Cendy Mirnaz : Produksi Kain Tenun Ikat Sambil Memberdayakan Pengrajin Lokal

Cendy Mirnas, Founder & CEO Noesa (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

youngster.id - Produk kriya Indonesia terutama handcraft lazimnya berasal dari akar budaya tradisi. Salah satunya adalah seni tenun ikat dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, kini di tangan sejumlah anak muda produk ini tak lagi tampil kuno, tetapi mengalami transformasi menjadi lebih kekinian. Hal ini juga membawa kesejahteraan bagi para pengrajin tradisional.

Salah satu produk kerajinan tradisional asal NTT yang tengah naik daun adalah kain tenun Flores. Yang membedakan dengan kain tenun dari daerah lain adalah motifnya yang khas dan mengandung nilai adat istiadat, religi, serta etnis di wilayah tersebut.

Misalnya, kain tenun Flores khas Sikka tampil degnan warna gelap seperti hitam, cokelat dan biru. Motifnya khas suasana pesisir. Selain itu, proses pewarnaan benang yang akan ditenun oleh para pengrajin menggunakan bahan pewarna alam. Misalnya daun dan akar mengkudu untuk warna merah, kayu pohon hepang dan kunyit untuk warna kuning, daun nira untuk warna biru. Ada juga loba, kemiri, serbuk kayu mahoni, kulit pohon manga, kulit pohon cokelat dan masih banyak lagi.

Keunikan dari kain-kain ini memikat Cendy Mirnaz dan Annisa Hendrato, dua anak muda dari Jakarta yang datang berlibur ke Flores. Cinta pada pandangan pertama membuat mereka memutuskan untuk mengangkat produk kerajinan lokal ini masuk ke dunia modern, dengan brand Noesa.

Tak hanya itu, mereka juga mengangkat derajat para pengrajin kain tenun sebagai mitra kerja untuk memberikan pengalaman dan pemahaman kepada masyarakat akan seni dan budaya yang melekat pada kain tenun. Kini, produk tersebut siap diperkenalkan kepada masyarakat internasional.

Ya, Noesa merupakan salah satu brand kriya yang terpilih tampil di pameran New York Now 2018. Ini merupakan pasar internasional bagi brand produk kerajinan dan gaya hidup yang digelar pada 12-15 Agustus di Jacob Javits Center, New York, AS.

“Kami sangat bangga bisa turut serta dalam ajang ini. Ini merupakan harapan kami untuk dapat meraih pasar yang lebih luas, yaitu pasar ekspor,” ungkap Cendy Mirnaz, CEO sekaligus founder dari Noesa kepada youngster.id di Jakarta.

Dia patut berbangga, karena brand yang dibangun sejak tahun 2014 ini lolos kurasi ketat yang dilakukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Jacob Javits Center selaku penyelenggara New York Now 2018. Itu artinya brand Noesa memenuhi unsur orisinal, desain asli Indonesia, bukan replika atau imitasi dari produk yang sudah ada.

“Produk yang kami hasilkan merupakan produk handmade yang memadukan seni, budaya dan alam. Kami memiliki karakter khas Indonesia, berbahan lokal Indonesia dan terutama ramah lingkungan serta aman untuk manusia. Selain itu, desainnya juga tren masa kini,” ungkap Cendy, yang juga bertindak sebagai desainer produk dari Noesa.

 

Beberapa produk tenun ikat Noesa yang tampak lebih modern (Foto: kabar.news)

 

Dari Cinta

Cendy bercerita bisnis ini dimulai dari perjalanan wisata dia bersama sahabatnya Annisa Hendarto selama 40 hari di NTT. Perjalanan itu dilakukan pada 2012, ketika mereka baru saja menyelesaikan tugas akhir kuliah. Dalam perjalanan tersebut mereka mendapati Kampung Watublapi, Maumere yang merupakan tempat pengrajin tenun ikat.

“Kami langsung jatuh cinta pada produk tenun ini. Bagi kami ini kain tenun yang cantik yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Ditambah lagi ini terbuat dari pewarna alam,” ucap Cendy.

Berangkat dari kecintaan itu, Cendy dan Annisa mendirikan label Watublapi untuk memasarkan kain tenun tersebut di Jakarta. Namun karena belum mempunyai pengalaman ditambah kesibukan pekerjaan Cendy dan Annisa, akhirnya bisnis itu tidak bertahan lama.

Namun, hal itu tidak membuat mereka melupakan rasa cinta pada kain tenun tersebut. Didorong keinginan bekerja sama dengan perajin tenun dari seluruh Indonesia serta keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, keduanya mantap mendirikan label baru, Noesa, pada 2014. Seorang teman kuliah mereka, Shinta Uli, ikut bergabung dua tahun kemudian.

“Waktu itu kami galau. Di usia 25 tahun (saat itu) kami merasa belum berbuat apa-apa dalam hidup. Saya bertanya dalam hati, sudah bergunakah saya bagi orang banyak. Akhirnya kami memutuskan we must do something,” ungkap Cendy.

Menurut Cendy, nama Noesa yang berarti pulau sengaja dipilih. “Nama Noesa dengan harapan kami ingin merangkul banyak pengrajin di pulau-pulau di Indonesia,” ujarnya lagi.

Demi mewujudkan mimpi itu, Cendy nekad berhenti bekerja di sebuah perusahaan konsultan keuangan dan serius mengembangkan bisnis ini. Menurut dia dengan modal masing-masing founder sekitar Rp 10 juta mereka mulai bisnis ini.

Menariknya mereka belum langsung memproduksi produk tetapi membangun sistem kerja dengan para pengrajin di desa Watublapi. Menurut Cendy, dia dan teman-temannya  mengajarkan para pengrajin untuk memiliki sistem dan standar desain serta warna produk. Mereka juga membuat workshop untuk mengubah pola pikir dari para pengrajin. Dengan begitu mereka dapat memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak tanpa kehilangan kekhasan mereka.

“Saya banyak belajar dari buku dan internet dan itu yang saya ajarkan ke para pengrajin di sana. Jika selama ini mereka bekerja berdasarkan apa yang telah diturunkan dari nenek moyang kepada mereka, kini mereka jadi lebih modern. Dan ini membantu mengatasi warna yang terbatas pada merah dan biru saja,” ungkapnya.

Gadis kelahiran Jakarta, 14 November 1989 ini mengaku awalnya tidak mudah mengubah pola pikir tersebut. Namun dia terus berusaha. Bahkan selama dua tahun dia menghabiskan banyak waktu untuk tinggal di kampung agar dapat mengenal para pengrajin sekaligus berbagi ilmu.

Basic kami bertiga adalah grafik desainer. Jadi, sesungguhnya kami juga tidak paham tentang produk dan pemasaran. Jadi semua learning by doing bersama,” kata Cendy sambil tersenyum.

 

Kecintaannya pada tenun ikat mendorong Cendy Mirnz dann temannya mendirikan Noesa dengan menggandeng para pengrajin lokal (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

 

Kolaborasi dan Loyalitas

Setelah berhasil mengubah mindset pengrajin, maka lahirlah warna baru. Jika sebelumnya tenun Flores didominasi warna biru, merah dan hitam, maka kini jadi lebih bervariasi. Bahkan ada warna pink, abu-abu dan ungu.

Hal ini diakui Cendy merupakan hasil dari pencampuran warna-warna alami yang ada. Dan itu membuat para pengrajin semakin tertarik. “Awalnya mereka heran melihat selama saya tinggal di sana, saya menggunakan warna-warna yang tersisa. Dari itu saya mencoba mencampurkan warna dan menghasilkan warna baru. Dari itu mereka jadi semakin tertarik dan mau mencoba,” ungkapnya.

Kerja sama ini membuat Noesa pada 2016 memutuskan tidak hanya menjual kain tenun, namun memproduksi berbagai produk mode dengan motif tenun Flores seperti tas, dompet, hingga aksesori berupa kalung, gelang dan tali kamera.

Menurut Cendy, hal itu karena target pasar mereka adalah anak muda. “Banyak anak muda yang datang ke pameran kami, sampai banyak pelanggan loyal yang beli produk Noesa berkali-kali,” ujarnya.

Dijelaskan Cendy, bahan baku kain diproduksi di Maumere sebanyak 10 – 20 lembar dalam tiga hingga empat bulan. Sedangkan pengolahan desain dilakukan di Jakarta. “Proses produksi hingga jadi dan siap jual memakan waktu hingga tiga bulan,” kata dia. Harga aneka kerajinan tangan ini dia jual mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 1,5 juta per unit.

Tingginya minat konsumen disambut Noesa dengan meningkatkan kualitas produk. Keberhasilan Noesa memberdayakan perajin Watubo menarik minat anak muda Watublapi untuk ikut melestarikan kain tenun. Awalnya beranggotakan kurang dari 20 orang, kelompok Watubo kini dihuni lebih dari 25 orang.

Selain penghasilan yang diperoleh dari sistem penjualan beli putus, Watubo juga mendapatkan penghasilan pasif dari penginapan Orinila yang dibangun swadaya bersama Noesa. Penginapan ini mulanya dibangun sebagai akomodasi untuk tim Noesa ketika berkunjung ke Watublapi.

Penenun Watubo bebas mengelola open trip mandiri untuk mencari pelanggan bagi kain tenun produksi mereka sendiri. Upaya Noesa menuai pujian. Noesa acap dijuluki sebagai bisnis sosial karena membawa dampak positif bagi masyarakat Flores terutama kelompok penenun. Noesa menyadari adanya citra ini, namun tidak lantas mengubah arah bisnis mereka.

“Kami tetap perusahaan berorientasi bisnis. Kami juga memperlakukan para pengrajin secara profesional dengan sistem kontrak yang fair,” terang Cendy. Noesa kini berada di sejumlah mall di Jakarta, serta memiliki gerai di Bali dan NTT.

Perempuan yang gemar traveling ini berharap brand Noesa akan dapat menembus pasar internasional. Dan, itu tentunya akan berdampak pada pengembangan kain tenun dan juga para pengrajinnya di NTT.

 

=====================================

Cendy Mirnaz  

Prestasi : Terpilih tampil di pameran New York Now 2018 oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Jacob Javits Center

=====================================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version