youngster.id - Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Ghana dan Pantai Gading. Hingga saat ini, produksi kakao secara nasional mencapai 700 ribu ton.
Sayangnya, potensi ini belum digarap secara optimal oleh masyarakat. Kebanyakan petani hanya menjual biji kakao yang telah difermentasi. Sedangkan daging dan kulit kakao hanya menjadi sampah.
Misalnya, di Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, sebagai salah satu produsen kakao di Yogyakarta. Namun produk olahan dari kakao itu masih sangat minim.
Prihatin atas fenomena itu, lima mahasiswa UGM, yaitu Dewi Purnama Sari, Choirun Nisa, Wahyu Setyaning Budi, M. Rakan Fauzi, dan Eleonora Valentia SM, mencoba mengoptimalisasikan potensi agrobisnis kakao melalui pengembangan produk sampingan kakao atau Cacaopack.
“Kecamatan Patuk ini merupakan produsen kakao yang sedang berkembang saat ini. Hanya saja jika dibandingkan dengan wilayah lain seperti Sulawesi dan Jawa Timur, produksi di wilayah ini masih tertinggal,” kata Dewi, Senin (2/5) dikutip dari laman UGM.
Menurut Dewi, selama ini petani kakao di Putat hanya menjual biji kakao yang sudah difermentasi, sehingga keuntungan yang diperoleh tidak begitu besar.
Melalui program Cacopack ini mereka memberikan pendampingan pengolahan limbah kakao menjadi produk yang bernilai ekonomis pada sekitar 50 petani kakao yang tergabung dalam kelompok tani Ngudi Subur. Penyuluhan dan pelatihan yang diberikan adalah pembuatan nata dari limbah daging buah (pulp) kakao.
Dijelaskan Dewi, dalam proses fermentasi kakao biasanya membutuhkan 20% daging buah (pulp) kakao sebagai starter pada proses fermentasi. Sementara itu, 80% sisanya tidak digunakan dan menjadi limbah. “Limbah pulp yang tidak dipakai inilah yang akan digunakan dan diolah menjadi nata de cocoa,” jelasnya.
Membantu Membuat Produk Olahan dan Pemasaran
Para mahasiswa juga memberikan pelatihan pengolahan limbah kulit kakao menjadi aneka produk olahan. Produk olahan tersebut, antara lain, menjadi pupuk kompos, dibuat sebagai tepung untuk lukisan, sabun cair, pakan ternak dan pakan cacing, serta kerajinan dari kulit kakao kering.
“Sebagian besar masyarakat hanya menimbun kulit kakao ini. Sementara sebagian lainnya dijual ke pengepul pupuk dan pakan ternak dengan harga rendah,” tuturnya.
Choirun Nisa menambahkan mereka tidak hanya membantu masyarakat Patuk dalam pengolahan limbah kakao saja. Namun, mereka juga berusaha membantu dalam pemasaran produk.
Dengan pemberian pelatihan pengolahan limbah pulp dan kulit kakao diharapkan bisa menciptakan sumber daya manusia kreatif, terampil, dan inovatif dalam pengembangan produk kakao. Dengan begitu, ke depan masyarakat dapat mengembangkan berbagai produk olahan kakao secara mandiri, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
“Melalui hasil olahan limbah kakao tersebut juga diharapkan dapat mendongkrak potensi agrowisata dan agribisnis di Kecamatan Patuk,”tukas Nisa
STEVY WIDIA
Discussion about this post