Pemerintah Akan Buat Sistem Rating dan Atur Batas Usia untuk Game Online

Anak dan game online. (Foto : ilustrasi/Istimewa)

youngster.id - Anak-anak kerap menjadi korban kejahatan di dunia siber, salah satunya lewat game online. Hal ini mendorong pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah menyiapkan sistem penilaian (rating) konten dan klasifikasi usia untuk game online.

Menteri Komdigi Meutya Hafid mengatakan, langkah ini bagian dari upaya menciptakan ruang digital yang lebih aman bagi anak-anak.

“Kami ingin industri gim di Indonesia terus tumbuh secara sehat, tetapi pada saat yang sama, kami juga menerima banyak sekali keluhan dari para orang tua tentang konten-konten yang tidak sesuai untuk anak-anak,” kata Meutya dalam forum Indonesian Woman In Game (IWIG) BeautyPlayConnect, dikutip dRabu (9/7/2025).

Untuk mewujudkan perlindungan ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS). Regulasi ini mewajibkan setiap penyelenggara sistem elektronik (PSE), termasuk pengembang dan penerbit gim, untuk menerapkan klasifikasi usia secara ketat.

“Kami tidak melarang gim, tetapi kami menunda akses konten kepada pengguna yang belum cukup usia. Ini bukan soal sensor, tapi soal tanggung jawab bersama dalam menciptakan ruang digital yang aman dan sehat,” katanya.

Menurut Meutya, gim dengan konten kekerasan atau tingkat adiktivitas tinggi hanya boleh diakses oleh pengguna berusia minimal 16 tahun dengan pendampingan orang tua, dan secara mandiri setelah berusia 18 tahun.

Komdigi juga akan memperkuat penerapan sistem rating konten melalui Indonesia Game Rating System (IGRS). Sistem ini dirancang sebagai panduan bagi orang tua, pemain, dan pelaku industri dalam mengenali konten yang sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.

Menurut Meutya, IGRS bukan hanya alat bantu untuk orang tua, tapi juga pelindung bagi industri.  “Dengan menerapkan klasifikasi usia secara jujur, pengembang dan penerbit bisa menghindari risiko pelanggaran hukum,” ujarnya.

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version