youngster.id - Nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan bisa mencapai US$ 150 miliar, atau sekitar Rp 2.040 triliun. Angka ini akan menyumbang 10% produk domestik bruto (PDB) pada 2025. Demikian hasil riset McKinsey yang dirangkum oleh Kaushik Das, Michael Gryseels, Priyanka Sudhir, dan Khoon Tee Tan.
Untuk mengukur kemajuan digital di Indonesia, McKinsey melakukan penelitian dan analisis terhadap 20 pasar/negara terpilih di dunia. Negara berkembang yang dijadikan sampel antara lain Brazil, Tiongkok, India, Rusia, serta negara tetangga di Asean, yakni Thailand, Malaysia, dan Filipina. Sedangkan negara maju dan sudah matang secara eokomi yang disurvei di antaranya Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Spanyol, United Kingdom, dan Amerika Serikat.
“Hasil temuan kami menunjukkan bahwa Indonesia berada pada tahap ‘baru lahir’ dan awal dalam digitalisasi,” ungkap Kaushik Das, dalam riset McKinsey yang dilansir baru-baru ini.
Hal itu akan bisa dicapai jika ditopang oleh adanya upaya digitalisasi yang serius di berbagai sektor di Tanah Air. Termasuk dukungan kepemilikan gadget dan internet yang merata, serta kesadaran pentingnya pemanfaatan teknologi terkini.
Negara Indonesia disebut menyajikan paradoks, di antaranya karena penduduknya paling aktif secara digital di dunia dan memiliki ekosistem bisnis rintisan berbasis teknologi (start-up) untuk berkembang. Tapi secara keseluruhan, negara ini juga masih tertinggal dalam memanfaatkan teknologi modern/terkini.
Infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (information and communiation technology/ICT) di Tanah Air masih lemah, sehingga penggunaan teknologi digital belum merata ke berbagai wilayah dan sektor usaha. Penduduk Indonesia pun sudah melek dan terhubung teknologi (tech-savvy), tapi penetrasi internetnya masih rendah.
“Singkatnya, Indonesia memiliki jalan panjang untuk memasuki era digital yang seungguhnya. Mempercepat kemajuan digital di Indonesia akan memerlukan usaha yang fundamental untuk mengubah diri,” ungkap Kaushik Das.
Menurut dia, dunia kini tengah menuju era digital yang disebut sebagai revolusi industri keempat, yang akan berdampak pada setiap aspek kehidupan sehari-hari. Revolusi digital didorong oleh empat jenis teknologi yang terus berkembang yang secara signifikan akan berdampak terhadap ekonomi global.
Pertama, internet bergerak (mobile internet) yang ditopang oleh semakin berkembang dan menyebarnya perangkat bergerak, kedua, teknologi penyimpanan data komputasi awan (cloud), ketiga, keterhubungan perangkat dengan internet (internet of things/IOT), serta keempat, analisa yang cerdas dan data besar (big data dan advanced analytics).
Keempat teknologi itu saling melengkapi dan merupakan kunci untuk mempercepat digitalisasi. Indonesia pun disebut telah mengalami peningkatan dalam adopsi masing-masing tersebut dan secara efektif meletakkan dasar yang kuat untuk investasi masa depan. Karena itu, sementara ini, hari-hari awal revolusi digital bisa disebut telah tiba di Indonesia.
Pada 2020, lalu lintas data di Indonesia diperkirakan meningkat enam kali lipat. Karena itu, jaringan serat optik pun perlu dituntaskan tepat waktu melalui pelaksanaan Proyek Palapa Ring sepanjang 35.000 kilometer, untuk penyebaran jaringan kabel broadband dari Sumatera hingga Papua Barat.
Saat ini, keterjangkauan jaringan 4G di Indonesia baru sekitar 23%. Sedangkan pertumbuhan e-commerce, hiburan pada perangkat mobile, dan konten game telah berkembang 73% pada pengguna mobile broadband. Pemerintah harus meningkatkan infrastruktur/menara LTE 4G hingga ke luar Jawa.
Lalu lintas
Data menyebutkan, 73% orang di Indonesia telah mengakses internet melalui perangkat mobile. Pada 2015, jumlahnya naik 12 juta menjadi 67 juta dibandingkan tahun 2014 masih 55 juta. Sementara itu, total pendapatan vendor layanan cloud meningkat 1,4 kali pada 2015 menjadi US$ 364 juta dari tahun sebelumnya US$ 269 juta.
Pada 2015, jumlah device yang terhubung dengan internet (IoT) naik 7 juta menjadi 39 juta unit dibandingkan tahun 2014 masih 32 juta unit. Sedangkan lalu lintas big data dan advanced analytics meningkat tajam 60% menjadi 448 juta petabyte tahun 2015 dibandingkan 277 petabyte per bulan pada 2014.
Data pun menyebutkan, harga broadband mobile di Indonesia hanya US$ 3,4 per 500 megabytes, hanya kalah murah dari India yang US$ 1,6 per 500 megabytes. Harga di Indonesia itu jauh lebih murah dibandingkan di Thailand US$ 6,1, Filipina US$ 6,7, Singapura 11,8, dan Malaysia US$ 26 per 500 megabytes.
Namun, internet bandwidth di Indonesia masih rendah hanya 6,2 kilobyte per pengguna, kalah dari Malaysia yang sudah 27,2, Filipina 27,7, Thailand 54,8, serta Singapura 616,5 kilobyte per pengguna. Jika diperbandingkan, Indonesia di peringkat ke-18 dan Singapura di posisi kedua di bawah Hong Kong, dari 20 negara yang disurvei.
STEVY WIDIA
Discussion about this post