youngster.id - Pelaku bisnis telah berhasil memanfaatkan kecerdasan artifisial (AI) untuk menciptakan interaksi pelanggan yang lebih personal dan cerdas, tapi masih ada kesulitan dalam mewujudkan transparansi data serta mendapatkan data pelanggan yang memadai.
Laporan tahunan terbaru yang dirilis platform interaksi pelanggan TWILIO bertajuk “State of Customer Engagement Report” menunjukkan bahwa kian banyak brand merasa perlu mengungkap cara mereka menggunakan data pelanggan untuk menciptakan interaksi berbasis AI.
Sejalan dengan itu, ada peringatan yang jelas akan risiko menganggap enteng tuntutan konsumen akan transparansi data. Hal ini tergambar dari data berikut: 91% brand mengaku transparan dalam penggunaan data pelanggan, sayangnya hanya 48% dari konsumen setuju dengan pernyataan tersebut.
Kathryn Murphy, SVP Product di Twilio mengatakan, dewasa ini pelanggan mengharapkan pengalaman yang personal, dan untuk itu mereka ingin tahu bagaimana bisnis menggunakan data yang mereka berikan untuk menciptakan pengalaman tersebut.
“Sangat penting bagi brand untuk menjelaskan bagaimana mereka menggunakan AI, memastikan bahwa mereka menyeimbangkan penerapan AI secara agresif dengan langkah-langkah kuat untuk melindungi privasi pelanggan. Transparansi bukanlah pilihan – transparansi merupakan komponen penting dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan dan loyalitas pelanggan,” kata Kathryn, Selasa (16/4/2024).
Laporan Twilio menyebutkan bahwa 6 dari 10 konsumen mengatakan menjaga keamanan data adalah cara terbaik yang dapat dilakukan brand untuk meraih kepercayaan konsumen. Hampir separuh (49%) konsumen mengaku lebih percaya kepada brand yang jujur mengenai penggunaan data pelanggan dalam mengelola interaksi berbasis AI.
Di Indonesia, tampaknya masih ada kekhawatiran pelanggan tentang bagaimana data mereka digunakan dalam penerapan AI, dengan 63% pelanggan mengatakan bahwa brand harus memberikan informasi yang jelas tentang penggunaan data mereka.
Selain itu, 69% pelanggan Indonesia mengatakan bahwa mereka akan senang jika brand menawarkan opsi untuk berinteraksi dengan agen manusia ketika agen AI gagal menyelesaikan masalah atau jika solusi yang diberikan oleh agen AI tidak memuaskan. Temuan ini menyiratkan bahwa brand perlu bekerja lebih keras untuk menyempurnakan strategi AI dan pelaksanaannya, untuk menciptakan rasa tenang di hati pelanggan dan memenangkan kepercayaan mereka.
Tapi konsumen bukanlah satu-satunya yang mengkhawatirkan privasi data. Sebanyak 40% bisnis yang disurvei mengaku bahwa salah satu tantangan terbesar mereka di tahun ini adalah menyeimbangkan antara keamanan dan pengalaman pelanggan. Salah satu area yang menjadi perhatian khusus brand adalah proses mendaftar (sign-up), di mana mereka ingin membuat proses yang mudah dan cepat, tapi di sisi lain mereka harus menjaga keamanan data pelanggan.
Di tahun 2024, 40% brand mengatakan akan fokus menyederhanakan proses sign-up dan login guna meningkatkan mutu interaksi dengan pelanggan. Sepanjang tahun 2023 terjadi miliaran proses verifikasi melalui platform Twilio. Ini menunjukkan bahwa ketika sebuah perusahaan berniat untuk melindungi informasi sambil mempertahankan proses yang mudah dan cepat guna mencegah pelaku kejahatan, baik melalui otentikasi pengguna atau verifikasi dua langkah, hal ini akan menumbuhkan rasa saling percaya antara perusahaan dan pengguna.
Lebih lanjut, laporan ini mengungkap celah lebar dalam pengalaman pelanggan: 84% bisnis mengaku telah menyediakan layanan pelanggan yang ‘baik’ atau bahkan ‘sempurna’, tapi hanya 54% konsumen setuju.
Dalam laporannya, Twilio menemukan bahwa AI membantu bisnis untuk mengatasi kesenjangan ini dan meningkatkan interaksi pelanggan mereka. Sebagai contoh, 7 dari 10 perusahaan telah memanfaatkan AI untuk mempersonalisasi konten dan pemasaran. Hasilnya, brand yang berpikiran maju ini menyadari ada sejumlah manfaat yang mereka dapatkan, seperti skor kepuasan pelanggan yang lebih tinggi (45% perusahaan), pengambilan keputusan yang lebih baik berdasarkan data (41%), serta segmentasi dan penargetan pasar yang lebih baik (41%).
Bagi brand di Indonesia, penggunaan AI sangat bermanfaat terutama dalam aspek skor kepuasan pelanggan (54% brand mengaku mampu meningkatkan skor kepuasan pelanggan), segmentasi dan penargetan pasar yang lebih efektif (54%), waktu respons yang lebih baik (51%), dan lebih banyak peluang penjualan cross-selling dan upselling (46%). Secara global, brand di Indonesia – seperti halnya di Brasil, Prancis, dan India – juga mengaku mengalami peningkatan pendapatan yang paling signifikan berkat adopsi AI.
Meskipun semakin banyak bisnis yang menerapkan AI dalam operasionalnya, sebagian besar dari mereka ternyata masih kesulitan untuk melakukan aktivasi atau memanfaatkan data pelanggan menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti. Hanya 16% brand yang dengan yakin menyatakan bahwa mereka memiliki data yang mereka butuhkan untuk memahami pelanggan mereka, dan hanya 19% brand yakin bahwa mereka memiliki profil pelanggan yang komprehensif.
Upaya perusahaan melakukan personalisasi dengan menerapkan AI ternyata diganjar dengan penghargaan oleh konsumen, misalnya dengan membelanjakan lebih banyak uang dan melakukan pembelian berulang.
Data global menunjukkan rata-rata 55% konsumen cenderung membelanjakan lebih banyak uang untuk brand yang mempersonalisasi interaksi pelanggan, dibandingkan dengan brand yang tidak. Hal ini terutama terlihat jelas di Hong Kong, Brasil, dan Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh 88%, 75%, dan 73% konsumen di negara-negara tersebut.
Selain itu, 48% konsumen global mengatakan bahwa mereka telah melakukan pembelian berulang dari sebuah perusahaan, sementara 46% mengaku merekomendasikan brand kepada teman dan keluarga berdasarkan tingkat personalisasi yang mereka terima.
Konsumen mengharapkan pengalaman yang sangat personal dalam interaksi mereka dengan brand, dan cenderung tidak sabar ketika menghadapi sebaliknya: 64% dari konsumen global – termasuk 84% dari konsumen Indonesia yang disurvei – mengatakan mereka siap meninggalkan brand yang tidak melakukan personalisasi, sedangkan 31% mengatakan mereka terpaksa beralih sepenuhnya ke brand lain.
Perilaku ini terutama tampak pada generasi yang lebih muda. Hampir 7 dari 10 konsumen Generasi Z dan Milenial mengatakan mereka akan berhenti menggunakan brand jika tidak mendapatkan pengalaman terpersonalisasi pada saluran penjualan yang biasa mereka gunakan. Selain itu, lebih dari satu per tiga dari kelompok konsumen yang sama menegaskan mereka akan meninggalkan brand yang tidak bersedia berinteraksi dengan pelanggan secara langsung dan real time.
STEVY WIDIA
Discussion about this post