreasi, membuat garis lalu gambar,” kata Afi.
Nama kami itu berasal dari bahasa Jepang yang berarti kertas dan Tuhan. “Nama itu sesuai dengan bisnis ini yang dimulai dari kertas kosong dan ide dari Tuhan,” pungkas Nadya.
===================================
Nadya Karina (32 tahun). Founder, Creative Director
Istafiana Candarini (32 tahun), Cofounder, Direktur
Afina Candarini (27 tahun), Cofounder, Direktur Keuangan
- Mulai Usaha : 2009
- Brand : kami. (Fashon modest)
- Modal Awal : Rp 15 juta
- Produksi : sekitar 10 ribu pieces/bulan
- Tim : 30 orang
- Omzet : Miliaran Rupiah per bulan
===================================
STEVY WIDIA
Discussion about this post