youngster.id - Belakangan ini semakin banyak anak muda merintis bisnis sesuai dengan minat (passion). Bahkan, mereka berhasil menciptakan peluang-peluang baru yang tak terpikirkan sebelumnya. Tetapi tantangan bagi para founder usaha rintisan ini adalah pasar bidikan mereka belum tentu siap dengan “produk” yang ditawarkan. Dibutuhkan keberanian untuk bisa mencapai sasaran.
Langkah itu yang dilakukan oleh Qoala, sebuah perusahaan rintisan teknologi yang fokus pada insurance technologi (Insurtech). Menariknya, startup ini hadir ditengah masih rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia akan berasuransi.
Penetrasi asuransi di Indonesia baru menyentuh angka 1,7%, tergolong rendah dibandingkan negara lain di Asia. Meski demikian, laporan McKinsey Global Institute, 2017, mengatakan bahwa ada 43% potensi otomatisasi untuk industri asuransi dan keuangan. Peluang ini yang ingin diraih oleh Qoala.
“Platform dengan nama Qoala mempunyai tujuan dalam membawa keterjangkauan, kesederhanaan dan kemudahan pengguna dalam kehidupan digital mereka melalui layanan asurasi. Dan kami juga membantu perusahaan asuransi memberi edukasi pada nasabah melalui produk yang sesuai gaya hidup mereka dan dengan proses klaim yang mudah dan cepat melalui cara digital,” ungkap Tommy Martin, COO & Co Founder Qoala saat ditemui youngster.id belum lama ini di Jakarta.
Di Indonesia, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, penetrasi asuransi hanya 2,8% (2016) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut masih kalah dibanding angka penetrasi asuransi di regional.
Berangkat dari hal tersebut, Qoala ingin memberi pengalaman baru bagi nasabah asuransi di Tanah Air. Asuransi, kata Tommy, tak hanya terkait kesehatan dan jiwa, juga perjalanan, belanja, perangkat elektronik, bahkan pernikahan.
“Dengan teknologi Qoala, perusahaan asuransi bisa menyetujui dan membayar klaim dalam hitungan menit. Jadi, bila ada nasabah kami mengalami keterlambatan penerbangan. misalnya, klaim langsung dibayar tanpa perlu mengajukan formulir apa pun,” ujar mantan Kepala Pemasaran Traveloka Malaysia itu.
Perusahaan ini didirikan pada Maret 2018 dengan model bisnis B2B2C. Dan dalam waktu cukup singkat perusahaan ini sudah menggaet sejumah mitra. Mulai dari bekerja sama dengan perusahaan travel seperti Pegipegi, Panorama JTB, Padiciti, MNC Travel, Bravo Wisata, dan Travel Nusa. Juga dengan perusahaan asuransi seperti ACA Asuransi dan Simasnet.
“Kami berupaya menyelaraskan kebutuhan produk perusahaan asuransi dengan perusahaan perjalanan dan digital lain untuk memberi pengalaman yang baik pada masyarakat. Sehingga masyarakat bisa langsung mendapat pengalaman menyenangkan dari produk dan layanan asuransi dari Qoala,” kata Tommy.
Tantangan
Qoala didirikan oleh Tommy bersama Harshet Lunani (CEO Qoala) yang sebelumnya pernah bekerja di perusahaan asuransi internasional. Mereka berdua melihat peluang di bidang insurtech di Indonesia.
“Jadi secara bersama ide membangun Qoala ini muncul saat melakukan pekerjaan untuk sebuah perusahaan asuransi milik Sinar Mas. Ketika itu Harshet menyampaikan ide ada potensi atau distrubtion yang dapat dilakukan di industri ini. Kebetulan kalau dari pandangan saya insurtech sangat memberikan manfaat. Kami juga melakukan validasi ke market dan berdasarkan validasi tersebut kami mencoba mengembangkan produk ini supaya platform ini lebih bagus lagi. Maka di awal tahun 2018 berdirilah Qoala,” cerita Tommy.
Lelaki lulusan Matematic dan Computer Sains di College of London University ini menuturkan, bisnis asuransi masih punya beberapa kendala. Pertama, kesadaran berasuransi warga Indonesia yang masih rendah. “Masyarakat melihat asuransi sebagai kebutuhan sekunder, bahkan tersier yang mahal dan rumit,” ujarnya.
Kedua, pembelian asuransi perjalanan kerap disatukan tiket. “Pasar terbesar Qoala ada di bisnis asuransi perjalanan. Namun, asuransi ini kerap dibeli atau disatukan tiket pesawat terbang, kereta api, bus dan hotel,” ujar Tommy.
Namun, menurut Tommy, kendala itu tidak menghalangi mereka untuk mewujudkan Qoala. Pasalnya, dengan teknologi mereka dapat memberi pengalaman yang baik pada nasabah. Selain itu, dengan pengalaman klaim nasabah bisa diterima dalam hitungan menit tanpa proses berbelit-belit dia yakin menjadi daya tarik tersendiri.
Untuk itu, sejak awal, Qoala fokus mengembangkan layanan secara end-to-end dengan teknologi. mulai dari tahap Know Your Customer (KYC), fraud management saat proses klaim, dan proses pembayaran. Dengan solusi tersebut, perusahaan asuransi dapat mengurangi biaya operasional dan menciptakan pengalaman klaim yang machine-driven.
Misalnya, Qoala dapat membantu menilai kerusakan layar ponsel dalam hitungan detik melalui embedded machine learning pada teknologi video assesment mereka. Ini memungkinkan perusahaan asuransi untuk dapat memproses dan membayar klaim hanya dalam beberapa jam.
“Cuma bagi kami yang terpenting, industri asuransi itu sangat besar. Maksudnya dari sisi value chain-nya sangat besar dari distribusi, proses pembayarannya. Tapi kalau kami lihat dari sisi industri itu ada travel insurance, ada property insurance, otomotif dan sebagainya. Perusahaan kami ini memiliki value chain berbeda. Mungkin perusahaan insurance tech lain juga memiliki keunggulan. Kami lihat ini sebagai opportunity untuk bekerjasama dengan perusahaan asuransi dan insurance tech lainnya. Buat kami ini bukan kompetisi karena market di industri ini sangat besar,” paparnya.
Bahkan ia menjamin dengan teknologi Qoala nasabah dapat menerima klaim asuransi perjalanannya dalam kurun waktu 1,5 jam saja. Sementara kalau memakai proses manual, bisa memakan waktu hingga 4 jam.
“Kami bertujuan mendukung pertumbuhan industri asuransi dan inklusi asuransi dengan menyediakan layanan mobile yang sepenuhnya automated dengan proses yang disederhanakan. Penggunaan teknologi dapat bermanfaat pada industri asuransi, baik konsumen maupun asuransi, karena teknologi yang diciptakan dapat mengurangi biaya operasional asuransi dan menciptakan pengalaman klaim bagi konsumen yang machine-driven dan keseluruhannya digital,” papar Tommy.
Teknologi Komplek
Sesungguhnya bisnis insurtech ini sangatlah kompleks. Menurut Tommy, Qoala lebih mengarah ke post-sales, berbeda dengan pemain agregator yang pre-sales. Dan secara regulasi, belum ada payung hukum yang selaras dengan model bisnis Qoala.
Oleh karena itu, diungkapkan saat ini perusahaan masih dalam proses pendaftaran untuk masuk ke regulatory sandbox mengikuti aturan POJK Nomor 13/2018 tentang inovasi keuangan digital (IKD). “Sejak 3-4 bulan lalu kami sudah mulai berkomunikasi dengan OJK. Mereka cukup terbuka dengan model bisnis seperti ini karena bisa mendukung industri asuransi,” ujarnya.
Saat ini, Qoala menawarkan beragam layanan asuransi yang memenuhi kebutuhan di pasar saat ini. Pada fase awal dan seiring dengan pertumbuhan yang meningkat dari pasar travel online di Indonesia, Qoala saat ini meluncurkan produk-produk yang khusus untuk mengurangi risiko bagi para konsumen yang berpergian. Antara lain produk 90 menit penundaan penerbangan tanpa klaim, dan 100% pengembalian uang untuk pembatalan pengembalian kereta karena perubahan pikiran, melalui kolaborasi dengan ACA Asuransi dan Simasnet.
“Jelas kami di sini bukan perusahaan broker kan karena kami nggak menjual produk asuransi. Jadi yang kami lakukan lebih membantu perusahaan asuransi dalam membangun infrastrukturnya supaya proses masuk hingga pembayarannya bisa lebih cepat, mudah dan sederhana. Untuk sistemnya kami lebih B2B2C,” jelasnya.
Tommy menklaim, Qoala telah digunakan oleh puluhan ribu pemegang polis. Untuk itu, Tommy mengaku terus membangun dan menyiapkan sumber daya manusia (SDM). Apalagi ke depan, Qoala akan fokus pada pengembangan teknologi machine learning, AI dan video/image recognition yang merupakan teknologi masa depan pada industri asuransi.
“Ide yang bagus dan brilian tak akan bisa dieksekusi dengan baik tanpa adanya tim solid dan memiliki kapasitas. Sekarang, setidaknya kami punya 30 karyawan dari berbagai latar belakang perusahaan. Pengalaman kerja tidak harus dari industri perjalanan atau asuransi, bisa dari industri lainnya. (Perbedaan) ini memperkaya pengetahuan kami,” ucapnya.
Untuk mengakses layanan Qoala, sementara ini bisa diakses melalui versi PWA (Progressive Web Apps). Rencananya paling lambat aplikasi Qoala bakal meluncur pada kuartal I/2019.
Menurut Tommy, dalam waktu dekat perusahaan akan merilis beragam teknologi untuk mendukung produk asuransi umum. Asuransi produk gadget ditargetkan bakal rilis dalam waktu dekat. Berikutnya adalah asuransi kendaraan dengan teknologi. Bahkan dalam situs, Qoala tengah mempersiapkan produk asuransi untuk e-commerce, kesehatan, dan P2P lending.
“Untuk tahap awal kami akan mengedukasi masyarakat dengan asuransi umum yang produknya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Prospek dari insurtech telah membuat Qoala menerima investasi awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari Central Capital Ventura (CCV), Seedplus, dan Genesia Ventures. Ke depan, Tommy mengungkapkan kalua pihak melihat peluang masuk ke industri lain seperti e-commerce yang meliputi asuransi layar ponsel pintar yang pecah, perangkat elektronik. Bahkan mereka sedang menjajaki peluang kerja sama dengan perusahaan teknologi keuangan (tekfin) seperti peer to peer landing (P2P).
“Kami bertujuan untuk terus mendukung pertumbuhan industri asuransi dan inklusi asuransi dengan menyediakan layanan asuransi mobile yang sepenuhnya automated dengan proses yang disederhanakan. Kami percaya teknologi asuransi dapat menjadi bagian dari pendorong ekonomi digital di Indonesia,” pungkas Tommy.
=====================================
Tommy Martin
- Tempat Tanggal Lahir : Medan, 11 Maret 1987
- Pendidikan : Sarjana Matematic & Computer Science, College of London University
- Nama Usaha : (insurance technology) Qoala
- Mulai Berdiri : Maret 2018
- Jabatan : Cofounder & Chief Operating Officer
- Karyawan : sekitar 30 orang
=====================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post