youngster.id - Industri kreatif di Indonesia terus bertumbuh dan berkembang. Berbagai usaha bisnis rintisan bermunculan. Ada yang berangkat dari tren, ada juga dari kegemaran. Semua berlomba untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasar. Hanya saja yang sukses bertahan adalah mereka yang memiliki nilai lebih.
Di awal tahun 2017 ini, industri kreatif di Tanah Air makin bergairah. Hal itu terbukti saat acara Creativepreneur Corner 2017 yang dipadati ribuan pengunjung, kebanyakan anak muda. Salah satu pembicara yang menyedot perhatian adalah Sweta Kartika.
Saat ini, nama Sweta Kartika termasuk dalam jajaran rising star di dunia komik Indonesia. Dia adalah komikus dari The Dreamcatchers (2011), Wanara (2011), Nusantaranger (2014) Grey & Jingga (2015). Komik-komik ini mendapat tanggapan positif, ketika disajikan secara cetak maupuun online lewat webcomic. Bahkan komik Grey & Jingga : the Twilight, memecahkan rekor karena cetak ulang dalam satu bulan penjualan.
Selain itu, Sweta adalah pendiri Warana Studio—sebuah ilustrasi dan desain yang memusatkan karya pada desain visual tradisi Nuantara. Sweta juga adalah pendiri padepokan RagaSukma, komunitas komikus yang membina dan menerbitkan banyak komik Indonesia secara online.
“Semua ini adalah upaya untuk memeperkenalkan kemasyarakat karya-karya anak bangsa yang tak kalah oleh bangsa lainnya,” ungkap Sweta Kartika kepada Youngsters.id.
Pasalnya, di mata Sweta industri komik Indonesia masih merupakan lahan tandus. Profesi ini masih jarang diminati. Berbeda dengan kondisi di Jepang ataupun di negara-negara Eropa dan Amerika. Apalagi untuk itu dibutuhkan kreatifitas, bakat dalam menggambar, dan kemampuan mengatur alur cerita dan memadukannya dengan gambar.
“Yang jelas industri komik adalah ‘lahan tandus’ karena di Indonesia banyak di-bombardir komik-komik terjemahan. Dan kita harus tampil, nyeliplah di antara mereka. Dan itu yang sulit, apalagi kita lebih mahal, kontennya sedikit, sehingga kita kalah. Kalau mereka kan kontennya sudah siap. Dalam setahun mungkin bisa 20 judul,” ungkapnya.
Bahkan, menurut pria asal Kebumen ini, saking tandusnya industri komik lokal, dirinya tidak melihat persaingan dalam industri komik lokal. “Kalau saya melihat rival bukan penghalang, bukan saingan yang bisa membunuh, tapi jadi penyemangat. Sebab, saya sadar kita sama-sama di lahan tandus,” kata Sweta sambil tertawa.
Namun lulusan S2 Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini menegaskan, bukan berarti profesi ini tidak menjanjikan.”Walaupun menjadi lahan tandus, tetapi pastinya bisnis ini mempunyai pasar,” tambah Sweta.
Menurut Sweta, Kalau bicara industri komik Indonesia yang laris manis justru bukan yang bergaya Jepang, melainkan komik bergenre opini dengan gaya yang semi kartun. Contoh komik yang popular adalah komik buatan Mice Cartoon dan Si Juki, juga komik-komik komedi terbitan Cendana Art Media seperti “101 Hantu Nusantara” dan lain sebagainya. “Hal ini membuktikan bahwa komik Indonesia pun mempunyai pasarnya sendiri,” ujarnya.
Padepokan
Untuk membangun industri komik lokal itu, Sweta dan rekannya Alex Irzaqi mendirikan Padepokan Ragakusuma. Ini adalah komunitas untuk menggembleng para pembuat komik khusus cerita silat.
Komik karya Padepokan Ragasukma dipasarkan secara indie dengan memanfaatkan penjualan digital. Sasarannya adalah anak-anak muda.
“Sejak awal membuat Ragasukma, penjualannya langsung lewat digital. Kalau penjualan fisiknya dengan mengikuti event kreatif. Tapi kita juga ingin menggapai pasar yang luas dengan memaanfaatkan web milik kita dan memanfaatkan sosial media,” kata pria kelahiran Kebumen, 14 April 1986.
“Ketika pertama kali masuk dengan membawa silat, kami berpikir orang-orang tua yang pasti suka. Tapi itu tidak bisa meremajakan market. Sebab, nanti kalau mereka sudah paripurna, market yang bawah belum kebina. Akhirnya, meski mengangkat tema pendekar, kami menuturkan dengan bahasa yang kekinian supaya anak-anak muda masuk dengan mudah dan membaca. Kalau ada generasi sepuh yang tertarik, itu bonus buat kami,” papar Sweta.
Bagi peraih penghargaan Pop Con Asia 2016 ini, pemasaran konsep digital dapat mempercepat pengenalan generasi muda akan industri komik. “Startegi kami adalah membangun ekosistem. Untuk itu kami harus bergerak bersama agar dapat mendorong generasi muda mengenal komik karya anak bangsa,” ujarnya.
Komunitas Nagasukma juga bekerjasama dengan pembuat game dan ilustrator musik. “Kami berkolaborasi dengan para pembuat game yang punya “mesin” tapi tidak punya konten. Demkian juga dengan musik. Kami sudah berafiliasi dengan banyak media, termasuk dari Italia,” klaim Sweta bangga.
Menariknya, bagi Sweta padepokan ini bukan sekadar membangun komunitas komikus. “Yang penting: kami bukan bangun komik, tapi gagasannya. Contohnya di Amerika, Marvell bikin satu konten Iron Man, lalu dibuat komik sebagai kanal petama, kemudian jadi film, lalu aplikasi lalu merchandise, fashion hingga wahana lainnya,” tutur Sweta bersemangat.
Impian ini sudah dibangun pengajar materi kuliah Comic Sense di ITB sejak lama. “Sejak kecil, saya tumbuh dengan bacaan komik yang disediakan oleh ibu saya, sehingga ketika besar saya ingin menjadi komikus. Kemampuan membuat komik sudah saya asah sejak usia 7 tahun dan masih terus berimprovisasi hingga hari ini,” ungkapnya.
Butuh Dukungan
Karya kreatif ini mulai menjadi bisnis ketika Sweta mendirikan Wanara Studio. Ini adalah studio ilustrasi dan desain yang memusatkan karya-karyanya pada desain visual tradisi Nusantara. Studio ini dibangun pada tahun 2009, ketika Sweta dan teman-temannya menyelesaikan tugas akhir.
Awalnya studio itu memulai dengan membuat kaos berdesain ambigram. Dengan modal sekitar Rp 3 juta omset mereka terus meninggkat. Bahkan, kini mereka sudah memiliki puluhan karyawan yang terdiri dari komikus, illustrator musik, pengelola web dan keuangan. Berangkat dari ini, Sweta mengembangkan bisnis menjadi studio ilustrasi dan desain visual yang mengedepankan desain visual tradisi Nusantara.
“Jalur terbaik untuk tampil di kancah IP global adalah dengan mengangkat konten kearifan lokal dan menyasarkannya ke market yang tepat melalui pengemasan yang modern. Dalam pengembangan IP itu, kreator harus selalu berpikir 25 tahun ke depan, bagaimana karyanya bisa tetap sustainable dan berkembang, juga bagaimana agar license-nya layak dikerjasamakan dengan produk lain, sehingga potensinya bisa dipikirkan semenjak proses awal karya itu diciptakan,” papar Sweta.
Sweta menegaskan industri komik di Indonesia masih dikenal sebagai indutri komik terjemahan. “Akan tetapi, kita tidak bisa serta merta menyalahkan sistem industrinya. Sebab, bagaimanapun penerbit membutuhkan produk untuk dijual, dan ketersediaan produk impor dari Jepang memang jauh lebih besar, baik secara kualitas maupun kuantitas,” ungkapnya.
Di sisi lain, pasar komik di Indonesia besar. Hal ini membuat komik-komik bergenre opini dan komedi menjadi popular. Di bawah dua genre itu, ada genre percintaan yang tak kalah populer. Hal inilah yang membuat komik-komik Indonesia laris di pasar, di tengah maraknya populasi komik terjemahan dari Jepang.
Oleh karena itu, Sweta berharap industri ini mendapat dukungan dari pemerintah. “Kita tidak mungkin bisa menjadi besar kalau tidak ada dukungan dari pemerintah. Itu poinnya. Perpajakan yang dimudahkan, terus toko buku supaya memajang komik-komik local. Itu benar-benar harus dari pemerintah,” ungkap Sweta.
Dia juga berharap akan tumbuh banyak komikus baru di Tanah Air. “Memajukan indutri komik Indonesia tidak bisa hanya dengan membuat komik yang hebat tapi hanya sekali, jauh lebih keren kalau kita bisa terus-menerus mengkaryakan komik setiap waktu hingga menua nanti,” katanya.
====================================================
Sweta Kartika
- Tempat Tanggal Lahir : Kebumen, 14 April 1986
- Pendidikan : S2 Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung
- Pekerjaan : CEO Comic Artist & Creative Director of Wanara Studio
Prestasi : Pop Con Asia 2016 (award achievment)
Karya :
- The Dreamcatchers (2011), cetak, penerbit KOLONI Gramedia
- Wanara (2011), webcomic, penerbit Makko Publishing Dream
- Tri Catra Manunggal (2012), featuring Alex Irzaqi, Kompetisi Komik Indonesia
- Maharaja Mokhsa (2013), featuring Alex Irzaqi, Kompetisi Komik Indonesia
- Grey & Jingga: The Twilight (2014), cetak, penerbit KOLONI Gramedia
- Nusantaranger (2014), webcomic, ditayangkan di comic.nusantaranger.com
- Puspadahana (2014), featuring Alex Irzaqi, Kompetisi Komik Indonesia
- Pendekar Tongkat Emas: Lembah Angin (2014), featuring Alex Irzaqi, cetak, penerbit m&c! Gramedia
- Grey & Jingga: Coffee42 dan Twinkle (2014), cetak, indie publishing
- Grey & Jingga: Days of The Violet (2015), webcomic, diunggah berkala di Facebook
====================================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post