youngster.id - Tampaknya, tech winter masih akan terus berlanjut di tahun 2024. Ini terlihat dari tren penurunan pendanaan startup dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan-perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi.
Apa itu tech winter? Istilah tech winter pertama kali muncul pada akhir 2022, yang dipakai untuk menggambarkan periode penurunan signifikan dalam industri teknologi. Dalam Bahasa Indonesia, tech winter diartikan sebagai musim dingin teknologi, di mana ada penurunan minat dan investasi di sektor teknologi.
Selama periode tech winter, pendanaan untuk perusahaan teknologi merosot tajam, pertumbuhan bisnis melambat, dan bahkan terjadi penurunan layoffs (PHK).
Startup di Indonesia mulai menjamur pada tahun 2015. Berdasarkan data Startup Ranking, Indonesia berada di urutan kelima dari sisi jumlah startup terbanyak di dunia, yakni 2.305. Posisi pertama ditempati Amerika Serikat dengan 69.565 perusahaan. Disusul oleh India (11.819), Inggris (6.025), dan Kanada 3.145.
Saat ini dari usaha rintisan di Indonesia sudah enam yang berstatus unicorn dengan nilai valuasi lebih dari US$ 1 miliar, yaitu Tokopedia, Traveloka, Ovo, Bukalapak, Xendit, GoTo, dan Ajaib. Sementara dua startup sudah berstatus decacorn dengan nilai valuasi lebih dari US$ 10 miliar, yaitu Gojek dan J&T Express.
Jumlah startup di Indonesia yang banyak, menjadikannya yang terbesar kelima di dunia. Namun, belakangan ini kepercayaan akan perusahan startup sedang menurun dan tidak sedikit yang gagal.
Ada beberapa indikasi yang menunjukan bahwa tech winter sedang terjadi. Pertama, terdapat penurunan investasi di industri teknologi. Menurut laporan East Ventures, pendanaan di Indonesia pada paruh pertama tahun 2023 menurun 74% secara year-on-year.
Boleh dibilang, tahun 2023 merupakan tahun yang lesu untuk pendanaan startup, bukan hanya di Indonesia tapi juga secara global karena investor modal ventura terus menahan diri.
Data Crunchbase menyebutkan, tahun 2023 akan menjadi yang terendah untuk pendanaan ventura sejak 2018. Investasi startup global pada tahun 2023 mencapai US$285 miliar – menandai penurunan 38% dari tahun ke tahun, turun dari US$462 miliar yang diinvestasikan pada tahun 2022.
Kedua, terdapat peningkatan PHK di perusahaan-perusahaan teknologi. Beberapa perusahaan teknologi Indonesia yang telah melakukan PHK antara lain Tokopedia, Gojek, dan Traveloka. Carsome, Halodoc dan LinkAja juga melakukan PHK.
Selama fenomena tech winter ini, menurut data CNBC, sepanjang 2022 diketahui jumlah karyawan startup dan perusahaan teknologi besar yang dipecat sudah mencapai 190.230 orang. Sementara, sepanjang 2023 jumlah PHK sudah mencapai 37.526 pekerja dari 122 perusahaan. Dalam dua tahun terakhir, gelombang PHK paling banyak terjadi pada November 2022 yakni mencapai 52.135 orang.
Ketiga, terdapat peningkatan gulung tikarnya startup-startup teknologi. Beberapa startup teknologi Indonesia yang cukup terkenal pun telah gulung tikar. Sejak pertengahan 2022 ada belasan startup di Indonesia yang gulung tikar, antara lain: Beres.id, UangTeman, Elevenia, Fabelio, Bananas, Brambang, Tumbasin, DishServe, JD.ID, Cohive, Lummo, Ula, Rumah.com, Pegipegi. Dan, terbaru platform edutech Zenius, juga menutup seluruh layanan operasionalnya (untuk sementara).
AC Ventures dan Bain & Co mengatakan bahwa ketidakpastian makro ekonomi berdampak pada bisnis. Para pemilik cenderung mengetatkan pengeluaran dan berharap startup yang mereka danai segera menghasilkan untung.
“Para investor lebih fokus pada startup yang memiliki bisnis yang menguntungkan, penilaian yang lebih bijak, dan rencana yang jelas untuk mencapai keuntungan. Hal ini terlihat dari berkurangnya tingkat peralihan dari pendanaan awal (seed) ke putaran A atau B,” terang AC Ventures dan Bain & Co, seperti dikutip Bloomberg Technoz.
Dalam dua tahun terakhir memang menjadi periode paling menantang bagi para perusahaan startup di Indonesia, seperti disampaikan Investment Partner GDP Venture, Antonny Liem. Seluruh startup memiliki tujuan yang sama, untung. Bukan lagi bagaimana membesarkan valuasi startup.
Menurut Antonny, dunia startup yang melesu dipengaruhi oleh investor yang wait and see akibat kenaikan cost of capital. Investor harus berulang kali mengkalkulasi target investasi mereka. Investor menyeleksi ketat, mana yang memiliki return of investment tertinggi dan risiko paling rendah.
“Kenaikan cost of capital ini dikarenakan faktor makro, seperti perang Rusia yang berdampak pada naiknya harga energi, pandemi Covid-19 mengganggu global supply chain dan lainnya,” jelas Antonny.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, secara umum, PHK merupakan upaya persiapan perusahaan yang percaya tantangan ekonomi membesar di masa mendatang, termasuk di tahun 2024. Permintaan masih lesu hingga mempengaruhi bisnis banyak perusahaan. Hal ini berimbas pada penurunan produksi.
“Jadi ini adalah fenomena yang kemudian diantisipasi para pelaku usaha di sektor industri dengan memangkas karyawannya melakukan efisiensi. Kalau efisiensi di bagian bahan baku tidak bisa dilakukan lagi, maka mereka terpaksa melakukan perubahan jam kerja, kalau itu tidak bisa lagi hal selanjutnya adalah PHK,” kata Bhima.
Apakah tech winter, yang tercermin dari menurunnya pendanaan pada startup, meningkatnya PHK hingga gulung tikarnya startup, masih akan berlanjut di 2024? (*AMBS)
Discussion about this post