Zaidil Firza dkk : Melalui UniKraf Hidupkan Kembali Budaya Kerajinan Dari Hulu ke Hilir

Zaidil Firza dkk : Melalui UniKraf ingin menghidupkan kembali budaya kerajinan dari hulu ke hilir (Foto: Dok. TRI/Youngsters.id)

youngster.id - Jika Anda pergi ke Yogyakarta, tentunya jangan lupa berbelanja aneka oleh-oleh berupa cinderamata ataupun kerajinan tangan khas. Pasalnya produk kriya dari kota ini sangat menarik dan unik, jarang ditemui di kota lain. Namun tahukah Anda di setiap produk tersebut ada kisah menarik?

Yogyakarta merupakan salah satu pusat industri kerajinan seni kriya di Indonesia. Mulai dari batik, furnitur, aksesoris, cinderamata hingga perhiasan dapat ditemui di sini. Setiap pengusaha memiiki karya dan keunikan sendiri. Salah satunya adalah UniKraf, sebuah usaha kolaborasi yang menyediakan berbagai jenis akseoris berdesain unik.

Yang membedakan UniKraf dengan usaha serupa adalah produk yang ditampilkan juga memiliki desain yang berbeda-beda. Sebab, setiap peminat dapat memberi desain sendiri. Seperti produk gelang atau kalung dengan bandul kayu yang bisa dibuat dan diukir sesuai permintaan pembeli.

Tak hanya itu konsep pemasaran UniKraf juga unik, storytelling. Semua ini adalah buah pemikiran dari sejumlah anak muda yang memiliki tekad berwirasuaha sekaligus meningkatkan taraf ekonomi para pengrajin di Yogyakarta. Mereka adalah Zaidil Firza, mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutam Universitas Gajah Mada (UGM), Talitha Fredlina Azali alumni Hubungan Internasional UGM, dan Camilla Okdriana alumni Desain Produk Universitas Kristen Duta Wacana.

“Kita mencoba menghidupkan kembali budaya Craftsmanship dari hulu hingga ke hilir. Konsumen bebas berimajinasi, merencanakan, dan mengkonsultasikan apa yang ingin diciptakan. Lalu kemudian kita hubungkan dengan sumberdaya manusia yang terhubung dengan kita,” ungkap Zaidil kepada Youngsters.id.

Awalnya mereka memulai dengan memproduksi aksesori berbahan dasar limbah kayu. Namun kini berbagai bahan dasar mereka terima. “Kini kami mulai berani menerima tantangan lebih besar. Apapun bahan dasarnya dan bagaimanapun bentuknya akan kami buatkan,” tegas Zaidil.

Tak heran jika aksesori, stasionary, merchandise, perhiasan hingga furniture yang mereka pasarkan sangat unik. Bahkan UniKraf menjadi the Most Favorite Tenant / Brand versi #FestivalAmbisiku yang digelar Tri.

Nama Unikraf, kata Zaidil, yang berasal dari Universe of (K)Craftsmanship, semesta ketrampilan. “Kraft dalam bahasa Jerman juga bermakna force, strength or energy as an attribute of physical action or movement,” jelasnya. Sehingga UniKraf pun adalah wadah menjaring dan menghimpun koneksi ke para desainer, pengrajin, pembuat dan seniman yang ada di seluruh Yogyakarta dan sekitarnya.

 

Up-Cycling

Pemuda kelahiran Medan ini mengungkapkan, Unikraf resmi hadir pada Mei 2015.  Namun konsep bisnis ini sudah dimulai dari tahun 2014, ketika dia baru saja pulang dari pertukaran pelajar dari kota Goettingen, Jerman Utara.

Ketika itu ada begitu banyak konsep bisnis menarik yang berkecamuk di kepala Zaidil. Dia tak sendiri tetapi menggandeng Talitha yang sangat peduli pada kebijakan ekonomi kreatif. Dan Camila yang senang mendesain produk dengan konsep ethical product. Mereka ingin bisa berbisnis sekaligus melestarikan budaya mengkriya, mencipta. Dengan modal patungan dari tabungan masing-masing founder terkumpulan uang sekitar Rp 3 juta. Dengan ini mereka menuangkan ide untuk membuat produk.

“Prinsip kami sederhana, open innovation dan collaborative economy,” ujar Zaidil. Oleh karena itu, dalam memasarkan produk Unikraf terbuka untuk aneka desain, dan produk dari para pengrajin dan seniman. Segmen pasar mereka juga cukup beragam, dari perorangan, lembaga, komunitas, hingga fotografer dengan rentang usia 17-30 tahun.

Di awal mereka mulai dengan mencoba mengolah limbah kayu industri lokal menjadi sesuatu yang bernilai, atau disebut Up-Cycling. Konsep ini menurut Zaidil bukan sekadar mendaur ulang tetapi juga menaikkan nilai dari produk daur ulang tersebut.

Produk perdana mereka adalah flashdisk kayu yang dihiasi dengan batik tulis khas Yogyakarta. Tak sekadar membuat produk unik, mereka juga menerapkan konsep pemasaran yang unik, storytelling.

Misalnya, sebuah flashdrive berdesain ukiran batik, diberi cerita tentang ramainya kampus UGM Jogja dengan aneka perjuangan melawan dompet kering di akhir bulan, tugas-tugas yang menumpuk, UAS dan UTS serta cita-cita yang kandas. Ditutup dengan mari kita dedikasikan UniDrive ini untuk UGM dan jasanya selama beberapa dekade mencerdaskan anak bangsa.

“Masyarakat merindukan kembali romantisme untuk menjadi terampil, menjadi unik, menjadi pengkriya,” ujar pemuda yang sedang sibuk menyusun skripsi itu. Menurut dia, dengan sistem perdagangkan yang bersifat on-demand maka pasar tidak dipaksa untuk menerima satu produk saja. Bahkan, mereka membebaskan konsumen untuk berimajinasi, merencanakan, bahkan mengkonsultasikan apa yang ingin diciptakan.

“Ya, awalnya kita mengawalinya dengan aksesoris yang berbahan dasar limbah kayu. Kini, kita mulai berani menerima tantangan lebih besar. Apapun bahan dasarnya, dan bagaimanapun bentuknya, kita akan buatkan,” tegas Zaidil.

Selain itu dalam bisnis ini mereka juga menerapkan sistem perdagangan yang adil. “Kami menghargai setiap desain yang lahir di tiap kolaborasi yang terjadi, dan menjadikannya fair untuk para penciptanya dengan cara mengarsipkannya dan memberi reward royalty pada pemilik prototype awal ketika kami mendapatkan kesempatan untuk produksi massal,” jelas Zaidil.

 

Zaidil Firza bersama dengan Talitha Fredlina Azali, Camilla Okdriana, mengembangkan UniKraf sebagai sebuah usaha kolaborasi yang menyediakan berbagai jenis akseoris berdesain unik (Foto: Dok. TRI/Youngsters.id)
Zaidil Firza bersama dengan Talitha Fredlina Azali, Camilla Okdriana, mengembangkan UniKraf sebagai sebuah usaha kolaborasi yang menyediakan berbagai jenis akseoris berdesain unik (Foto: Dok. Pribadi/Youngsters.id)

 

Bengkel Terbuka

Kini produk UniKraf mulai mendapat perhatian dari masyarakat. Bahkan produk mereka mulai dipasarkan hingga berbagai pelosik Tanah Air, seperti Jakarta, Bandung, Lombok. Juga, sampai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga  Singapura.

Menurut Zaidil, sistem penjualan masih melalui sistem konsinyasi dan ritel ke toko-toko tertentu. Namun, kata Zaidil, pemasaran paling efektif adalah lewat media online. Oleh karena itu, mereka tengah mengembangkan webstore dan aplikasi yang akan dirilis dalam waktu dekat.

Selain fokus pada penjualan produk-produk, UniKraf juga membuat kelas edukasi untuk masyarakat akan seni kerajinan. Mereka rutin mengadakan kelas kriya (crafting).  Hal itu karena Zaidil menilai, ketrampilan kriya ini mulai terkikis akibat desakan industri. Menurut dia, pola industri yang berpikir jangka pendek, memproduksi produk secara massal, dan bermodalkan asumsi, hanya memenuhi permintaan pasar yang dipaksakan.

“Lambat laun, para konsumen atau masyarakat juga sadar akan esensi dan nilai dari produk yang akan atau rutin digunakannya. Masyarakat merindukan kembali romantisme untuk menjadi terampil, menjadi unik dan menjadi pengkriya,” ungkapnya.

Program pelatihan ini rutin mereka lakukan di Yogyakarta dan sekitarnya. Bahkan, Zaidil dan kawan-kawan telah merencankan membangun bengkel terbuka untuk siapa saja yang mau mengkriya. “Rencananya kami akan membangun di lahan yang masih sejuk dari aroma perkotaan, di wilayah Kulonprogo. Semacam retreat dari hiruk pikuk, produktif mencipta sesuatu dengan tangan mereka sendiri,” kata Zaidil penuh harap.

 

========================================================

Zaidil Firza

========================================================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version