youngster.id - Proses pembuatan batik yang selama ini sangat tergantung ketersediaan cahaya matahari, kini dapat disiasati dengan mesin fotonik untuk batik. Kini, inovasi mesin fotonik ini sudah bisa dinikmati perusahaan batik.
Ketersediaan cahaya matahari menjadi faktor penting untuk memproduksi batik, terutama kain yang menggunakan zat warna indigosol. Namun, ketersediaan sinar matahari ini sering terganggu hujan dan awan, sehingga mempengaruhi kualitas warna indigosol.
Menyiasati persoalan tersebut seorang pakar Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB), Eko Mursito Budi, melakukan inovasi penggunaan teknologi pengganti sinar matahari pada pembuatan kain batik tradisional Indonesia. Alat ini kemudian disebut Mesin Batik Fotonik.
“Tujuannya, agar batik dapat diproduksi dimana dan kapan saja, dan dengan kualitas yang konsisten,” kata Eko, seperti dilansir laman ITB.
Sejatinya, usaha Eko untuk menciptakan mesin fotonik batik ini tidaklah mudah. Ia yang sebelumnya pernah sukses menciptakan Klungbot (Angklung Robot) ini harus mempertimbangkan banyak hal untuk mengintegrasikan semua komponen pada mesin fotonik tersebut.
Bermodal dana sebesar Rp 40 juta yang diperoleh dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) ITB, maka mesin fotonik batik generasi pertama berhasil diciptakannya. Toh, diakui Eko, mesin fotonik batik generasi pertama ini masih tergolong manual, karena membutuhkan bantuan manusia untuk menggerakkan kain batik agar masuk ke dalam mesin.
“Kesiapan mesin generasi pertama ini masih tergolong dalam Technology Readiness Level (TRL) Level 4. Artinya, pada level ini kami sudah menguji bahwa teori sains-nya sudah bekerja. Kami juga sudah bisa menentukan foton pengaktivasi indigosol itu adalah sinar ultra-violet sehingga bisa terjadi reaksi photochemical,” jelas Eko.
Tahun 2016, dibantu dua mahasiswanya Nabella Adjani dan Pedrick Pratama, Eko berhasil mendapatkan dana Rp 125 juta dari Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB untuk pengembangan mesin fotonik batik. Fokus riset adalah mencari formula proses penyinaran ultra-violet untuk berbagai warna indigosol.
Alhasil, Eko dan timnya berhasil mengembangkan mesin fotonik batik generasi kedua yang sudah mencapai TRL 6. Mesin ini sudah dapat melakukan aktivari indigosol secara otomatis, namun masih skala kecil. Dengan mengubah-ubah intensitas, serta menggunakan panjang gelombang cahaya yang berbeda, dan waktu proses aktivasi, maka sistem ini berhasil menghasilkan warna batik yang diinginkan.
Pengembangan karya mesin fotonik batik inilah yang kemudian mengantarkan tim mahasiswanya meraih medali perak pada lomba Program Kreativitas Mahasiswa 2016 yang diadakan oleh Kemenristekdikti.
Setelah sukses dengan purwarupa kedua, Eko dan tim mahasiswanya (Harris Suwignyo, Amron Naibaho dan Nugroho Hari Wibowo) berhasil mengembangkan sistem fotonik batik yang dapat menggerakkan kain ke dalam mesin secara otomatis menggunakan conveyor. Keberhasilannya ini meningkatkan level kesiapan produksi ke TRL level 7.
Sekarang mesin fotonik batik ciptaan Eko dan timnya ini sudah digunakan oleh PT Batik Komar yang berlokasi di daerah Bandung. Batik Komar merupakan salah satu produsen batik terbesar yang sudah melakukan ekspor batik hingga ke negara-negara di benua Eropa. Untuk musim panas 2018, perusahaan batik ini telah mengekspor 3000 kain batik indigosol ke Eropa, dimana sebagian diproses dengan mesin batik fotonik
“Karya inovasi mesin fotonik ini tidak lagi hanya dipamerkan, bahkan saat ini sudah digunakan oleh PT. Batik Komar dalam memproduksi batik. Sebagai bukti, ,” ungkapnya.
Target Eko selanjutnya, menaikkan mesin batik fotonik ini mencapai TRL 9. Untuk itu ia menjalin kerja sama dengan tim dari Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB untuk komersialisasinya, serta tim dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) untuk desain mesin yang lebih ergonomis dan tepat fungsi.
“Semoga upaya ini menjadi salah satu produk teknoprenour nyata dari ITB,” pungkasnya.
FAHRUL ANWAR
Discussion about this post