youngster.id - Startup alias perusahaan rintisan tumbuh dengan pesat di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Laporan itu menyebut, Indonesia masuk dalam daftar lima besar negara di dunia dengan jumlah startup terbanyak di dunia.
Di Indonesia, maraknya startup tergambar antara lain dalam Startup Ranking yang dirilis pada 2018. Per Februari 2018, Indonesia menempati peringkat keempat, di bawah Amerika Serikat, India, dan Inggris.
Namun, venture capital lokal East Ventures pada 2017 menengarai ada perlambatan pertumbuhan startup. Lembaga ini menyebut, jumlah startup baru di Indonesia pada semester pertama tahun itu turun 23 persen dibandingkan periode yang sama setahun sebelumnya.
Tren tersebut ditengarai sejalan dengan berkurangnya transaksi pendanaan pada tahap awal. Ini diduga menjadi alasan para konseptor usaha rintisan berpikir ulang untuk melanjutkan laju usahanya.
Melihat ke belakang, gaung tren bisnis startup di Indonesia mulai terdengar lantang pada 2012. Pada tahun itu, 168 usaha rintisan muncul dan jumlahnya melonjak dua kali lipat setahun berikutnya. Tren ini berlanjut dan puncaknya terjadi pada 2015, ketika terdata muncul 367 startup baru.
Namun, sejak itu tak pernah ada lagi lonjakan angka-angka penanda kehadiran usaha rintisan baru. Tren penurunan pertumbuhan usaha rintisan juga melanda negara-negara maju. Amerika Serikat yang pernah menempatkan startup sebagai penopang penting ekonomi pun mengalami hal serupa.
Data yang dirangkum dari Quartz mengacu pada Bureau Labor of Statistics, misalnya, menyatakan bahwa saat ini startup sedang berada pada masa sulit pertumbuhan. Indikatornya dilihat dari proporsi usaha rintisan berusia maksimal dua tahun terhadap total perusahaan di sana.
Bila pada 1985 tercatat usaha rintisan berusia maksimal dua tahun adalah 13% total perusahaan di Amerika Serikat, pada 2014 proporsinya susut menjadi 8%. Sudah begitu, minat orang untuk bekerja di perusahaan rintisan juga terpantau turun hingga tinggal 5% pada 2010, dari semula bisa lebih dari 9% responden.
Sejumlah analisis pun muncul menyikapi data-data di atas. Sejumlah kemungkinan penyebab dilacak. Salah satunya, perusahaan rintisan dinilai tak mampu melawan kedigdayaan bisnis perusahaan besar.
Ada kemungkinan kondisi dan alasan perlambatan kemunculan startup baru di negara-negara maju itulah yang sekarang sedang terjadi juga di Indonesia. Namun, orang sering lupa, startup dan usaha informal justru kerap kali menjadi penyelamat dan penopang ekonomi ketika ekonomi konvensional sedang terhambat untuk berkembang.
Dari usaha rintisan di bidang transportasi yang sekarang marak, misalnya, sekian banyak lapangan kerja terbuka ketika bahkan negara pun tak punya cukup kemampuan untuk menyediakannya. Tak hanya pekerjaan di sektor transportasi saja yang tiba-tiba menggeliat, tetapi juga usaha makanan-minuman dan logistik yang bersinergi dengan startup transportasi.
Sudah begitu, perlambatan di sisi pertumbuhan usaha rintisan baru sepertinya tergantikan dengan peningkatan dan pengembangan skala perusahaan rintisan yang sudah lebih dulu berdiri. Kabar terbaru, empat startup Indonesia sudah berlabel unicorn, kategori usaha rintisan dengan nilai valuasi di atas US$1 miliar. Padahal bila ditelisik, empat usaha ini pun belum benar-benar menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan lapisan sosial masyarakat, masih lebih terkonsentrasi di Ibu Kota dan kota-kota besar.
Lagi pula, sejumlah inisiasi mulai dari pemerintah, perusahaan besar, hingga ketersediaan coworking space untuk kolaborasi yang sejalan dengan semangat usaha rintisan pun makin banyak. Barangkali sudah tiba waktunya fokus jiwa-jiwa muda usahawan tak semata membuat usaha baru tetapi juga mengoptimalkan peluang-peluang yang dapat digarap–termasuk lewat sinergi dan kolaborasi–dari usaha-usaha rintisan yang sudah berjalan.
STEVY WIDIA
Discussion about this post