Patricia Andriani Halim : Jadikan Batik Sebagai Busana Kekinian

Patricia Andriani, Founder & Designer "Patricia Andriani" (Foto: Stevy Widia/Youngster.id)

youngster.id - Usaha di bidang kreatif sedang tumbuh di Indonesia. Sebagian besar diusung oleh anak-anak muda. Menariknya, banyak di antara mereka mengangkat kembali produk budaya Indonesia dalam karya yang lebih kekinian. Salah satunya adalah batik.

Dulu, banyak yang berpikir bahwa busana batik ini terkesan kuno dan lebih sering digunakan oleh para orang tua. Tetapi, belakangan pandangan itu berubah. Banyak anak muda mulai bangga mengenakan batik. Apalagi, kini batik yang hadir juga lebih beragam dengan gaya yang lebih kekinian.

Hal ini didorong oleh berbagai factor. Salah satunya adalah peranan perancang busana yang memunculkan batik ke penikmat fesyen. Bahkan, mereka menjadika batik bagian dari industri fesyen kreatif.

Tak hanya desainer kawakan, desainer muda pun turut “bermain” dengan batik. Mereka mengolah kain baik menjadi busana siap pakai dan dapat dikenakan dalam berbagai kesempatan. Alhasil, bisnis fesyen batik dan kain tradisonal ini cukup menjanjikan.

Salah satu desainer muda berbakat yang mengangkat batik dalam gaya busananya adalah Patricia Andriani Halim. Lulusan Nanyang Academy of Fine Arts Singapura ini sukses menyulap kain batik tulis dari sejumlah daerah di Indonesia menjadi busana ready to wear yang stylish dengan desain yang modern.

“Saya suka batik. Motif dari kain-kainnya sangat inspiratif untuk dituangkan ke dalam model busana masa kini. Bahkan bagi saya batik bisa jadi tren busana yang kekinian,” ucap gadis yang akrab disapa Patty ini kepada Youngser.id.

Bagi gadis berusia 23 tahun ini, batik terutama batik tulis tidak melulu harus tampil old school. Di tangan Patty, kain-kain batik dengan beragam motif yang indah diaplikasikan ke dalam rancangan, baik sebagai aksen maupun dipadukan dengan beragam materi lain. Hasilnya adalah busana yang ringan, unik dan trendy. Cocok untuk anak muda yang ingin tampil beda.

“Saya jatuh hati dengan batik. Jadi semua busana yang saya desain akan selalu ada unsur batik,” tegasnya.

Selain itu, Patty mengaku melihat peluang bisnis dengan menggarap lini fesyen batik. “Saya melihat batik mulai menjadi bagian dari busana anak muda. Dan tentu ini juga jadi peluang bisnis yang baik,” ujarnya.

Menurut Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), fesyen menjadi penyumbang terbesar kedua setelah kuliner terhadap produk domestic bruto (PDB) ekonomi kreatif. Bahkan, sumbangsih sektor fesyen terhadap ekspor ekraf menduduki peringkat teratas. Besarnya nilai ekspor tersebut membuktikan adanya peluang bagi desainer Indonesia untuk terus berkembang.

 

Dengan label “Patricia Andriani”, kini Patty menawarkan dua lini produk busana, yaitu busana ready to wear dengan konsep formal, dan linen collection dengan konsep busana santai (Foto: Stevy Widia/Youngster.id)

 

Banyak Belajar

Bagi Patty menjadi perancang busana adalah hobi, sekaligus cita-cita. Padahal di lingkungan keluarganya tidak ada yang memiliki usaha di bidang fesyen. Namun, karena kedua orang tuanya membebaskan dirinya untuk menjadi apa saja, maka pikiran Patty pun terbuka luas.

“Saya sejak remaja senang mengamati fesyen dan suka membuat padu padan. Saya juga suka menggambar. Kedua hal ini yang membuat saya mantap memilih jadi fashion designer,” ungkap sulung dari dua bersaudara ini.

Setelah sempat mengambil kursus di Lasalle College Jakarta, Patty masuk Nanyang Academy of Fine Arts di Singapura untuk memperdalam dunia perancang busana. Menariknya, saat kuliah desain pun, dia berkiblat pada fesyen “Barat”, seperti Amerika dan Eropa. Akibatnya, sama seperti anak muda seusianya dia asing dengan batik.

“Waktu kuliah saya sama sekali tidak mengenal kain tradisional Indonesia. Karena semua diarahkan melihat tren fesyen dunia,” ujarnya.

Perkenalannya pada batik melalui koleksi kain batik dari sang mama. “Mama sering mengajak saya ke berbagai tempat yang ada pengrajin batiknya seperti Cirebon, Jogja, atau Lasem. Dari sana saya jadi tahu, kalau batik itu ternyata ada proses pengerjaan yang panjang, ada nilai budaya dan tradisinya,” ungkapnya.

Dari perjalanan itu, akhirnya Patty jatuh hati pada batik. Dan dia memutuskan untuk mengembangkan batik, terutama tulis pada gaya rancangannya. Oleh karena itu, walaupun setelah lulus sempat ditawari bekerja di sebuah rumah mode di Jakarta, Patty lebih memilih membuka usaha fesyen sendiri. “Saya melihat ada peluang bisnis dengan menggarap fesyen batik. Saya pikir harus mulai dari sekarang,” ujarnya sambil tersenyum.

Langkah lajang kelahiran Jakarta 4, April 1994 ini mendapat dukungan dari kedua orang tuanya. Mereka memberikan pinjaman tempat bagi Patty untuk memulai usahanya. Sementara modal untuk membeli peralatan jahit berasal dari tabungan pribadi. “Modal awal sebenarnya tidak besar, hanya beli mesin jahit. Sedangkan kalau untuk bahan, saya pakai dari yang sudah saya beli sebelumnya,” ungkap Patty.

Awalnya, Patty membuat rancangan untuk keluarga dan teman-teman dekat. Dalam proses itu, Patty mengaku banyak belajar. Terutama mengenai motif, asal kain dan proses pembuatan kain. “Dari sana saya jadi bisa paham nilai kain dan tidak asal potong. Setiap kain batik memiliki motif dengan keindahan tersendiri. Sehingga setiap rancangan jadi memberikan ciri yang berbeda, meski menggunakan motif yang sama,” jelas Patty.

Ternyata gaya rancangan yang simple dengan cutting yang modern membuat Patty cepat dapat langganan. “Saya bahkan sempat kewalahan karena pesanan datang cukup banyak. Dari sana saya memutuskan untuk mulai memproduksi koleksi busana ready to wear, meski baru dalam jumlah terbatas,” ungkapnya.

 

Melalui hasil rancangannya, Patty ingin menjadikan batik sebagai bagian dari gaya busana fesyen anak muda masa kini (Foto: Stevy Widia/Youngster.id)

 

Bikin Tren

Dalam kurun waktu satu tahun, bisnis fesyen berlabel “Patricia Andriani” ini pun mulai berkembang. Dari hanya punya satu mesin, kini Patty sudah punya beberapa mesin dan dua tenaga penjahit. Dia tak lagi hanya membuat baju pesanan pelanggan, tetapi mulai melebarkan sayap dengan meluncurkan dua lini fesyen dengan label namanya sendiri.

“Saya melihat bahwa pasar untuk busana ini terus ada. Jadi kenapa nggak dibuat koleksi khusus di luar dari baju ‘pesanan’ yang saya buat selama ini,” ujarnya.

Memang, langkah itu terbilang cukup berat untuk pebisnis pemula. Bahkan, Patty mengaku sempat kewalahan mencari tenaga kerja penjahit. “Saya sampai ke sekolah-sekolah untuk mencari talent,” ujarnya sambil tersenyum.

Berkat upaya dan kerja keras, akhirnya dia berani meluncurkan brand fashion di awal 2017. Untuk lini yang pertama adalah busana ready to wear dengan konsep formal. Sedang lini kedua adalah linen collection dengan konsep busana santai alias resort wear. Koleksi busananya pun beragam mulai dari blouses, dress, hingga kulot yang stylish. Semua tampil dengan sentuhan batik dan kain Nusantara yang dipadukan dengan bahan berkualitas.

“Saya membedakan kedua lini ini adalah dengan busana formal dan busana liburan. Tapi semua tetap dengan sentuhan batik sebagai benang merahnya,” ungkap Patty.

Mengenai model, pecinta wisata kuliner ini mengaku tidak terlalu mengikuti tren. Pasalnya, menurut Patty, busananya itu timeless dan dapat dikenakan di moment apa saja. “Model busana saya itu simple, A line dan lose fit sehingga dapat dikenakan oleh siapa saja. Saya juga tidak terlalu mengikuti perubahan tren,” ujarnya.

Untuk kedua lini busana ini dia menetapkan harga yang terjangkau, dengan rentang harga dari Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung bahan dan ukuran. Untuk masing-masing koleksi ada 5-9 model. “Saya memang masih membatasi jumlah produksi, karena terkendala dari sumber daya penjahit yang ada,” aku Patty.

Untuk lebih memperkenalkan hasil rancangannya, Patty memanfaatkan pemasaran melalui  sosial media seperti Instagram hingga lewat platform Qlapa. “Dengan teknologi semua jadi lebih cepat dan mudah,” ucapnya.

Toh, ada cerita menarik mengenai upaya Patty memasarkan hasil produknya. Untuk memasarkan busananya, Patty patungan bersama temannya menyewa model profesional. “Dari foto di portfolionya, model itu terlihat tinggi langsing. Ternyata setelah tiba di sini penampilannya tidak sesuai dengan yang difoto. Bahkan ada koleksi pakaian yang tidak muat,” kisahnya sambil tertawa.

Patty berencana pada pertengahan tahun ini akan meluncurkan koleksi terbaru dari ready to wear dan linen. Tak hanya itu, dia juga ingin turut berkontribusi mengangkat pamor kain tradisional, tak hanya batik tetapi juga tenun ke dalam rancangannya. Dengan begitu, pamor kain tradisional naik di mata anak-anak muda di Indonesia.

Desainer yang pernah memamerkan karyanya dalam London Design Festival 2016 di Inggris itu mengaku sempat heran ketika kain tradisional Indonesia lebih dihargai orang luar. “Saya menemui banyak orang di Eropa yang paham tentang nilai batik. Oleh karena itu sayang kalau sampai batik tidak menjadi bagian dari gaya busana fesyen anak muda masa kini. Memang tidak mudah, tetapi saya yakin bisa,” pungkasnya.

 

=======================================

Patricia Andriani Halim

======================================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version