Amanda Putri Witdarmono : Ingin Kembangkan Profesi Guru di Jaman Now

Amanda P Witdarmono, Founder & CEO We The Teachers (WTT) (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

youngster.id - Perkembangan internet telah membuat informasi dengan cepat dapat diterima semua orang. Sayangnya, perkembangan yang begitu pesat belum diimbangi dengan perkembangan dunia pendidikan. Kunci solusi dari masalah itu salah satunya adalah melalui kualitas pengajaran dan kepemimpinan di lingkungan sekolah.

Laporan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) meyebutkan performa pelajar Indonesia dalam tiga tahun tertinggal ini dibandingkan dengan pelajar di negara-negara OECD lainnya. Bahkan, laporan itu menyebut sekitar 50% dari masyarakat Indonesia berusia 15 tahun tidak menguasai kemampuan dasar membaca dan matematika.

Masalah klasik ini sampai sekarang masih terus dicari pemecahannya. Salah satu yang menjadi garda terdepan pendidikan nasional adalah guru. Pemerintah pun terus mendorong pengembangan kompetensi guru yang terlihat dari lonjakan anggaran pendidikan pada tahun 2019 sebesar 11,4% menjadi Rp 492,5 triliun dibandingkan dengan anggaran pada tahun sebelumnya.

Besarnya anggaran ini diharapkan bakal memacu peningkatan kompetensi guru, selain mampu mendongkrak kualitas infrastruktur pendukung serta materi pembelajaran bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Namun, tentu saja pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Wilayah begitu luas menjadi tantangan tersendiri dalam memeratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari pihak lain, termasuk kalangan swasta.

Kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi di bidang pendidikan memberikan harapan bagi peningkatan kualitas pengajar dan anak didik karena memberikan kemudahan akses terhadap kompetensi-kompetensi khusus yang selama ini terhalang oleh jarak dan waktu.

Menangkap fenomena tersebut Amanda Putri Witdarmono mendirikan We The Teacher (WTT). Ini adalah lembaga nonprofit yang fokus untuk mendorong pengembangan guru-guru Indonesia.

“Kebetulan saya ini guru, ketika saya melanjutkan sekolah mengenai apa sih proses mengenai persipan menjadi seorang guru dan seperti apa harapan dari Kepala Sekolah, masyarakat maupun pemimpin yayasan mengenai guru itu harus seperti apa di zaman sekarang. Dari pemikiran inilah akhirnya muncul mendirikan lembaga dengan nama We The Teacher,” ungkap Amanda kepada youngster.id belum lama ini di Jakarta.

WTT merupakan sebuah organisasi yang berfokus pada pemberdayaan guru di berbagai daerah di Indonesia yang didirikan Amanda sejak 2014. WTT sebagai lembaga nonprofit mempunyai slogan Reimagine Teaching untuk mendorong pengembangan guru-guru Indonesia.

”Saya berjalan dengan kepercayaan we have great teachers. Guru itu profesi baper (bawa perasaan, -red). Kalau tidak menaruh hati, tidak akan tahan menjadi guru sehingga tetap ada sisi yang bisa digali dan bisa bermanfaat bagi sekitar,” ucap Amanda dengan tegas.

 

Peran Guru

Amanda sejak kecil sudah menyadari bahwa peran guru sangat penting dalam kehidupan di masyarakat. Hal itu berangkat dari pengalaman Amanda sendiri. Berbeda dengan teman-teman sebanyanya, ketika duduk di bangku sekolah dasar, dia hanya menempuh pendidikan dasar itu selama empat tahun. Masa perkuliahan juga diawali Amanda lebih dini, yakni pada usia 16 tahun.

”Agak berat karena mental yang berbeda dengan teman-teman,” ungkap lulusan SMA Methodist Girls School di Singapura itu.

Usia yang lebih muda daripada teman sebayanya membuat Amanda minder. Meski berstatus teman seangkatan, perbedaan usia membuat Amanda dianggap berbeda oleh teman-temannya.

”Walau secara jenjang kelas saya sudah di tingkat yang cukup tinggi, kan secara fisik maupun mental sebenarnya saya masih kecil. Sehingga kadang kesulitan beradaptasi dan diejek anak kecil,” paparnya. Di situlah Amanda merasakan bahwa peran guru sangat penting dalam pembentukan karakter seseorang.

Ide untuk membangun WTT muncul saat dirinya berupaya mengerjakan tesisnya pada 2014. Kala itu, dia mengambil master bidang pengembangan pendidikan internasional (international education development) di Columbia University, AS.

Amanda yang telah merasakan pendidikan sebagai guru selama empat tahun di Negeri Paman Sam ingin membandingkannya dengan pendidikan guru di Tanah Air. Lalu, Amanda melakukan survei di program studi pendidikan guru sekolah dasar di Indonesia.

Dari tesis tersebut, ditemukan beberapa perbedaan. Misalnya, dalam pendidikan sekolah dasar di AS, mahasiswa sudah wajib mengajar pada hari ketiga masuk kuliah. Sementara itu, di Indonesia, mahasiswa baru bisa terjun praktik mengajar saat tingkat ketiga kuliah atau semester keenam. ”(Saya) buatlah tesis tentang itu. Salah satu suggestion-nya membuat school based teacher training,” ujarnya.

Setelah mendapatkan gelar master, Amanda pun memutuskan untuk pulang ke Indonesia dengan tekad mengabdikan diri untuk berbagi ilmu dengan para guru lewat WTT.

“Saya menjalankan ini murni karena minat dan personal story. Setelah melihat keadaan di sejumlah sekolah di Indonesia, rasanya kok tidak nyaman ya jika saya dealing dengan comfortable things sementara kondisi pendidikan di Indonesia masih banyak harus dibantu. Apalagi, belum banyak yang bergerak di dunia pendidikan, khususnya di bidang guru. Memang sudah ada yang terjun membantu dunia pendidikan tapi konsentrasi mereka selama ini ke anak-anak, sekolah dan infrastrukturnya. Jadi saya berkegiatan di WTT semata-mata karena percaya pada ketulusan hati. Saat memulainya pun tidak dengan ambisi apapun, tapi simply dengan niat berbagi,” ungkap Amanda.

Ketika ditanya dari mana datang dana untuk kegiatan WTT, Amanda mengaku WTT menggunakan skema fundraising guna membiayai proyek mereka. Tak jarang, sejumlah korporasi menggandeng WTT guna mengembangkan sekolah yang menjadi bagian dari corporate social responsibility (CSR) perusahaan.

 

Melalui We The Teachers (WTT), Amanda berkeinginan mendorong dan mengembangkan profesi guru di Indonesia (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

 

Adaptasi Teknologi

Selama memberikan training, Amanda juga belajar banyak. Dia menyadari, guru-guru di Indonesia selama ini berjuang dengan kesulitan masing-masing. Terutama mereka yang mengajar di daerah luar perkotaan. ”Pengalaman mengajar di rural area memang sangat berbeda. Ini menjadi pengalaman yang berarti buat saya, karena memiliki pengalaman mengajar di daerah terpencil memang sangat berbeda dengan di perkotaan,” ungkap perempuan kelahiran New York, 7 Oktober 1988 itu.

Menurut Amanda, bukan saja persoalan akses untuk menuju ke sekolah daerah terpencil menjadi kendala menyampaikan visi WTT selama ini. Namun persoalan lain, yang ditemuinya selama di lapangan mulai dari kurangnya manajemen maupun pihak yayasan sekolah kurang memahami  dengan visi dan misi yang dimiliki WTT.

“Dalam perjalanannya selama WTT berdiri kami banyak mengadakan sejumlah project based dan social activity yang inspirasinya datang dari lingkungan sekitar sekolah. Awalnya memang ada pihak menjemen dan yayasan sekolah yang kurang memahami dan tidak mengerti atau dianggap project ini tak sejalan dengan misi visinya. Tetapi setelah saya komunikasikan dengan mereka dan mempertemukan shorten goal-nya, akhirnya bisa jalan,” cerita Amanda.

Kegiatan yang diberikan WTT cukup beragam. Selain pelatihan bagi guru, WTT memberikan pengembangan kurikulum untuk mulok (muatan lokal). Mereka juga mengupayakan distribusi peralatan sekolah seperti sepatu dan seragam.

Awalnya, WTT hanya melakukan pelatihan di Pulau Jawa seperti DI Jogjakarta, Jawa Tengah, DKI Jakarta, serta Jawa Barat. Seiring berjalannya waktu, WTT pun mulai melakukan pelatihan ke berbagai wilayah selain Jawa. Sebagian guru di daerah seperti Lampung Barat, Bengkulu, Balikpapan, Sumba Barat Daya, dan Kepulauan Sangihe telah mendapat pelatihan dari WTT.

Amanda menerangkan, bentuk kegiatan WTT antara lain teacher empowerment, survei terhadap orang tua murid, observasi anak dan sebagainya. Ada juga riset, misalnya bagaimana murid deal dengan guru yang paruh waktu dibanding fulltime. Atau hasil pengajaran di sekolah berteknologi tinggi dibandingkan sekolah yang penuh problematika.

Ia menceritakan pengalaman saat menuju daerah-daerah 3T di Indonesia seperti di Sangihe dan di pedalaman Kalimantan. Ia melihat banyak guru dan siswa yang kesulitan untuk menuju ke sekolah.

“Pertama akses gurunya ke sekolah. Itu kadang-kadang sekolah-sekolah yang mesti naik kapal ya. Untuk guru-guru yang tinggal di sana, itu menjadi pengorbanan yang besar,” tambahnya.

Selain itu akses informasi dan sumber pengetahuan juga menjadi kendala. Amanda menyebutkan, anak-anak di daerah 3T tak punya akses untuk memuaskan rasa ingin tahu. “Posisinya (sekolah) yang jauh. Akses itu menghambat kesempatan anak-anak (untuk berkembang),” ujar Amanda.

Ia juga pernah melihat ada sebuah madrasah yang membangun tower jaringan sinyal secara swadaya agar bisa terhubung dengan akses komunikasi.

“Ini semua memang kompleks tapi akhirnya saya jadi makin mengenal situasi dan wajah pendidikan Indonesia. Semoga dalam 5-10 tahun mendatang kita akan terbiasa dengan integrasi teknologi di dunia pendidikan dan bahasa active learning untuk anak-anak dan seterusnya,” ucap Amanda.

Menurut Amanda, tantangan berkecimpung di dunia pendidikan memang berat secara sistemik. Banyak hal yang membuat guru tak kreatif. Padahal, mereka juga ingin berkembang. Tantangan sosial, infrastruktur, budaya, dan ekonomi menjadi hambatan bagi guru.

Dan salah satu yang dapat menjadi solusi adalah lewat teknologi. Untuk penerapan teknologi digital ke sektor pendidikan WTT berkolaborasi dengan Zenius Education. Materi-materi pembelajaran milik Zenius Education nantinya tak akan diberikan secara langsung kepada guru-guru di seluruh Indonesia. Selain itu, akan ada pemberdayaan guru-guru untuk materi online termasuk untuk di daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan).

Menurut Amanda, kolaborasi ini berupaya untuk dapat membantu sekolah dan anak didik di berbagai wilayah tertinggal di Indonesia agar mendapatkan fasilitas penunjang pendidikan yang layak, seperti teknologi digitalisasi sekolah Zenius Prestasi.

“Ini menjadi tantangan bagi guru dan orang tua dan bagi kita semua kedepannya karena perkembangan teknologi yang semakin cepat ini. Dulu misalnya saat ke lapangan dengan guru, lalu murid melihat tanaman mereka bisa langsung tanya ke guru, apa nama tumbuhan tersebut. Kalau sekarang belum tentu, anak yang pemalu mungkin akan memotret tanaman tersebut, lalu kemudian dia bertanya ke Google. Sehingga murid nggak selalu pergi ke guru atau orang tuanya untuk mendapatkan ilmu. Karenanya, guru sekarang harus memiliki added value, supaya tetap dihormati dan memiliki peran yang relevan dengan mindset sekarang,” pungkasnya.

 

====================

Amanda Putri Witdarmono

====================

 

FAHRUL ANWAR

Editor : Stevy Widia

Exit mobile version