youngster.id - Masalah gizi dan nutrisi masih menjadi momok yang membayangi sejumlah negara berkembang, termasuk di Indonesia. Dari masalah ini lahirlah ide untuk membuat bank makanan atau food bank yang menampung sisa makanan agar tidak dibuang tetapi dibagikan lagi ke orang yang tidak mampu secara cuma-cuma. Belakangan konsep ini mulai hadir di Indonesia.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Bappenas dan UNICEF di tahun 2017, beban ganda malnutrisi di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius. Pada tahun 2013, 12% anak di bawah usia 5 tahun terkena wasting (berat badan rendah dibanding tinggi badan) dan jumlah yang sama mengalami overweight (kelebihan berat badan). Sementara itu di tahun yang sama sekitar 37% anak di bawah 5 tahun mengalami stunting.
Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, tidak saja berpengaruh pada kualitas generasi Indonesia, tetapi juga akan merugikan ekonomi negara. Menurut Bappenas, potensi kerugian ekonomi akibat stunting sebesar 2-3% dari PDB per tahun. Asumsinya jika PDB tahun 2017 adalah sebesar Rp 13.000 triliun, maka potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 300 triliun.
Di sisi lain, Indonesia juga termasuk negara dengan sampah sisa makanan yang sangat besar. Data tahun 2016 dari Economist Intelligence Unit (EIU) mengatakan, setiap orang Indonesia bisa menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per tahun. Angka ini cukup memprihatinkan mengingat di sisi lain masih banyak warga Indonesia yang kesusahan mencari makanan setiap harinya.
Berangkat dari masalah itulah kemudian lahir Garda Pangan di kota Surabaya. Startup ini fokus mendistribusikan makanan berlebih dari restoran hingga pasar organik ke kelompok masyarakat prasejahtera. Bermula dari suatu komunitas, kini Garda Pangan mulai memasang target untuk menjadi social enterprise, sebuah bisnis yang mengusung misi sosial.
“Kami memang ingin menjadi social enterprise yang fokusnya pada food waste, sampah makanan,” kata Eva Bachtiar, CEO sekaligus founder dari Garda Pangan saat ditemui youngster.id pada gelaran kompetisi Indofood Local Pitch Competition baru-baru ini di Jakarta.
Menurut Eva, awal kehadiran Garda Pangan ini karena tergerak melihat Indonesia sebagai negara pembuang sampah makanan terbesar kedua di dunia. “Jadi masyarakat Indonesia masih gampang banget buang makanan. Data statistik menunjukkan rata-rata satu orang Indonesia membuang sampah sebanyak 300 kg setiap tahunnya. Masalah ini sudah sangat mengkhawatirkan sekaligus ironis karena banyak orang yang membutuhkan makanan,” papar Eva.
Tak hanya itu, lanjut Eva, kondisi ini juga membawa banyak kerugian ekonomi, lingkungan dan dampak sosial.
“Di satu sisi 1,9 juta masyarakat Indonesia masih kelaparan. Jadikan ironis orang yang buang sampah makan banyak banget, di satu sisi masih ada yang butuh banget. Jadi kami hadir di tengah-tengah untuk mempertemukan gap itu,” jelasnya.
Bank Makanan
Disebutkan Eva, bermula dari suatu komunitas, Garda Pangan mulai beroperasi pada Juni 2017. Selain Eva, startup sosiopreneur ini juga diinisiasi oleh Dedhy Bharoto Trunoyudho dan Indah Audivtia.
“Kami percaya bahwa setiap kota di Indonesia harusnya punya food bank, apalagi kota-kota besar. Karena di kota besar itu gap-nya kelihatan, industri hospitality banyak banget, otomatis permintaan bahan makanan juga banyak. Di satu sisi kemiskinan urban juga banyak di kota itu. Jadi, idealnya setiap kota harus punya food bank,” ungkapnya.
Menurut Eva, modal untuk membangun Garda Pangan ini hampir tidak ada. “Modal awal lebih banyak ke yang operasional pastinya. Misal beli bungkus nasi, bensin dan operasional setiap hari. Karena awalnya kalau untuk transportasinya kami pakai mobil relawan belum punya apa-apa. Dan kalau yang masak-masak kami pinjem dapur founder. Awalnya, yang penting jalan dulu,” kisah Eva.
Eva mengakui mereka mengusung konsep food bank yang sudah banyak beroperasi di luar negeri. “Kami tidak bisa tiru mentah-mentah konsepnya. Apalagi kalau di luar, food bank itu adalah makanan kaleng sehingga harus ada gudang. Sementara kalau di Indonesia kebanyakan makan basah. Ibaratnya kalau tidak makan nasi nggak kenyang,” kisahnya.
Hal ini didukung oleh dua founder lainnya yang memang punya latar belakang usahaa katering untuk acara pernikahan atau pesta ulang tahun. Dari pengalaman mereka melihat banyak makanan yang terbuang. Layaknya bank, Garda Pangan rutin menerima makanan sisa dari para nasabah mereka.
Dengan bantuan sekitar 40 lebih relawan, Garda Pangan menyalurkan hampir 3.000 porsi makanan setiap bulannya. Aksi itu masih dibantu relawan tidak tetap. Jumlahnya sekitar empat orang setiap harinya. Garda Pangan sengaja membuka kesempatan seluas-luasnya lantaran tingginya animo masyarakat untuk berpartisipasi.
Eva mengatakan donasi yang masuk ke komunitasnya selama ini selalu tetap ada dan bisa mendukung kegiatan mereka. Mereka membuka crowdfunding untuk kegiatannya melalui situs Kitabisa.com. Bahkan, baru-baru ini, sekelompok industri kreatif di Surabaya menyumbangkan 10% dari penjualan pada Juni untuk keperluan operasional di Garda Pangan.
Meski demikian, kegiatan mereka bukannya tanpa kendala. Eva mengakui bahwa semakin bertambahnya jumlah nasabah yang menyetorkan makanan, kebutuhan akan fasilitas pendukung pun kian mendesak. “Kalau SDM sebenarnya berlebih. Justru, fasilitas dan infrastruktur yang sebenarnya paling menjadi tantangan,” tuturnya.
Selama 14 bulan menekuni bisnis social enterprise. Eva mengaku kendala sebenarnya bukan datang dari pihak si penerima, melainkan masalah operasional yang terkadang secara mendadak menghubunginya di luar jadwal yang ditentukan.
“Kalau kendala penerima hampir tidak ada, penerima kami very happy-lah dan merasa sangat terbantu. Tapi kendala sebenarnya, biasanya datang di operasional ya. Soalnya sekarang ini aja kami jalan setiap hari harus menjemput makanan. Kalau jemput makanan yang sudah rutin jadwalnya masih oke, tetapi di luar itu kami juga menerima dari event. Nah event itu yang kadang-kadang jam 11 malam menghubungi. Coba dibayangkan ada 500 porsi keluarin makanan dari gedung ke parkiran aja sampai 3 jam sendiri. Jadi hal-hal yang sifatnya dadakan seperti itu yang agak susah, mau kami tolak melihat jumlahnya besar. Jadi selama kami bisa, pasti kami ambil,” ungkapnya.
Toh, kerja keras Eva dan tim Garda Pangan berbuah hasil manis. Mereka berhasil mendapat pengakuan luas dari masyarakat. Bahkan, sejumlah penghargaan berhasil mereka sabet.
Fokus Target
Dari seluruh capaian mereka saat ini, Eva mengatakan bahwa Garda Pangan tetap ingin agar kegiatan mereka di Surabaya bisa berlangsung dengan lancar dan bisa bertahan. Lalu setelah kesadaran akan pentingnya food bank semakin meluas, barulah Garda Pangan melangkah menjadi sebuah social enterprise.
“Sebagai social enterprise sebenarnya kami ingin mencapai hotel. Cuma untuk masuk ke hotel itu kami belum punya portofolio. Tapi next time, kami mau nge-charge ke hotel dan ada added value yang kami kasih. Misal makanan yang kami dapat sejumlah 1 ton dalam sebulan itu kami distribusikan ke 3.000 orang, dan itu oleh pihak hotel bisa diklaim untuk CSR,” jelasnya.
Selain itu, mereka juga menargetkan untuk membuat environment impact report. “Dari 1 ton yang kebuang itu, misalnya kami sudah menyelamatkan sekian kubik meter metana, yang kontribusinya ke global warning. Karena sampah makanan itu sebenarnya mengeluarkan emisi gas rumah kaca. Nah kalau mereka food waste-nya dihilangkan, akan ada kontribusi untuk lingkungan. Hal itu dapat digunakan hotel untuk mendapatkan green status terutama untuk hotel-hotel bintang empat dan lima,” lanjut Eva.
Diklaim Eva, selama 14 bulan Garda Pangan beroperasi, sejauh ini sudah ada 110 daerah yang siap didistribusikan sebagai sebagai penerima makanan. Salah-satunya panti asuhan.
“Saat ini jumlah sudah ada 110 daerah di Surabaya yang biasa bisa kami distribusikan makanan tersebut. Dari 110 itu meliputi panti asuhan, panti jompo, shelter anak jalanan, keluarga pra sejahtera, kaum difable, pengungsi jadi masing penerima itu kami survey supaya percaya diri kami kasih bisa tepat sasaran,” paparnya.
Menurut Eva, hingga saat ini Garda Pangan belum memperoleh revenue. Semua masih berdasarkan donasi dari masyarakat.
“Sebenarnya untuk operasional kami ini sudah ter-cover dari donasi, karena banyak orang di Surabaya yang merasa satu visi dengan kami. Belum lama ini ada 5 atau 6 bisnis mengumpulkan dan sepakat untuk mendonasikan 10 hasil yang mereka dapat. Terus ada anak SMA kumpulin fund rising, terus dikasih ke kami. Jadi, untung selalu ada orang baik yang membantu kami. Seperti sekarang kantor kami ini didonasikan sama orang, termasuk website kami ada yang membiayai,” jelas perempuan lulusan S1 Tehnik Industri ITB.
Meski demikian Eva berharap dapat melakukan pengembangan untuk memperluas skala bisnis Garda Pangan.
“Kalau pengembangan lainnya kami lagi mengarah ke social enterprise. Dari donasi memang bisa hidup, tapi sampai kapan. Supaya sustainable kami harus monetize. Makanya kami sudah mengembangkan beberapa bisnis model. Harapannya bisa fokus, sebagai social enterprise. Dengan begitu, semakin banyak mitra yang berpartisipasi, semakin banyak juga makanan yang kami distribusikan dan semakin banyak juga yang merasakan manfaatnya,” pungkas Eva.
==================================
Eva Bachtiar
- Tempat Tanggal Lahir : Bontang 3 Mei 1986
- Pendidikan : S1 Tehnik Industri ITB
- Nama Usaha : Garda Pangan
- Jabatan : CEO & Founder
- Mulai Usaha : 10 Juni 2017
- Jumlah mitra : 3 Restoran, 3 Bakery, 1 pasar organik, 1 distributor buah, 1 catering dan festival kuliner di Surabaya
- Jumlah tim : 30 org relawan tetap dan 170 freelance
Prestasi :
- Startup with Best Social Impact di tahun 2017 dalam TEMPO Startup Awards
- Top 20 Asean Young Sociopreneur Program
- Top 25 Startup in Telkom Sociodigi Leader 2017
- Juara 3 Indofood Local Pitch Competition 2018
=====================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia