youngster.id - Bisnis telekomunikasi sebagai penyedia jasa layanan data dan suara, tidak terpisahkan dari industri jaringan telekomunikasi. Terlebih, saat industri telekomunikasi tumbuh, maka dampak berganda (multiflier effect) akan terlihat baik dari besarnya investasi yang ditanamkan maupun penyerapan sumber daya manusia (SDM).
Pengamat telekomunikasi sekaligus chairman Mastel Institute, Nonot Harsono, mengatakan, landscape bisnis telekomunikasi terutama bisnis seluler, tidak terlepas dari berkembangnya jumlah operator di Indonesia. Namun, fakta yang ada menunjukkan, hanya ada tiga operator yang dominan menguasai tidak kurang 80 persen pangsa pasar industri seluler.
“Struktur pasar tersebut menunjukkan hanya terdapat beberapa pemain yang menguasai pasar,” kata Nonot, dalam acara Diskusi Refleksi Akhir Tahun Indonesia Technology Forum (ITF) belum lama ini di Jakarta. Selain Nonot, diskusi tersebut menghadirkan pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Menurut Nonot, salah satu regulasi industri telekomunikasi yang mengatur pola persaingan usaha serta pengembangan industri telekomunikasi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi , dan PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
“PP Nomor 52 harus direvisi karena saat ini sudah banyak yang berubah. Makanya, kita harus menata cyber network territory, karena harus disadari kebutuhan spektrum komunikasi di Indonesia semakin meningkat,” kata Nonot.
Terlebih, lanjut dia, perkembangan teknologi baru seperti 5G, Big Data, IoT, Video Live Streaming hingga Smart City, tentunya membutuhkan kapasitas data dan spektrum telekomunikasi yang memadai.
“Operator tentunya harus bersinergi mendukung ekosistem digital. Selain itu, pemerintah harus lebih luwes dalam menata kebutuhan spektrum telekomunikasi agar potensi digital dapat didukung oleh infrastruktur yang mumpuni,” kata Nonot.Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengatakan, industri telekomunikasi sangat dinamis mengkritik regulasi yang belum sesuai dengan perkembangan teknologi seluler.
“Yang harus dilakukan oleh Revisi UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan atau segera sahkan Perubahan PP Nomor 52 dan 53 tahun 2000,” kata Agus.
Pada dasarnya, tambah Agus, Kemkominfo harus dapat melindungi dan melayani kebutuhan publik serta dapat menciptakan iklim usaha telekomunikasi yang penuh kepastian agar produk-produk kompetitif.
“Persoalan kebijakan publik semestinya tidak berpihak dengan dalih nasionalisme karena notabene tidak ada operator telekomunikasi seluler yang dimiliki Indonesia,” kata Agus.
Agar aturan yang mengatur bisnis telekomunikasi itu dapat berjalan dengan baik, Agus menyarankan bahwa perlu ada koordinasi antar kementerian/lembaga dengan implementasi melalui sistem online sehingga menekan kebijakan dapat transparan dan akuntabel.
STEVY WIDIA