youngster.id - Seiring kemajuan zaman, kesenian wayang kulit semakin ditinggalkan masyarakat. Pertunjukan kesenian ini hanya muncul di waktu-waktu tertentu.
Kendati begitu, di tengah terpuruknya kesenian wayang kulit, ternyata masih ada yang peduli. Menariknya inisiatif itu datang dari para anak muda. Bahkan, mereka menerapkan inovasi untuk mengembangkan desa wisata wayang. Ini seperti dilakukan anak-anak muda di Desa Pucung.
Pucung adalah nama desa di kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai pengrajin wayang kulit. Mereka mendapatkan keahlian membuat wayang kulit dari warisan nenek moyang. Bahkan desa ini merupakan sentra kerajinan tatah sungging kulit, khususnya wayang.
Di tengah surutnya pertunjukan wayang, desa ini berhasil mengembangkan inovasi dan melahirkan brand Wisata Wayang. Di kawasan ini terdapat 830 perajin dan 51 Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang menghasilkan aneka produk mulai dari wayang, hingga turunan produk lainnya seperti kipas dan gantungan kunci.
Di tempat wisata ini, para wisatawan yang datang tidak hanya cukup belajar memahat dan mewarnai wayang kulit, mereka juga dapat menikmati pertunjukkan seni wayang kulit serta menikmati suguhan rekreasi alam lainnya. Semua ini mengangkat taraf ekonomi masyarakat desa.
Rupanya, keberadaan desa wisata wayang ini tidak lepas dari kontribusi anak muda setempat. Mereka berinisiatif dan menginisiasi terbentuknya Desa Wisata Wayang, sejak tahun 2014.
“Tadinya desa ini cuma jualan produk, kemudian kami memberanikan diri memverifikasikan diri produk seperti paket memahat wayang, seni pertunjukkan, segala macam dan proses pembuatan wayang. Visi kami di sini adalah untuk menyejahterakan para pengrajin wayang dan juga melestarikan budaya,” kata Demy Raharja, Ketua Pengelola Wisata Desa Wisata Wayang yang ditemui youngster.id pada sebuah acara di Jakarta.
Dia menuturkan, konsep desa wisata ini sudah lama ingin diwujudkan, tapi ada beberapa hal yang memungkinakannya tidak cepat terwujud. Sampai kemudian terbentuk paguyuban anak-anak muda akhir tahun 2014. Mereka pun bergerak melakukan inovasi untuk mewujudkan konsep desa wisata wayang ini.
“Sebagai pemegang tongkat estafet, mayoritas generasi muda desa Pucung tidak memiliki keahlian membuat wayang kulit. Banyak faktor yang mempengaruhi generasi muda kurang peduli terhadap warisan nenek moyang mereka tersebut. Antara lain, faktor internal karena kurangnya pengenalan dini dan aplikasi oleh orang tua yang berdampak pada perspektif generasi muda terhadap wayang kulit. Dan, faktor eksternal dikarenakan oleh pengaruh budaya modern,” papar Demy.
Tetapi mereka menyadari, jika hal ini dibiarkan terus maka keahlian wayang kulit akan punah. Untuk menghindari punahnya para pengrajin dan generasi muda berdiskusi mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampui, solusi yang diperoleh tidak hanya untuk regenerasi tetapi juga untuk edukasi wayang kulit bagi masyarakat luas. Para pengrajin dan pemuda sepakat untuk membuat desa wisata yang dilandasi kesatuan visi melestarikan budaya wayang kulit dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Sebenarnya inspirasi semua ini adalah datang dari semua keinginan warga dan semua pengrajin untuk membentuk desa wisata,” ujarnya. Lewat paguyuban yang beranggotakan sekitar 135 orang ini mereka menghadirkan konsep dewa wisata yang memadukan kerajinan, budaya dan alam dalam satu paket wisata.
Dari Joglo Jadi Homestay
Demy mengaku, konsep desa wisata ini berangkat dari konsep yang dia buat untuk mata kuliah psikologi makro saat mengambil program Magister (S2). Tak ingin hanya jadi teori semata, konsep ini dia diskusikan dengan Sudjiono, mantan Lurah Pucung dan mendapat dukungan dari warga.
Tetapi disadari mereka butuh infrastruktur yang memadai untuk mewujudkan konsep desa wisata ini. Karena selama ini hanya ada beberapa warga yang menyediakan fasilitas menginap bagi wisatawan. Sementara konsep dewa wisata yang diharapkan adalah terintegrasi antara sentra kerajinan, dengan wisata alam dan tentu fasilitas menginap.
“Tadinya desa ini cuma jualan produk, kemudian kami memberanikan diri memverifikasikan diri produk seperti paket memahat wayang, seni pertunjukkan, segala macam dan proses pembuatan wayang sampai akhirnya menginap dan menikmati keindahan alam desa kami,” ungkap Demy.
Untuk modal awal kegiatan ini, Demy menggalang iuran dari anggota sebesar Rp 125 ribu. Awalnya cuma ada 30 orang anggotanya. Uang yang terkumpul mereka manfaatkan itu untuk membeli alat pahat, dan material. Namun belum sanggup untuk membangun infrastruktur seperti penginapan.
“Saat itu kami belum memiliki infrastruktur. Jadi, waktu itu kalau ada tamu yang datang kami meminjam joglo milik kelurahan dan joglo milik Paud. Jadi kalau pagi Paud sekolah, kami terpaksa nggak bisa menerima tamu, nunggu mereka selesai belajar dulu dari sekolah, “ ujar Demy sambil tersenyum.
Hingga akhirnya mereka menawarkan konsep ini kepada perbankan. Gayung bersambut, mereka mendapat bantuan dari Bank BCA untuk mewujudkan infrastruktur dan menyiapkan sumber daya manusia. “Dengan bantuan itu kami dapat membangun infrastruktur dan mulai bisa mengembangkan berbagai kegiatan, sehingga tamu-tamu makin banyak berdatangan. Bahkan paket wisata yang kami tawarkan jadi lebih banyak,” papar Demy.
Demy bersyukur, infrastruktur yang telah didapat para pengurus Paguyuban Desa Wisata saat ini telah membuka mata lebih jauh para pengurus di dalamnya untuk lebih mengembangkan Desa Wisata Wayang agar bisa dikenal luas skalanya.
“Selain wisata budaya kami juga menyuguhkan wisata alam yang tentunya diberikan melalui Desa Wisata Wayang ini. Di tempat kami masih banyak sawah karena kami masih di pedesaan, ada gunung yang kami kembangkan juga. Jadi ada tracking, belajar menanam padi, dan juga ada wisata air terjun cuma pas musim hujan aja. Jadi semua itu kami kemas menjadi paket wisata. Dan, karena desa kami itu dekat dengan lokasi hutan pinus Imogiri, yang lagi happening dan kami di situ menyediakan paket ke hutan pinus itu,” ungkapnya penuh semangat.
Untuk wisatawan yang ingin menikmati rekreasi di kawasan Desa Wisata Wayang terdapat beragam paket dengan harga bervarias. “Harga paketnya kalau untuk 2 hari 3 malam itu mulai dari sekitar Rp 370 ribu sampai Rp 1 juta, tergantung paket wisatanya yang diambil. Biasanya yang didapat wisatawann home stay itu ada fasilitas makan tiga kali sehari. Termasuk belajar memahat wayang, mewarnai wayang, ada telusur kampung, ada ‘ngenger’ yaitu aktifitas di pagi hari seperti melakukan kegiatan perkebunan, peternakan dan belajar membatik,“ ungkapnya
Lebih dari itu, kini mereka pun memiliki homestay yang bisa menampung 200 orang pengunjung. Umumnya tamu datang dari luar Indonesia seperti Korea, Jepang, Amerika, Australia dan Jerman.
SDM Terbatas
Demy mengungkapkan semakin dikenalnya Desa Wisata Wayang di kawasan Bantul Yogyakarta tentu berdampak pada bertambahnya pendapatan ekonomi yang didapat oleh masyarakat sekitar.
“Manfaatnya bagi para pengrajin terutama pendapatan mereka naik. Mereka yang tadinya hanya bercocok tanam, sekarang bisa memanfaatkan lahan sawahnya dengan kegiatan yang kami lakukan. Jadi jika belum panen, ketika sawah tak terpakai, maka sawah itu kami gunakan misal untuk main sepakbola. Kami bisa bekerjasama dengan pemiliknya. Bagi mereka yang punya kamar, kami latih untuk menyiapkan standar yang kami mau sebagai kamar homestay. Sampai akhirnya, warga banyak yang rebutan pengin bikin kamar homestay,“ ungkap Demy sambil tertawa.
Menurut Demy, dalam satu bulan, rata-rata desa ini berhasil meraup pendapatan sebesar Rp 200 juta. “Angka itu fluktuatif, bisa turun bisa naik. Kalau rame musim liburan bisa mencapai Rp 500 juta,“ ucap Demy.
Namun, di balik semakin dikenalnya Desa Wisata Wayang, Demy mengakui masih ada kendala. Terutama menyangkut kurangnya sumber daya manusia. Meskipun sebenarnya anggota yang datang dari anak muda dan telah tergabung di Paguyuban Desa Wisata Wayang ratusan, tetapi yang terlibat hanya sedikit.
“Kalau anggota yang terdaftar sebenarnya ada 135 anggota. Cuma yang aktif itu hanya sekitar 20 sampai 30 orang. Pasalnya, kebanyakan dari mereka punya kerjaan, ada yang PNS, usaha dan sebagainya. Jadi, ketika bukan hari libur kami suka keteteran untuk mengumpulkan orang-orang,” ungkapnya.
Bahkan, Demy bercerita pernah ada tamu 150 orang, sementara yang bisa bekerja melayani hanya 15 orang. “Jadi benar-benar nggak bisa istirahat. Apalagi kalau ada acara di kampung, teman-teman nggak bisa diganggu. Sehingga ini menjadi kendala. Tetapi, meski kami punya SDM yang terbatas, tetapi wisatawan tetap terlayani,” klaim Demy.
Untuk itu pembenahan di internal paguyuban Desa Wisata Wayang terus dilakukan para pengurusnya. Oleh karena itu, bantuan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan agar masyarakat lebih banyak lagi mengetahui keberadaaan desa wisata tersebut.
“Dari sisi internal, kepingin melakukan dan membenahi tempat kami biasa melakukan kegiatan, karena masih banyak yang perlu kami benahi dan fasilitas-fasilitas umum yang perlu ditambahkan seperti pembangunan toilet. Kemudian kami juga perlu untuk promosi. Selama ini kami masih terbatas tentang hal itu karena masih mengandalkan sosial media. Kami iklan di Instagram dan Google. Karena hampir 90% tamu kami tahu keberadaan Desa Wisata Wayang ini dari internet, sosial media atau website kami. Jadi kami perlu bantuan dari beberapa pihak untuk membantu promosi kami,“ paparnya.
Untuk sumber daya manusia, pihaknya gencar melakukan training leadership, communiting building, hingga mengenai digital marketing. Mereka juga aktif berpromosi dengan mengikuti berbagai pameran seperti di IKF 2018.
“Jadi harapan kami dengan dengan adanya Paguyuban Wisata Wayang ini, semakin banyak genarasi muda Indonesia yang mau dan bisa mengenal wayang, sehingga mereka peduli dan melestarikan wayang. Kami juga ingin pengrajin-pengrajin bisa tumbuh di desa kami. Jadi anak-anak muda bisa terus bikin wayang,“ pungkasnya.
=================================
Demy Raharja
- Tempat Tanggal Lahir : Bantul, 17 Maret 1986
- Pendidikan Terakhir : S2 Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
- Usaha Sosial : Paguyuban Desa Wisata Pucung
- Anggota : 135 orang
- Mulai Usaha : 2014
- Omzet : Rp 200 juta – Rp 500 juta/bulan
=================================
FAHRUL ANWAR
Editor: Stevy Widia
Discussion about this post