youngster.id - Pertumbuhan ekonomi digital melahirkan industri-industri baru yang membutuhkan peraturan dan regulasi yang juga baru. Di antarnya adalah teknologi finansial (tekfin) dan mata uang kripto.
Menindaklanjuti hal itu, pihak regulator harus memberikan peraturan yang mempermudah pemain kedua di industri ini untuk berkembang di Indonesia.
Salah satu yang memberatkan dari peraturan tersebut adalah modal awal yang harus dimiliki oleh pelaku industri, sebagai contoh keharusan bagi pelaku industri kripto untuk menyiapkan modal awal sebesar 1 triliun rupiah, yang merupakan jumlah yang sangat tinggi, sementara untuk OJK sendiri menetapkan modal awal sebesar 2,5 miliar rupiah untuk pemain tekfin di Indonesia.
Pemain kripto juga perlu mempertahankan 80% dana tersebut dan tidak dapat menggunakannya untuk investasi ulang bisnis mereka.
Menurut ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya, regulasi haruslah memberikan keseimbangan antara memungkinkan jalannya suatu industri yang dapat mendorong perkembangan ekonomi serta melindungi keamanan dan privasi masyarakat.
“Tantangan yang dihadapi pemain tekfin dan kripto saat ini adalah bisa tumbuh stabil dan minim potensi krisis. Dan hal ini harus ditunjang dengan regulasi yang memberikan keseimbangan potensi ekonomi dan keamanan,” ujar Berly melalui keterangan persnya Selasa (21/5/2019).
Sementara itu, Direktur Riset INDEF tersebut, pemerintah haruslah mendukung kedua industri ini melalui regulasi yang berfungsi sebagai pelindung konsumen maupun sebagai peta panduan (roadmap) bagi kedua industri ini.
“Regulasi sandbox yang dibuat OJK terbukti bisa memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap industri tekfin di Indonesia,” katanya mencontohkan.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Cirebon Muhammad Lutfi menegaskan bahwa skala prioritas bagi OJK dalam menentukan peraturan untuk pemain P2P di Indonesia adalah perlindungan konsumen pengguna platform baik pihak peminjam maupun yang pemodal. Selain itu, prioritas lainnya adalah penataan dan ketahanan modal penyelenggara.
“Regulasi tentu untuk menata kegiatan bisnis karena sebelumnya belum ada yang mengatur tentang hal tersebut. Jadi bisa menekan angka pemain P2P yang ilegal,” jelasnya.
Lutfi menambahkan, untuk membantu pertumbuhan P2P di Indonesia, selain membuat regulasi, OJK juga bekerja sama dengan asosiasi seperti Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dalam merumuskan kode etik dan mengkaji ulang aturan secara berkala.
“Kami mengakomodasi masukan-masukan dari para pemangku kepentingan dan mempertimbangkan untuk perkembangan ekosistem tekfin itu sendiri,” kata Lutfi.
Selain itu, tambahnya, peran OJK dalam mendukung industri ini di tanah air juga dilakukan melalui kegiatan edukasi dan literasi keuangan di berbagai daerah, termasuk skala nasional.
Saat ini, dengan regulasi yang ada, terdapat lebih dari 99 fintek yang telah terdaftar di OJK berdasarkan situs resmi lembaga tersebut. Jumlah peminjam dan pemberi pinjaman itu sendiri telah mencapai 5,16 juta entitas. Hal ini menunjukkan regulasi OJK bisa menstimulus pertumbuhan industri P2P di Indonesia.
Kerjasama dengan berbagai pihak, khususnya regulator dibutuhkan untuk menjamin persyaratan dan peraturan yang konsistensi terhadap kedua industri ini terutama yang berkaitan dengan modal awal serta perlindungan terhadap dana konsumen.
FAHRUL ANWAR
Discussion about this post