youngster.id - Startup penyedia layanan coworking space WeWork dilaporkan mengalami kebangkrutan. WeWork akan mulai menutup sejumlah kantor cabangnya di beberapa negara.
Penurtupan sejumlah kantor WeWork ini disebut sebagai strategi untuk meningkatkan likuiditas dan memperkuat neraca keuangan.
Sinyal kebangkrutan mulai terlihat ketika startup asal Amerika Serikat (AS) ini mulai kesulitan dan bergulat dengan keuangan. Bahkan, awal pekan ini WeWork mengatakan kepada regulator keuangan AS bahwa mereka akan menunda pembayaran sebagian utang kepada kreditor dan telah disepakati bersama.
Selain itu, laporan BBC menyebutkan bahwa perusahaan tersebut sekarang akan berupaya untuk menegosiasikan ulang sebagian besar sewanya. Tidak hanya di Inggris, namun juga di seluruh dunia, seiring dengan upaya untuk memecahkan masalah yang disebabkan oleh ekspansi yang cepat, kenaikan suku bunga, dan upaya penjualan saham yang membawa bencana kepada publik, sekaligus keluarnya salah satu pendirinya.
Pada akhir Juni, perusahaan tersebut memiliki lebih dari 700 lokasi di 39 negara di seluruh dunia. Perusahaan yang berbasis di New York ini telah mengalami kesulitan sejak upaya awalnya untuk menjual saham di pasar saham gagal pada tahun 2019 karena kekhawatiran mengenai utang, kerugian, dan manajemennya.
Seminggu sebelum perusahaan mengonfirmasi bahwa penjualan sahamnya telah dibatalkan, pendirinya Adam Neumann mengundurkan diri sebagai kepala eksekutif.
Sebagaimana diketahui, WeWork pernah memiliki valuasi bisnis US$47 miliar (sekitar Rp714 triliun) pada tahun 2019, namun kini amblas ke level US$64,9 juta. Banyak yang menduga tingginya suku perbankan menjadi biang kerok bisnis properti ini. Bahkan, di penghujung Oktober 2023 lalu, harga saham WeWork hanya US$2,28 atau turun 99,42% dengan kapitalisasi pasar yang tersisi US$121 juta.
Sejak awal 2023 harga saham WeWork telah turun 96%. Menurut Wall Street Journal, kondisi tersebut membuat WeWork berencana untuk mengajukan kepailitannya pada pekan kedua November.
Perusahaan ini memiliki utang bersih jangka panjang sebesar US$2,9 miliar pada akhir Juni dan sewa jangka panjang lebih dari US$13 miliar, pada saat meningkatnya biaya pinjaman merugikan sektor real estat komersial. (*AMBS)