youngster.id - Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia.
Pernikahan dini di Indonesia sampai saat ini masih terus terjadi. Bahkan dalam catatan PBB (Perserkatan Bangsa-Bangsa) disebutkan, pernikahan dini di Indonesia menduduki peringkat ketujuh dunia. Badan Pusat Statistik pada 2015 melalui Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susesnas) menyebut angka pernikahan di bawah usia 18 tahun mencapai 22,82%. Mirisnya lagi, praktik pernikahan anak ini terjadi di seluruh provinsi di Indonesia.
Peduli akan kondisi ini seorang anak muda bernama Budi Santoso mendirikan Forum Anak dan Rumah Caper—singkatan dari Rumah Cerdas Anak Perempuan, dengan gerakan #GerakanCaperID. Ini adalah gerakan pemberdayaan anak perempuan untuk kesetaraan gender di Kabupaten Asahan, yang bergulir sejak 2016.
“Ide membuat gerakan pemberdayaan anak perempuan untuk kesetaraan gender ini berangkat dari kondisi yang saya lihat di keluarga sendiri. Saudara saya menikah muda di usia 17 tahun saat itu. Dan, pernikahan muda memang sudah umum terjadi di desa saya di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Saya prihatin dengan kondisi ini,” kata Budi kepada youngster.id usai menerima penghargaan dari Konsorsium SDG PIPE (Pemuda Penggerak Perubahan) 2018 beberapa waktu lalu.
Menurut Budi, di daerah masih banyak orang memiliki perspektif dan pemahaman bahwa usia 17 tahun waktunya menikah. Akibatnya, banyak anak terutama remaja putri kehilangan cita-cita karena menikah di usia dini.
“Nah, dari situ kemudian saya berpikir: sepertinya malah banyak anak dan remaja khususnya putri menjadi korban, karena menikah di usia dini. Padahal mereka bisa mengejar cita-citanya dulu sebelum memutuskan menikah,” ungkap Budi.
Oleh karena itu, dia menginisiasi #GerakanCaperID. Menurut Budi, Caper juga akronim dari “cari perhatian”, dimana anak perempuan harus caper bahwa mereka memiliki hak yang sama dalam pendidikan, kontribusi untuk bangsa dalam segala bidang, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Selain itu, Budi juga membuat inovasi berbasis web untuk Rumah Caper.
Semua itu dibuat Budi untuk mengubah pandangan masyarakat akan pernikahan usia anak. Dia dengan tegas mengatakan, usia muda dan produktif merupakan kesempatan mereka untuk meraih cita-cita. Dengan edukasi tersebut diharapkan para remaja putri setelah lulus sekolah tidak langsung menikah.
Melawan Tabu
Meskipun pernikahan anak merupakan masalah predominan di negara berkembang, terdapat bukti bahwa kejadian ini juga masih berlangsung di negara maju yang orangtua menyetujui pernikahan anak berusia kurang dari 15 tahun. Dan hal ini yang menjadi tantangan bagi Budi dalam gerakan Rumah Caper ini.
“Edukasi selalu saya lakukan meski tidak mudah, karena di kampung saya, orang yang didengar itu orang kaya dan pemuka agama. Sementara saya umur masih belasan, ngomong masalah pernikahan dini, bisa dibayangin kan bagaimana para orang tua menganggap apa yang saya lakukan ini, ya kayak angin lalu saja,” kisah Budi sambil tersenyum.
Bahkan, mahasiswa Semester 3 di UIN Syarif Hidatullah ini sempat mendapat penolakan ketika berbicara tentang kesetaraan gender. Seakan pembicaran itu adalah hal yang tabu. Apalagi, melihat usia Budi sendiri masih terlalu muda sehingga ia kerap dinilai orang di desanya, seperti anak kemarin sore yang ingin mengubah kebiasaan dan tradisi yang sudah mengakar di desa tempat tinggalnya.
Bahkan orang tua Budi tidak mendukung langkah ini. “Awalnya orang tua sama sekali nggak mendukung apa yang saya lakukan ini. Saya akui, awalnya tidak gampang melakukan semua ini. Tapi saya nggak menyerah di situ. Selain mendekati anak-anak, termasuk orang tua mereka saya dekati, lalu pelan-pelan saya dan tim mencoba memberikan edukasi penting ini kepada mereka, agar ke depan anak-anaknya bisa meraih cita-cita yang diimpikannya,” katanya penuh semangat.
Berbekal prestasi sebuah acara di Jakarta yakni “Sehari Jadi Menteri”, dan pernah Juara 1 News Anchor, Budi akhirnya meyakinkan dirinya kalau ia bisa melakukan edukasi untuk menekan angka pernikahan dini di kampungnya.
“Untuk pendanaan dari tabungan pribadi sendiri. Saya sempat bekerja, dari situ hasilnya saya tabung untuk keperluan Rumah Caper ini, dan ada juga hasil beberapa lomba yang pernah saya ikuti dan saya menang. Pastinya hadiah dalam bentuk uang yang saya dapat untuk menutupi semua biaya dan menjadi modal dalam kegiatan di Rumah Caper ini. Kalau totalnya nggak banyak, sekitar Rp 18 juta,” ungkap sulung dari dua bersaudara itu.
Sebagai langkah awal, lajang kelahiran 3 Mei 1999 ini mendatangi sejumlah sekolah dasar di wilayah kampung halamannya. “Untungnya, saya ini bisa berkomunikasi dengan baik, pintar ngomong gitu. Itu tuh benar-benar pengaruh banget. Saya bicara ke kepala sekolah izin edukasi. Saya ditanya, Anda siapa, dari mana, maksudnya apa, lalu tiba-tiba diizinkan bicara depan kelas. Ini awal yang menentukan,” terangnya.
Berbekal kepercayan diri Budi mulai mengedukasi anak-anak, terutama remaja putri tentang akibat dari pernikahan di usia remaja. Bahwa kaum wanita dan anak yang akan menanggung risiko dalam berbagai aspek, berkaitan dengan pernikahan yang tidak diinginkan, hubungan seksual yang dipaksakan, kehamilan di usia yang sangat muda. Juga, meningkatnya risiko penularan infeksi HIV, penyakit menular seksual lainnya, dan kanker leher rahim.
Di sisi lain, dia juga menunjukkan ada banyak kesempatan bagi anak-anak perempuan untuk mencapai cita-cita. Misalnya bekerja sesuai keinginan, dan bisa punya uang sendiri.
Pendekatan inilah yang dinilai cukup efektif. Apalagi sebelumnya banyak remaja putri di desanya memiliki pandangan dan pemahaman bahwa usia 17 tahun waktunya menikah. Dari berkeliling edukasi, akhirnya Budi memutuskan untuk mendirikan Rumah Caper sebagai pusat kegiatan pemberdayaan anak perempuan dan kesetaraan gender.

Mendobrak Stereotype
Meski berat tetapi Budi tetap semangat mengedukasi anak-anak putri. Dia yakin gerakan ini akan membawa perubahan meski belum banyak.
“Waktu itu hanya beberapa anak yang bisa direkrut, untuk mau gabung dan belajar bersama. Itu saya edukasi orangtuanya. Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu beberapa anak perempuan mulai berprestasi tidak hanya di sekolah, tapi juga menjadi salah satu pengurus di Forum Anak Nasional,” kisahnya.
Keberhasilan itu telah mendobrak stereotype selama ini yang menyebut bahwa anak perempuan tak bisa menjadi ketua Forum Anak Daerah Sumatera Utara. “Dulunya ketua Forum Anak Daerah Sumut semua laki-laki. Dan, ketika anak didik di Rumah Caper menjadi perempuan pertama yang jadi ketua, tentunya ini prestasi hebat. Orangtuanya tentu saja bangga. Dari sini, mulai banyak orang tua yang percaya dengan apa yang saya lakukan melalui gerakan ini,” ungkapnya penuh semangat.
Melihat hasil mengagumkan dari perjuangannya itu membuat orang tua Budi yang tadinya tak mendukung, kini melunak. Bahkan, mendukung penuh kegiatan anaknya. Ini dibuktikan dari toko milik orang tua di samping rumahnya, kini dihibahkan kepada Budi sebagai tempat untuk belajar dan sebagai markas Forum Anak dan Rumah Caper.
Diklaim Budi, pada 2018 keanggotaan Forum Anak dan Rumah Caper yang didirikannya sudah memiliki relawan guru dan pengurus sebanyak 30 orang, dengan anak didik yang bergabung mencapai 500 orang.
“Anak-anak yang belajar di sini jumlahnya sudah mencapai 500 anak. Dan dalam kegiatan ini, saya dibantu oleh 5 guru dan 30 pengurus atau kami menyebutnya sebagai relawan yang siap membantu mengedukasi sebanyak 50 anak yang terdapat di Rumah Caper ini. Saya buat kurikulum sederhana saja. Saya dapat kurikulum ini ada beberapa yang saya dapat dari saya ikut beberapa event di Jakarta. Salah satunya di kementerian, dari situ kemudian saya aplikasikan di Rumah Caper,” imbuhnya.
Setelah mendapatkan penghargaan Budi makin giat untuk mengembangkan Rumah Caper. Dia rela harus bolak-balik Jakarta – Medan agar bisa memantau kegiatan Rumah Caper yang didirikannya. Terlebih dengan kemenangan Rumah Caper sebagai salah satu inovator terbaik di ajang SDG PIPE 2018 untuk kategori : Women and Youth Empowerment (Pemberdayaan Perempuan dan Pemuda).
“Yang jelas, setiap award yang kami dapat ini tentunya akan dipergunakan bagi kelangsungan kegiatan di Rumah Caper ini. Selain itu, dari beberapa anak didik yang sudah bergabung di Rumah Caper ini memang ada anak putus sekolah. Di situ, selain mereka kami bekali edukasi, mereka juga tentunya kami bekali dengan kegiatan kreatif dan kami arah mereka untuk berdagang agar nantinya bisa menjadi seorang wirausahawan,” ungkapnya.
Dia juga berharap lewat Rumah Caper anak-anak didiknya memiliki kesadaran tinggi untuk meraih mimpi dulu sebelum memutuskan menikah di usia 17 tahun.
“Itu harapan dan target saya, terutama diawali di kampung saya. Untuk 18 tahun ke bawah anak perempuan harus bisa meraih mimpinya dan bisa melakukan banyak hal,” pungkasnya.
====================================
Budi Santoso
- Tempat Tanggal Lahir : Desa Danau Sijabut Kabupaten Asahan, Sumut 3 Mei 1999
- Pendidikan : Semester 3, Jurusan Jurnalistik di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Nama Usaha/Kegiatan : Rumah Caper
- Mulai Usaha : 2016
- Jumlah Tim : 5 Guru Tetap, 30 Relawan
- Prestasi : Pemenang Women and Youth Empowerment (Pemberdayaan Perempuan dan Pemuda), SDG PIPE 2018
=====================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post