youngster.id - Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia. Peristiwa bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Sumatera baru-baru ini menjadi contoh betapa rawan keadaan di masyarakat. Akses yang sulit ditembus dan informasi di lapangan yang terbatas mengakibatkan korban yang selama terancam jiwamya.
Kondisi ini mendorong tiga pelajar Indonesia yang tergabung dalam tim Bayu Sakti, mengembangkan drone berbasis AI untuk membantu penanganan bencana. Mereka adalah Ksatria Wibawa Putra Murti (16), Owen Tay Jia Hao (16) dan Arga Wibawa (18).
“Indonesia adalah negeri rawan bencana. Untuk itu, kami ingin mengembangkan solusi nyata untuk menjawab permasalahan ini. Karena kerap jumlah korban bencana alam yang terbanyak bukan saat bencana terjadi tetapi saat bantuan tidak segera datang akibat putusnya akses transportasi dan komunikasi,” papar Ksatria saat ditemui youngster, pada Senin (15/12/2025).
Dia menjelaskan, drone yang diberi nama Rajawali ini merupakan autonomous AI-powered disaster response UAV (unmanned aerial vehicle) alias drone yang bisa melakukan mapping area. Pesawat tanpa awak ini dapat bergerak secara mandiri (autonomous), dan mampu mendeteksi beberapa indikator yang muncul saat bencana seperti retakan, label hazard, karat, dan serangkaian tantangan lainnya.
“Drone Rajawali dapat mengakses dan memberikan tiga hal utama yaitu melakukan risk assessment, memberikan informasi jalur akses, dan berperan sebagai efek pengganda tim penyelamat,” ujar pelajar kelas 11 SMA ACS Jakarta.
Ksatria menjelaskan, Drone Rajawali didesain untuk mengatasi ketiga tantangan ini. Pertama, dengan AI-powered image-recognition, drone ini bisa mengidentifikasi retakan, label hazard, dan karat, serta dibekali tangan tambahan untuk mengoleksi material.
Kedua, Rajawali memiliki kemampuan bergerak mandiri (autonomous) tanpa GPS karena dibekali LIDAR. Bahkan saat koneksi jaringan terputus, drone ini bisa tetap berfungsi.
“Drone Rajawali juga dapat memindai area yang dilaluinya dan menciptakan peta yang kemudian bisa jadi bekal tim penyelamat untuk mengidentifikasi jalur akses dan jalur evakuasi,” ujarnya.
Rajawali juga didesain dengan kontrol pengendali dan interface kendali yang mudah dioperasikan oleh tim penyelamat sehingga berperan sebagai efek pengganda.
“Dengan teknologi AI yang kami sematkan pada perangkat drone ini akan dapat menyelesaikan sejumlah tugas pemetaan. Sehingga satu tim penyelamat bisa mengcover area yang luas. Kami juga menilai drone adalah teknologi yang bisa dikembangkan mandiri dengan biayanya lebih rendah daripada solusi lain,” kata Owen menambahkan.
Prestasi Dunia
Karya ini berhasil meraih prestasi dunia. Pertama di ajang World Robot Summit (WRS) di Fukushima, Jepang pada Oktober 2025 lalu. Ini merupakan penampilan perdana tim Indonesia di ajang tersebut dan menjadi peserta termuda. Mereka juga berhasil meraih posisi ke 4 pada kategori Drone Disaster Challenge di WRS 2025.
Kemudian mereka berhasil memenangkan kategori Innovation AI Robot di ajang World Robot Games (WRG) 2025 di Taipei, Taiwan pada awal Desember 2025.
“Kami sangat senang drone Rajawali bisa menang di dua kompetisi robot internasional, WRS dan WRG. Itu artinya, kerja keras kami selama enam bulan ini diakui di tingkat internasional dan Indonesia terbukti bisa mengembangkan inovasi yang tidak kalah dengan peserta tingkat dunia,” ucap Arga yang baru saja lulus dari SMA Al Irsyad Satya Islamic School.
Dia mengakui, di ajang tersebut mereka berhadapan dengan peserta dari berbagai negara dengan tingkat teknologi yang lebih maju. Bahkan dalam uji coba di berbagai situasi ekstrem, drone Rajawali sempat terhempas dan mengalami kerusakan. Namun dengan keterbatasan bahan baku cadangan mereka tetap bisa melanjutkan kompetisi bahkan meraih juara.
Menurut Ksatrian, proyek drone ini dikerjakan mereka bertiga secara swadana dengan dukungan orang tua. Biaya yang dihabiskan sekitar Rp 200 juta untuk pembuatan program bagi drone Rajawali. Selain itu, kegiatan ini juga dilakukan dalam waktu terbatas, hanya 6 bulan, disela-sela kesibukan sebagai pelajar.
“Selain dukungan moril dari orangtua, guru-guru kami juga sangat membantu dalam dengan memberikan pelajaran tambahan atau ujian susulan saat kami harus absen sekolah,” tambah Owen yang juga duduk di kelas 11 ACS Jakarta.
Kini mereka berharap dapat menyempurnakan pengembangan prototipye drone Rajawali ini menjadi lebih sempurna.
“Kami masih perlu melakukan pengembangan identifikasi risiko lain, pengembangan daya jelajah, dan kemampuan multifungsi pada drone Rajawali. Ini barulah langkah awal yang semoga bisa menginspirasi banyak pihak untuk ikut mendukung sehingga dapat membawa solusi drone ini mendukung penanganan bencana (disaster relief drone) di Indonesia,” ungkap ketiganya penuh harap.
STEVY WIDIA


















Discussion about this post