youngster.id - Layanan jasa transportasi yang menggunakan platform online (ride hailing) Uber sekarang memperlakukan 70.000 pengemudinya di Inggris sebagai karyawan yang berhak atas upah minimum, pembayaran liburan, dan program pensiun.
Keputusan Uber untuk mengklasifikasi ulang pengemudi Inggris sebagai karyawan akan menyebabkan peningkatan biaya bagi perusahaan, menurut analis, merusak prospek perusahaan di pasar Eropa yang paling penting. Bank of Amerika memperkirakan bahwa keputusan MA itu bisa merugikan Uber dengan total lebih dari US$500 juta atau sekitar Rp7,2 triliun.
CNBC mengabarkan, langkah ini dilakukan setelah Mahkamah (MA) Agung Inggris Raya menguatkan putusan bahwa para pengemudi adalah pekerja, bukan kontraktor independen.
Uber mengatakan, ini pertama kalinya perusahaan setuju untuk mengklasifikasikan pengemudi dengan cara ini, dan keputusan diambil sebagai tanggapan atas keputusan MA Inggris Raya bulan lalu yang mengatakan pengemudi Uber berhak mendapat banyak perlindungan.
Dan Ives, direktur pelaksana penelitian ekuitas di Wedbush Securities, mengatakan bahwa langkah Uber ini merupakan “pukulan telak” bagi prospek Uber di Inggris Raya.
“Kami yakin perusahaan akan mengurangi pengemudi dan berbagi tumpangan (ridesharing) sekitar 30% selama 12 hingga 18 bulan ke depan,” kata Ives kepada CNBC.
London sejauh ini merupakan pasar Uber yang paling penting di Eropa. Uber punya sekitar 45.000 pengemudi dan 3,5 juta pengendara yang pakai aplikasinya di London. Uber masih berharap bisa mencapai profitabilitas EBITDA yang disesuaikan pada akhir tahun ini.
Bisnis pemesanan kendaraan di Inggris Raya menyumbang 6,4% dari semua pemesanan mobilitas pada kuartal keempat tahun 2020.
Ini bukan pertama kalinya bisnis Uber dirundung masalah di Inggris. Pengawas transportasi London, TfL, telah dua kali mencabut izin perusahaan untuk beroperasi di ibu kota Inggris tersebut karena masalah keamanan. Uber diberikan linsensi di London selama 18 bulan pada September 2020.
Keputusan MA itu disambut baik oleh para aktivis buruh yang telah bertahun-tahun mengkritik bagaimana perusahaan seperti Uber, Lyft, DoodDash dan Grubhub memperlakukan pengemudi dan pengantar barang.
LA Times juga melaporkan bahwa pada tahun 2020 Uber mengalami kerugian bersih sebesar US$6,8 miliar atau sekitar Rp98,2 triliun.
STEVY WIDIA