Debryna Dewi : Panggilan Jiwa Jadi Relawan Medis Bencana

Debryna Dewi terpilih sebagai sosok inspiratif dalam Levis Kampanye I Shape My World 2020. (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

youngster.id - Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk strategi Internassional Pengurangan Resiko Bencana (UN-ISDR). Kondisi ini mendorong banyak anak muda terpanggil dan turun membantu, termasuk Debryna Dewi. Dia menjadi perempuan sipil pertama anggota INASAR.

Tak banyak yang menyangka kalau perempuan berwajah oriental yang akrab disapa Debry ini merupakan bagian dari tim INASAR yang bertugas menyelamatkan korban bencana alam. Ia merupakan seorang dokter yang selama ini tergabung dalam Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118, tim Indonesia Search and Rescue (INASAR).

Perempuan ini kerap berada di garda terdepan lokasi bencana. Sejumlah daerah tempat terjadinya bencana seperti Aceh, Palu, Donggala hingga Banten pernah disambanginya. Berbagai dampak bencana seperti banjir, tanah longsor hingga tsunami pun disaksikannya. Bagi Debry, tantangan alam dan fisik bukan menjadi halangan baginya.

“Menjadi dokter di lapangan adalah panggilan jiwa. Simply because it feels right. Aku merasa berguna sebagai manusia,” tutur perempuan berstatus dokter ini saat ditemui youngster.id di Levis Kampanye I Shape My World di Jakarta beberapa waktu lalu.

Panggilan itu yang membuat Debry menjadi bagian dari tim medis INASAR. Ini adalah Tim SAR milik Indonesia bagian dari BASARNAS. Debry telah bergabung sejak 2018. Dia mengaku bangga, karena INASAR memiliki sertifikasi internasional dan telah menjadi bagian tim INSARAG, sejajar dengan 55 negara lain di bawah PBB.

“Sebenarnya kalau ngomongin bencana, Indonesia ini gudangnya bencana. Malu dong jika penanganan bencana yang dimiliki sama sekali nggak ada akreditasi dari internasionalnya. Harusnya negeri ini paling jago, dan dalam keadaan apapun negeri kita harus paling bisa terutama dalam mengatasi hal ini. Jadi kemarin pas lulus dan tergabung di INASAR ini senangnya luar biasa. Saya rasa euforia yang ada waktu itu karena kami sudah sama-sama satu tim bergelut dalam latihan dan pas lulus senangnya, akhirnya kami yang capek-capek nggak sia-sia,” ungkapnya.

 

Debryna Dewi, menjadi relawan bencana merupakan panggilan jiwa (Foto: Dok. Pribadi)

 

Ujian, Tantangan dan Penolakan

Untuk bisa menjadi anggota INASAR tidaklah mudah. Padahal Debry kuliah khusus kedokteran emergency di Amerika. Namun dia harus melalui berbagai ujian agar bisa lolos masuk tim INASAR yang sebagian besar anggotanya berlatar belakang militer.

“Pas saya balik ke Indonesia, saya aktif sebagai orang sipil di Basarnas. Saat INASAR dibentuk mereka merekrut saya untuk masuk ke INASAR. Saya pun tertarik karena merasa ada banyak bencana yang Indonesia alami dan butuh pertolongan tenaga medis. Saya terpanggil dan memang nggak bisa kalau cuma disuruh duduk di rumah sakit,” kata Debry.

Menariknya lagi, putri bungsu dari empat bersaudara ini merupakan satu-satunya perempuan yang tergabung sebagai tim medis di INASAR. Menurut Debry, ada banyak suka dan duka ketika berkecimpung di bidang yang menyangkut nyawa banyak orang.

“Dukanya terjun ke bidang ini, capek secara fisik iya. Karena tempat kami latihan bukan tempat yang sebenarnya nyaman. Tenda bocor dan panas, nyamuk. Kebetulan di tim yang terjun saya ini adalah cewek yang satu-satunya terjun ke bidang ini. Jadi kalau misalkan ke toilet harus lihat ke kanan dan kiri dulu. Begitu juga kalau mandi, jadi repot. Tapi pada dasarnya semua saya jalani dengan perasaan suka. Apalagi ketika sudah bisa menolong berapa banyak orang,” kisahnya sambil tersenyum.

Kendala terberat yang dia temui menyakut perasaan. “Saya sangat susah terkait dengan perasaan. Apalagi saat melihat kejadian kemudian saya nggak bisa menolong, atau saya mendapat penolakan dari orang yang akan saya tolong. Misalkan pada saat saya sedang membersihkan luka korban, orang itu malah menolak. Alalsanya, tidak ada artinya dia ditolong, karena keluarga saya sudah hilang semua. Atau apa artinya saya ditolong kalau tangan saya sudah hilang. Kadang-kadang saat berada di posisi seperti itu saya nggak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.

Untuk mengatasi itu, Debry sekarang lebih memilih menenangkan diri. “Kalau sudah begitu, ego turunkan dan sudah biar alam yang take over,” ujarnya lagi.

Persoalan lain terutama di daerah adalah kurangnya peralatan dan obat-obatan. “Saya nggak nyangka keadaannya separah ini. Ada yang pada saat saya datang tabung oksigen ada tapi isinya nggak ada. Kemudian obat ada tapi sudah kedaluarsa. Lalu ada puskesmas tapi tidak ada dokter. Jadi sebagai medis kami nggak bisa kerja. Bahkan untuk merujuk pasien ke rumah sakit besar, harus menunggu jadwal kapal. Untuk itu benar-benar harus sabar, walaupun hati sempat kesal dengan keadaan yang seperti itu,” keluhnya.

Semua itu harus dia tanggung sendiri. Apalagi kedua orangnya tidak mengetahui profesi sang anak. Rupanya, keinginan untuk menjadi seorang dokter tak pernah direstui keluarganya sejak dari dulu. Mereka lebih menginginkan si bungsu jadi pebisnis seperti yang telah dilakukan keluarganya.

“Karena itu saya nggak pernah mengatakan apa yang saya lakukan. Paling mereka tahu kalau saya sudah upload foto,” ujarnya. Untunglah perlahan kedua orangnya mulai bisa menerima. Apalagi setelah dia bergabung dengan INASAR. “Mereka melihat sekarang anaknya sudah membanggakan,” ucap Debry sambil tersenyum.

 

============++======

Debryna Dewi Lumanauw

====================

 

FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia

Exit mobile version