youngster.id - Perusahaan keamanan siber Fortinet merilis 2025 Global Cybersecurity Skills Gap Report yang menyoroti semakin lebarnya kesenjangan keterampilan keamanan siber di tengah meningkatnya ketergantungan organisasi pada teknologi kecerdasan buatan (AI). Laporan tahunan ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan talenta keamanan siber berketerampilan khusus, termasuk keahlian AI, berada pada titik paling mendesak dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam laporan tersebut, Fortinet mencatat bahwa organisasi kini menghadapi paradoks: AI diandalkan untuk memperkuat pertahanan, namun di saat yang sama AI juga menjadi alat yang semakin sering digunakan pelaku kejahatan siber untuk melancarkan serangan baru maupun memperkuat metode lama. Keterbatasan keahlian AI internal dinilai memperbesar risiko.
“Survei tahun ini makin menegaskan kebutuhan mendesak untuk berinvestasi pada ahli keamanan siber. Tanpa menutup kesenjangan keterampilan, organisasi akan terus menghadapi peningkatan insiden pelanggaran dan kenaikan biaya. Temuan ini menyoroti titik kritis bagi sektor publik dan swasta,” ujar Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia, dikutip Senin (8/12/2025).
Fortinet melaporkan bahwa seluruh organisasi yang disurvei (100%) mengalami setidaknya satu pelanggaran siber sepanjang 2024. Hampir separuhnya (48%) menghadapi lima atau lebih insiden—lonjakan signifikan dari 19% pada 2021.
Kekurangan keterampilan keamanan TI disebut sebagai salah satu pemicu utama. Sebanyak 68% responden menilai kurangnya pelatihan dan keahlian keamanan siber turut menyebabkan pelanggaran di organisasi mereka.
Biaya insiden juga terus meningkat. Sebanyak 62% organisasi menyatakan kerugian akibat serangan siber pada 2024 mencapai lebih dari US$1 juta, naik jauh dibandingkan 38% pada 2021.
Laporan Fortinet mencatat bahwa setiap organisasi dalam survei telah menggunakan atau berencana menggunakan AI untuk keamanan siber, terutama untuk deteksi dan pencegahan ancaman.
Namun, AI belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal karena kekurangan talenta pendukung. Hampir separuh pengambil keputusan TI (40%) menyebut minimnya keahlian AI sebagai hambatan terbesar dalam implementasi.
Sebagian besar profesional keamanan (96%) percaya AI bukan ancaman bagi pekerjaan mereka, melainkan alat yang dapat meningkatkan efektivitas tim yang kekurangan personel.
Fokus perusahaan terhadap keamanan siber di tingkat dewan meningkat pesat. Sebanyak 94% dewan direksi memperkuat perhatian pada isu ini sepanjang 2024.
Namun, pemahaman mengenai risiko AI masih dinilai belum memadai. Meskipun 70% responden menyatakan dewan memahami risiko AI, pengetahuan tersebut cenderung terbatas pada penggunaan teknologi AI di perusahaan, bukan pada potensi ancamannya.
Minat terhadap profesional bersertifikasi tetap tinggi: 90% pengambil keputusan TI lebih memilih kandidat dengan sertifikasi.
Sertifikasi dinilai memvalidasi kompetensi teknis (87%), memperlihatkan kemampuan mengikuti perkembangan industri (87%), dan pemahaman terhadap alat-alat vendor besar (62%).
Namun, dukungan finansial untuk sertifikasi dari organisasi justru menurun—hanya 76% responden yang mengatakan perusahaannya bersedia membiayai sertifikasi, turun dari 88% pada 2023.
Untuk mengatasi kesenjangan keterampilan ini, Fortinet melalui Fortinet Training Institute menawarkan berbagai program pelatihan, termasuk modul khusus berbasis AI dan Security Awareness Training bagi karyawan. Program ini mencakup pemahaman GenAI, ancaman berbasis AI, dan metode serangan yang memanfaatkan teknologi AI.
Fortinet juga menegaskan komitmennya untuk melatih 1 juta tenaga keamanan siber secara global pada akhir 2026, setelah komitmen itu dibuat pertama kali pada 2021.
Laporan Fortinet tahun ini mempertegas bahwa menutup kesenjangan keterampilan keamanan siber merupakan kebutuhan strategis bagi kelangsungan bisnis. Tanpa peningkatan kemampuan SDM dan pemahaman mengenai risiko AI, organisasi diperkirakan akan menghadapi ancaman dan biaya yang terus meningkat. (*AMBS)
