youngster.id - Pengiklan diperkirakan akan kehilangan US$ 42 miliar dari pengeluaran iklan secara global pada tahun 2019 karena masalah yang berfokus pada penipuan iklan. Di Asia Pasifik, US$ 17 juta hilang yang merupakan dampak keseharian dari penipuan iklan.
Guna mengantisipasi adanya tindakan penipuan dalam bidang periklanan di Indonesia Mobile Marketing Association (MMA) meluncurkan Ad-Fraud Brand Safety & Viewability Whitepaper sekaligus menggandeng para praktisi periklanan di Indonesia.
Shanti Tolani, Country Manager Mobile Marketing Association Indonesia mengatakan berdasarkan survei dari Mobile Marketing pada Q1 2019, di Indonesia 33% pemasar masih rendah pengertiannya terhadap tingkat penipuan periklanan untuk pembelanjaan iklan mereka.
“Pengetahuan tentang sistem monitoring dari cara brand mereka ditayangkan di media dan bagaimana penayangan tersebut diukur masih rendah, maka, dengan demikian, ada kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dari mitra media mereka. Hal ini menjadi penting bagi masing-masing pemangku kepentingan pada ekosistem ini untuk mengedukasi dan terus berusaha mengatasi isu tersebut, di situlah MMA memberikan kontribusi pada industri periklanan. Terkait penipuan iklan dan brand safety, Indonesia baru saja memulai perjalanannya,” ujar Shanti pada peluncuran program Ad-Fraud Brand Safety & Viewability Whitepaper Kamis (8/8/2019) di Jakarta.
Menurut dia, Indonesia sebagai negara terbesar ke-2 di Asia-Pasifik Indonesia merupakan target para penipu periklanan karena skala dan volume pembelanjaan iklan yang signifikan. Di negara ini, industri yang menjadi target adalah para pengguna terbesar dalam pemasaran digital dan seluler. Industri-industri yang ditargetkan termasuk E-commerce, Teknologi Finansial, FMCG, dan Sektor Game.
Sementara itu Hemant Bakshi, Ketua & CEO / Presiden Direktur PT Unilever Indonesia, TBK mengatakan kredibilitas iklan online masih menjadi masalah global dan industri. Menurut dia, kurangnya transparansi adalah masalah bagi brand dan konsumen, karena hal itu merusak kepercayaan dan mendistorsi dampak yang terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa click fraud menghasilkan laba lebih dari US$ 20 juta per bulan untuk mereka yang terlibat, dan para bot ini dapat mencapai hingga 90% dari jumlah click pada kampanye periklanan.
“Perusahaan besar harus lebih bisa mengontrol dan meningkatkan visibilitas tempat mereka beriklan dan melakukan upaya nyata untuk mengatasi masalah ini agar bisa mendapatkan lebih banyak kepercayaan konsumen melalui transparansi yang lebih tinggi dari para media,
penggunaan waktu dan uang yang lebih efektif, dan pengalaman online yang lebih baik untuk semua orang. Pada akhirnya, semua pengiklan harus memiliki tujuan untuk menciptakan pengalaman yang lebih positif bagi para konsumen online,” paparnya.
FAHRUL ANWAR
Discussion about this post