youngster.id - Salah satu polusi udara dari aktivitas merokok yang berdampak signifikan pada kesehatan adalah partikel debu halus PM2.5. Partikulat berukuran 2.5 mikron ini dapat masuk jauh ke dalam paru-paru dan aliran darah.
Data Air Quality Life Index (AQLI) 2025 mencatat paparan PM2.5 dan konsumsi tembakau menjadi dua dari tiga faktor eksternal terbesar yang berkontribusi pada penurunan rata-rata harapan hidup masyarakat Indonesia hingga satu sampai dua tahun.
Bahaya asap rokok dalam ruangan ini dikupas dalam white paper bertajuk “Ruang Tertutup, Risiko Terbuka: Paparan Tinggi Polusi Udara dari Aktivitas Merokok”, yang dirilis oleh startup Nafas Indonesia bersama DBS Foundation dan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC).
CEO Nafas Indonesia Nathaniel Roestandy mengatakan, ketika bicara polusi udara, banyak orang yang langsung membayangkan asap kendaraan atau industri. Padahal, ada sumber lain yang sering luput, yaitu asap rokok dalam ruangan, yang juga berkontribusi pada kualitas udara dan kesehatan.
“Temuan white paper ini menegaskan bahwa paparan ini seringkali tidak disadari, tapi dampaknya nyata. Ini bisa menjadi titik awal untuk memperluas diskusi lintas sektor soal bagaimana kita mengelola ruang untuk lingkungan sehat dan aman bagi semua,” ujar Nathaniel, Senin (29/9/2025).
Pemisahan ruang merokok pun terbukti tidak efektif. Riset menunjukkan polusi udara dari ruangan khusus merokok tetap tersebar ke area bebas rokok melalui aliran udara, sehingga orang yang tidak merokok pun tetap terpapar risiko kesehatan serius. Penelitian di Jakarta, Bogor, dan Palembang mencatat kadar di ruang publik tersebut masih tinggi, dengan rata-rata 96 µg/m³ di tempat hiburan, 78 µg/m³ di restoran, dan 57 µg/m³ di gedung instansi.
Untuk memahami implikasi lebih luas dari polusi udara dalam ruang, white paper ini kemudian merangkum sejumlah temuan penting yang meningkatkan pemahaman lokal mengenai kualitas udara dalam ruang, yaitu:
- Konsentrasi PM2.5 meningkat signifikan di dalam ruangan khusus merokok, terutama pada ruangan dengan ventilasi yang tidak memadai.
- Partikel halus PM2.5 dari aktivitas merokok dapat menyebar ke ruangan bebas rokok di sekitarnya, berpengaruh pada paparan tidak langsung pada penghuni.
- Kualitas udara dalam ruangan dapat lebih berisiko daripada udara luar, terutama jika terdapat aktivitas merokok di dalam ruangan.
Executive Director IYCTC Manik Marganamahendra menjelaskan, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa potensi risiko polusi udara dari aktivitas merokok tidak hanya bergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi, tetapi juga pada desain dan lokasi ruangan.
“Ruangan yang menempatkan area merokok di dalam bangunan cenderung meningkatkan paparan polusi bagi penghuni, sementara temuan di Bali menunjukkan kadar PM2.5 jauh lebih rendah ketika ruang merokok ditempatkan di luar. Hal ini menegaskan bahwa ruang merokok sebaiknya ditempatkan di luar gedung, jauh dari lalu lintas orang dan keramaian, sehingga risiko paparan polusi udara bagi penghuni dan masyarakat sekitar dapat diminimalkan,” jelas Manik.
Sejalan dengan temuan tersebut, white paper ini membuka peluang untuk menerapkan pendekatan baru guna meminimalisasi potensi risiko kesehatan akibat paparan polusi udara dari aktivitas merokok di ruang tertutup. Beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan, di antaranya:
Pertama, Menciptakan ruang lebih nyaman dan aman bagi semua orang, terutama anak-anak, yang dapat dimulai dari upaya untuk membatasi paparan asap rokok. Caranya dengan menempatkan ruang merokok di luar ruangan, penanda kawasan bebas rokok yang jelas, dan dukungan pengawasan yang konsisten. Akses terhadap informasi publik yang mudah dipahami pun perlu ditingkatkan untuk membangun kesadaran dan kenyamanan bersama.
Kedua, Memastikan ventilasi ruangan yang baik, memantau perubahan kondisi udara, dan menerapkan gaya hidup sehat. Beberapa upaya tersebut adalah langkah sederhana untuk membantu mengurangi potensi risiko kesehatan dari paparan polusi. Dengan keterlibatan aktif, rasa tanggung jawab pun tumbuh, membuka peluang untuk menciptakan ruang hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan.
“Bagi kami, penyediaan kebutuhan dasar kesehatan masyarakat merupakan fondasi utama bagi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Peluncuran white paper ini mencerminkan komitmen kami dalam mendorong terciptanya lingkungan yang lebih sehat sekaligus berkelanjutan bagi generasi mendatang,” ucap Head of Group Strategic Marketing & Communications PT Bank DBS Indonesia Mona Monika.
Sebagai penerima DBS Foundation Grant Program 2023, Nafas menunjukkan bagaimana wirausaha sosial dapat menciptakan solusi berkelanjutan melalui kombinasi inovasi teknologi dan kepedulian sosial. Peluncuran kajian ini menandai kerja sama kedua antara Nafas dan DBS Foundation, setelah sebelumnya berkolaborasi dalam white paper mengenai polusi udara dan pneumonia pada anak bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI). Dukungan dana hibah dari DBS Foundation semakin memperkuat kolaborasi ini dengan pendekatan berbasis teknologi dan data, sehingga lahir solusi kesehatan yang lebih berkelanjutan bagi masyarakat.
STEVY WIDIA