youngster.id - Di tengah gemuruh revolusi digital Indonesia, TaniHub pernah berdiri sebagai simbol optimisme: sebuah jembatan yang digadang-gadangkan akan mengubah nasib petani Indonesia.
Ketika didirikan pada 2015 oleh tiga anak muda—Miftahul Choiri, Michael J. Sugianto, dan William Setiawan—mereka tidak membawa jargon teknologi canggih, melainkan satu ambisi sederhana namun kuat: memotong mata rantai yang membuat petani tidak pernah benar-benar sejahtera.
Indonesia adalah negeri agraris, namun petaninya kerap hidup di ambang ketidakpastian. Panen yang tidak menentu, harga yang berubah sesuka pasar, gudang penyimpanan yang buruk, hingga dominasi tengkulak yang menghisap margin keuntungan. Padahal, sektor ini diisi oleh 26,5% tenaga kerja yang berkontribusi 13,45% terhadap PDB. Dengan kondisi seperti itu, hadirnya TaniHub terasa seperti angin segar dari masa depan yang dijanjikan.
Misi mereka sederhana: hubungkan petani langsung ke pembeli, tanpa perantara yang selama ini menekan harga jual. Pendapatan petani naik, rantai pasok dipangkas, dan teknologi menjadi alat pemerataan. Seiring waktu, ambisi mereka makin besar. TaniHub tidak sekadar menjadi marketplace; mereka membangun sistem logistik sendiri melalui TaniSupply, dan meluncurkan mesin pembiayaan bagi petani lewat TaniFund, sebuah platform P2P lending yang menjanjikan akses modal murah bagi petani kecil.
Perjalanan ini melesat cepat. Pada masa pandemi 2020—ketika pasar tradisional lumpuh dan distribusi pangan terganggu—TaniHub justru menjadi pemenang. Mereka meraup pertumbuhan besar, dan investor pun terpesona. Pada 2021, pendanaan Seri B senilai US$65,5 juta mengalir deras. TaniHub melayani 110.000 petani, 1.339 UMKM, dan ratusan ribu pelanggan ritel.
Nama mereka masuk panggung nasional setelah Presiden Joko Widodo menyebut TaniHub sebagai simbol masa depan Industri 4.0 dalam debat presiden 2019. Itu adalah momen ketika TaniHub tidak hanya menjadi startup; ia menjadi harapan nasional.
Namun seperti banyak kisah startup besar lain, puncak kejayaan justru menjadi awal kejatuhan.
Retakan Pertama
Tanda-tanda masalah sebenarnya sudah muncul jauh sebelum publik menyadarinya. Dua figur penting—Ivan Arie Sustiawan, co-founder baru, dan Pamitra Wineka, sang CEO—keduanya justru keluar pada awal 2021, tepat di saat proses pendanaan Seri B sedang berjalan. Bagi pengamat ekosistem startup, keluarnya manajemen inti menjelang babak penting pendanaan adalah alarm keras. Ada sesuatu yang tidak beres.
Tetapi sorak-sorai pandemi menutupi retakan tersebut. Ekspansi terus berjalan. Infrastruktur logistik dibangun besar-besaran. Karyawan direkrut dalam jumlah besar. TaniHub mengejar skala seperti e-commerce raksasa, padahal bisnis agritech memiliki kenyataan yang jauh lebih keras dan volatil.
Begitu pandemi mereda dan pasar tradisional kembali hidup, keajaiban pertumbuhan yang dulu terlihat solid ternyata hanya berdiri di atas pasir. Biaya operasional melonjak. Unit economics goyah. Logistik—yang seharusnya menjadi tulang punggung—justru menjadi lubang penguras uang.
Pada Maret 2022, TaniHub melakukan keputusan drastis: menutup seluruh layanan B2C dan kembali fokus ke B2B. Namun langkah itu datang terlambat. Momentum hilang. Pasar kembali ke pola lama. Dan dalam dunia startup, keterlambatan beberapa bulan bisa berarti kematian.
Robohnya TaniFund: Jeritan yang Tidak Didengar
Di saat lini bisnis utama mulai goyah, masalah yang jauh lebih besar diam-diam tumbuh di jantung ekosistem TaniHub: TaniFund.
Platform pembiayaan ini awalnya dipuji sebagai terobosan untuk memecahkan masalah klasik petani: akses modal. Tetapi pembiayaan pertanian bukanlah pembiayaan e-commerce. Risiko gagal panen tinggi. Produk mudah rusak. Harga pasar fluktuatif. Namun TaniFund menyalurkan dana dalam jumlah besar tanpa mitigasi risiko yang memadai.
Hasilnya fatal: hanya 36% dari pinjaman 90 hari yang berhasil dikembalikan. Bagi lender, ini setara dengan menanam uang di tanah yang tidak subur.
Pada Desember 2022, gelombang gugatan mulai bermunculan. Investor ritel merugi. Kredit macet menumpuk. OJK turun tangan, memberikan sanksi dan memerintahkan TaniFund menyelesaikan dana gagal bayar. Tetapi TaniFund tidak mampu memenuhi kewajiban itu. Bahkan kemudian mencuat dugaan penipuan.
Investigasi OJK mengungkapkan bahwa TaniFund menunggak pembayaran kepada 128 investor, dengan nilai gagal bayar mencapai Rp14 miliar. Pada Mei 2024, izin TaniFund resmi dicabut.
Pada titik ini, TaniHub bukan lagi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan. Ia sedang memasuki fase kritis—coma state.
Titik Gelap Terkuak: Jerat Hukum
Seperti luka yang akhirnya terbuka, pada 28 Juli 2025 publik dikejutkan dengan pengumuman Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan: tiga orang ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi dan pencucian uang terkait investasi MDI Ventures dan BRI Ventures di TaniHub.
Mereka adalah:
- Donald Wihardja, Direktur MDI Ventures
- Ivan Arie Sustiawan, mantan CEO TaniHub
- Edison Tobing, mantan Direktur TaniHub
Ketiganya ditahan setelah penyidik menemukan dugaan penyimpangan dalam pencairan dana investasi sebesar US$25 juta (Rp409 miliar) yang disalurkan sepanjang 2019–2023. Dugaan manipulasi data perusahaan untuk menarik investasi semakin menguat.
Rangkaian penggeledahan, penyitaan barang bukti, dan pemeriksaan saksi memperlihatkan satu gambaran umum: TaniHub tidak hanya tumbang oleh salah kelola operasional, tetapi juga oleh dugaan penyimpangan yang merusak kepercayaan fundamental investor.
Mengapa TaniHub Tumbang?
TaniHub tumbang bukan karena kurangnya peluang di sektor agritech, tetapi karena lajunya yang terlalu cepat melampaui kemampuan fondasinya untuk menopang pertumbuhan tersebut. Pada akhirnya, kolapsnya TaniHub bukanlah satu kejadian tunggal, melainkan akumulasi ambisi yang tak terukur, risiko yang tak terkendali, dan kepemimpinan yang tak pernah stabil.
1. Terlalu Ambisius, Terlalu Cepat
Mereka ingin menjadi platform, marketplace, perusahaan logistik, dan lembaga pembiayaan dalam satu waktu. Ekspansi itu memecah fokus dan membakar uang dalam jumlah besar, terutama setelah euforia pandemi menghilang.
2. Salah Mengelola Risiko Pembiayaan
Pertanian adalah sektor berisiko tinggi. Namun TaniFund memperlakukan pembiayaan seolah mereka mendanai pinjaman konsumtif biasa. Hasilnya: kredit macet masif, kerugian lender, dan bencana reputasi yang tak terpulihkan.
3. Kepemimpinan Tidak Stabil
Perubahan pucuk pimpinan di masa kritis membuat arah perusahaan goyah. Loyalitas internal melemah, strategi berubah-ubah, dan kepercayaan investor menurun tajam.
Kronologi Perkembangan TaniHub hingga Kasus Tersangka (2015–2025)
|
Tahun / Tanggal |
Peristiwa Utama |
Dampak / Catatan Penting |
|
Okt 2015 |
TaniHub didirikan oleh Miftahul Choiri, Michael J. Sugianto, dan William Setiawan. |
Lahir sebagai marketplace agritech penghubung petani–pembeli B2B/B2C. |
|
Agu 2016 |
Ivan Arie Sustiawan bergabung sebagai co-founder; Pamitra Wineka menjadi CEO. |
Struktur kepemimpinan mulai terbentuk, visi ekspansi mulai disusun. |
|
2017–2019 |
TaniHub berkembang pesat, mulai membangun jaringan petani dan infrastruktur distribusi. |
Dinobatkan sebagai simbol kebangkitan agritech Indonesia. |
|
Jan 2019 |
Presiden Joko Widodo menyebut TaniHub sebagai contoh startup masa depan dalam debat pilpres. |
Popularitas meroket; persepsi publik & investor sangat positif. |
|
Apr 2020 |
Putaran pendanaan Seri A+ senilai US$17 juta dari Openspace Ventures & Intudo Ventures. |
Ekspansi besar-besaran logistik (TaniSupply) dan pembiayaan (TaniFund). |
|
2020 (Pandemi) |
Permintaan melonjak drastis karena distribusi offline terganggu. |
TaniHub mencapai pertumbuhan tertinggi dalam sejarahnya. |
|
Mar–Mei 2021 |
Putaran Seri B sebesar US$65,5 juta dari MDI Ventures, BRI Ventures, dan investor lain. |
Menjadi agritech paling didanai di Indonesia. |
|
Maret 2021 |
Ivan Arie Sustiawan (co-founder) keluar dari struktur TaniHub. |
Gejala awal ketidakstabilan manajemen. |
|
April 2021 |
Pamitra Wineka (CEO) mengundurkan diri sebelum pendanaan Seri B rampung. |
Tanda bahaya: leadership vacuum di puncak pertumbuhan. |
|
Mar 2022 |
TaniHub menutup layanan B2C dan fokus hanya pada B2B. |
Mengakui pembakaran dana akibat biaya operasional/logistik terlalu tinggi. |
|
Jul 2022 |
Johnny Widodo (eks-CEO OLX Indonesia) ditunjuk menjadi CEO baru. |
Upaya restrukturisasi untuk memperbaiki arus kas dan operasi. |
|
Des 2022 |
TaniFund digugat karena gagal bayar; hanya 36% pinjaman 90 hari yang dilunasi. |
Ribuan lender mengalami kerugian; risiko pembiayaan terbukti tidak terkendali. |
|
2023 (Awal) |
OJK menjatuhkan sanksi dan meminta penyelesaian tunggakan TaniFund. |
Perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban; mulai terjadi krisis kepercayaan. |
|
2023 (Akhir) |
Investigasi menunjukkan gagal bayar ke 128 investor dengan total Rp 14 miliar. |
Menguatkan dugaan salah kelola dan penyimpangan internal. |
|
Mei 2024 |
OJK mencabut izin TaniFund secara resmi. |
TaniFund resmi mati; TaniHub sebagai induk makin terpuruk. |
|
2024–2025 |
Operasional TaniHub melemah; layanan banyak berhenti meski situs masih aktif. |
Fakta lapangan menunjukkan perusahaan berada di ambang kolaps. |
|
28 Juli 2025 |
Kejari Jaksel menetapkan 3 tersangka: |
Dugaan: penyimpangan pencairan dana investasi dari MDI & BRI Ventures (total US$25 juta / Rp 409 miliar). Investigasi TPPU & korupsi 2019–2023. |
|
2025 (Berlanjut) |
Penyidikan memeriksa aliran dana, manipulasi data perusahaan, dan potensi keterlibatan pihak lain. |
Kasus TaniHub berubah dari sekadar kegagalan bisnis menjadi dugaan kejahatan korporasi. |
Pelajaran dari Kejatuhan Sang Harapan Agritech
Kisah TaniHub adalah pengingat pahit bahwa niat baik dan visi besar tidak cukup untuk menaklukkan kompleksitas sektor pertanian. Agritech bukan e-commerce. Ia menuntut ketelitian operasional, pemahaman risiko, dan integritas manajemen yang jauh lebih kuat.
Hari ini, situs TaniHub memang masih online. Namun perusahaan itu lebih tampak seperti bayang-bayang dari masa kejayaannya—layaknya startup yang menunggu napas terakhir di ambangnya sendiri.
TaniHub yang dulu menjadi simbol harapan jutaan petani kini justru menjadi studi kasus penting tentang bagaimana sebuah startup bisa tumbang oleh ambisi, salah perhitungan risiko, dan retak di dalam tubuhnya sendiri. (*AMBS/diolah dari berbagai sumber)
