youngster.id - Industri logistik mengalami pertumbuhan yang luar biasa dalam dua tahun terakhir, terutama karena pandemi COVID-19 yang mendorong aktivitas e-commerce. Namun, tingginya biaya logistik masih menjadi masalah.
Betapa tidak, biaya logistik di Indonesia mencapai 23% dari Produk Domestik Bruto (PDB) – lebih tinggi daripada negara-negara tetangga seperti Thailand (15% dari PDB negara) dan Malaysia (13% dari PDB negara).
Rumitnya penanganan informasi serta susunan kerja birokrasi yang ketat menghasilkan inefisiensi, yang menjadi tantangan lain dalam menurunkan biaya logistik di Indonesia.
Selain itu, inefisiensi sektor logistik di negara dengan lebih dari 17.000 pulau ini, akibat informasi rantai pasok (supply chain) nasional yang tidak terhubung. Hal ini menimbulkan tantangan pada alur distribusi.
Sejatinya, ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab rumitnya rantai pasok di Indonesia. Di sisi lain, startup-startup logistik memiliki peran penting dalam membantu menyederhanakan proses rantai pasok ini.
- Transparansi data yang rendah
Penyedia jasa logistik di Indonesia masih mengalami tantangan terkait transparansi data pelanggan, sehingga menimbulkan berbagai masalah seperti terbatasnya informasi yang sampai ke pelanggan dan ketidakpercayaan.
“Transparansi pengiriman barang masih kurang jelas, jadi itu tidak real-time. Kita melihat kendaraan di Indonesia ada banyak. Kita harus bisa memberikan real-time data (pengiriman),” jelas Raymond Sutjiono, Co-Founder McEasy, salah satu pemain logistik yang didukung oleh East Ventures, Rabu (29/11/2023).
Transparansi yang tidak memadai di antara para pemangku kepentingan merusak efisiensi rantai pasokan, diperparah dengan kurangnya jadwal transportasi yang dapat diakses dan kebijakan pemerintah yang kurang efektif.
Hal ini menyebabkan potensi kerugian yang besar yang dapat membuat pelanggan merasa frustasi dengan solusi logistik yang tidak jelas dan terkadang hanya mendapat kompensasi yang terbatas dan parsial setelah proses pelaporan yang panjang.
Untuk mengatasi tantangan ini, perusahaan logistik dapat mengadopsi teknologi seperti Transportation Management System (TMS) dari McEasy, sebuah solusi Software-as-a-System (SaaS) yang dirancang untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam manajemen transportasi.
- Kurangnya kolaborasi antar pemangku kepentingan
Laporan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2023 menyoroti kolaborasi yang kurang optimal di antara para pemangku kepentingan, seperti pemerintah pusat, pelaku usaha, dan lembaga keuangan, yang mengakibatkan beberapa masalah.
Backhauling, atau mengembalikan kargo dari tempat tujuan (titik B) ke tempat asalnya (titik A), menghadapi tantangan karena biaya awal yang tinggi, dimana menyebabkan 70-80% masalah pada industri truk.
Pemangku kepentingan yang tidak konsisten juga menghambat rantai pasok yang terintegrasi, diperparah dengan perbedaan topografi dan budaya yang beragam di Indonesia. Terlepas dari tantangan ini, mendorong kolaborasi antara lembaga pemerintah, bisnis logistik, dan asosiasi menjadi sangat penting untuk meningkatkan logistik, seperti yang ditekankan oleh Cris Kuntadi, Ketua Dewan Pembina Ikatan Pengusaha Cargo Nusantara (IPCN).
Terkait dengan kolaborasi, McEasy, telah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia dalam mengadakan sesi sosialisasi secara aktif tentang implementasi teknologi digital di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Kendala penyimpanan barang yang menumpuk di gudang seringkali terjadi karena kemacetan di pelabuhan, hambatan regulasi, dan kesalahan dalam perencanaan inventaris. Hal ini membuat perusahaan harus menyimpanstok lebih banyak untuk mengatasi ketidakpastian prediksi permintaan dan kelancaran aliran rantai pasok.
- Inefisiensi pelaporan
Banyak penyedia layanan logistik di Indonesia masih sangat bergantung pada proses manual atau sistem berbasis kertas, yang menyebabkan keterlambatan, kesalahan, dan biaya yang lebih tinggi. Selain itu, kesenjangan adopsi teknologi dalam rantai pasok memperparah inefisiensi pelaporan.
Inefisiensi teknologi juga memengaruhi pemeriksaan bea cukai di Indonesia, terutama untuk pengiriman dalam jumlah besar. Bea cukai Indonesia membutuhkan waktu rata-rata tujuh hari dibandingkan dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya yang hanya membutuhkan waktu 2,6 hari.
Namun, peraturan pemerintah tentang bea cukai sangat berpengaruh. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyederhanakan prosedur, meningkatkan otomatisasi, dan mengurangi birokrasi. Meskipun demikian, mendorong peningkatan baik dari segi digitalisasi, manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), dan perbaikan infrastruktur, juga diperlukan untuk meningkatkan efisiensi.
Pemerintah Indonesia sendiri sedang mengatasi masalah konektivitas dengan mengimplementasikan Ekosistem Logistik Nasional (National Logistics Ecosystem/NLE), sebuah platform terdigitalisasi untuk meningkatkan kolaborasi di antara para pemangku kepentingan.
Inisiatif yang dipimpin oleh Kementerian Keuangan ini bertujuan untuk menyederhanakan operasi logistik, menarik investasi swasta untuk efisiensi, dan memaksimalkan pembangunan infrastruktur dengan menyediakan titik akses internet ke Sistem Penyiaran Digital (Digital Broadcasting System).
Ekosistem ini bertujuan untuk mendorong kolaborasi dalam empat pilar: pemerintah, manajemen spasial, sektor swasta, dan pembayaran, sehingga mengurangi kebutuhan kementerian untuk menavigasi peraturan dan proses terpisah.
“Tujuan pengembangan NLE adalah membuat proses bisnis di Indonesia menjadi lebih kompetitif, baik dari segi waktu, penyederhanaan, kecepatan, dan pada akhirnya dari segi biaya,” ujar Agus Rofiudin, Kepala Lembaga National Single Window (LNSW).
Waresix yang merupakan portofolio East Ventures menjadi startup pertama yang terintegrasi dengan NLE. Startup agregator layanan logistik dengan platform dan teknologi tanpa aset besar ini menawarkan layanan dan solusi logistik terintegrasi kepada pelanggan dengan lebih efisien. Waresix menghubungkan pengirim dan bisnis dengan transportir, truk, dan ruang gudang yang tersedia di seluruh Indonesia dalam satu platform, memberikan transparansi yang lebih baik dan meningkatkan pendapatan bagi pemilik aset.
East Ventures memainkan perannya sebagai venture capital (VC) dengan berinvestasi pada pemain logistik berbasis teknologi di Indonesia, seperti McEasy dan Waresix; startup pendukung Usaha Kecil Menengah (UKM) di sektor e-commerce, seperti SIRCLO, Praktis, dan Biteship; hingga startup rantai dingin (cold chain), seperti Fresh Factory dan Superkul.
Industri logistik Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik investor. Dengan semakin membaiknya peraturan pemerintah, kolaborasi digital diharapkan dapat berkembang seiring dengan semakin banyaknya pengusaha yang menawarkan solusi mereka. Pada akhirnya, dengan konektivitas rantai pasokan dan alur distribusi yang lebih efisien, penurunan biaya logistik dapat terwujud.
STEVY WIDIA
Discussion about this post