SHASA, Inovasi Rumah Garam Bertenaga Surya

Muhammad Arif Billah, mahasiswa Departemen Teknik Infrastruktur Sipil ITS dengan gagasannya berupa Smart House Salt Maker Tenaga Solar Cell. (Foto: istimewa/ITS)

youngster.id - Sebagian warga pesisir di Indonesia adalah petani garam. Namun masalah kualitas kontrol agar bisa memenuhi kebutuhan dunia industri masih belum terpecahkan. Untuk meningkatkan kualitas garam dan membantu meningkatkan produksi petani garam lebih baik lagi, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember ( ITS) Surabaya menggagas Smart House Salt Maker bertenaga surya.

Smart House Salt Maker Tenaga Solar Cell yang diberi nama SHASA ini digagas oleh Muhammad Arif Billah. Dia menjelaskan, adanya pandemi Covid-19 ini berpengaruh di berbagai bidang. Termasuk sektor industri garam. Ditambah faktor cuaca juga turut berpengaruh terhadap jumlah garam yang dihasilkan. Tak hanya menimbulkan lesunya harga garam, kondisi ini juga membuat para petani, khususnya di daerah Banyuwangi, kesulitan dalam proses produksi.

Dari permasalahan ini, Arif tertarik untuk membuat sebuah sistem tambak yang dapat memproduksi garam secara otomatis tanpa terpengaruh oleh cuaca. “SHASA ini merupakan rumah garam yang berbentuk setengah lingkaran dan di bawahnya terdapat kolam garam dan lampu pemanas,” terang Arif yang dilansir laman its.ac.id.

Dia memaparkan, pada SHAHA lampu pemanas tersebut dikontrol menggunakan arduino dan sensor berfungsi untuk memanaskan air laut yang masuk ke dalam rumah garam. Selain itu, SHASA dilengkapi dengan empat sensor lain. Yakni sensor cahaya, sensor hujan, sensor salinitas, serta sensor suhu dan kelembaban.

“Sensor-sensor tersebut memiliki peran penting dalam mendeteksi keadaan cuaca sekitar,” kat Arif yang aktif tergabung dalam Tim Penalaran ITS ini.

Sistem yang diterapkan SHASA tidak terpengaruh kondisi cuaca. Misalnya jika cuaca mulai mendung dan terjadi hujan, sistem pemanas dari SHASA akan bekerja sehingga air tua atau air jenuh dari laut tetap dapat terproses. Produksi dan keuntungan bisa lebih banyak Meskipun sistem ini dinilai tidak ekonomis bagi para petani garam, namun sebenarnya pengeluarannya terhitung lebih murah jika dibandingkan dengan jumlah produksi garam yang dihasilkan.

“Untuk kolam berukuran 7×8 meter diprediksi mampu menghasilkan garam sebanyak 500 kilogram, dan jika harga garam berada di kisaran Rp 500 per kilogram maka untung yang dihasilkan bisa lebih banyak,” ungkap Arif.

Objek studi kasus dilakukan Arif dipilih di Banyuwangi karena cuaca dan iklim di kota tersebut cocok dijadikan lahan garam. Dengan gagasan dari Arif ini, diharapkan mampu menjadi alternatif bagi petani dalam mengoptimalisasi produksi dan kualitas garam.

Gagasan SHASA ini membawa Arif berhasil meraih medali perak dalam Online National Essay Competition yang diselenggarakan Indonesian Young Scientist Association (IYSA) Sumatera. “Ide ini ditanggapi juri dengan respon positif. Selain itu, mereka menilai bahwa ide ini mampu memberikan kebermanfaatan jika terealisasikan dengan apik,” tandas Arif

Dia berharap sistem yang ada dalam SHASA ini tidak berhenti dalam sebuah gagasan saja. Tapi dapat direalisasikan ke kehidupan nyata. Arif juga berharap, gagasannya ini dapat dikembangkan dan dilirik para stakeholder seperti pemerintah dan institusi lainnya. “Semoga garam lokal dapat terus berkembang, sehingga mampu mengurangi ketergantungan impor,” tutup Arif.

Exit mobile version