youngster.id - Salah satu permasalahan yang banyak dihadapi kota besar adalah manajemen pengelolaan sampah. Pemegang kebijakan kota besar umumnya tidak memiliki data yang valid terkait volume sampah yang dihasilkan per hari. Begitu juga dengan sistem pengolahan sampah yang belum terintegrasi.
Kondisi ini juga terjadi di Bali. Sebagai daerah tujuan wisata, kebersihan serta keasrian kawasan wisata menjadi syarat mutlak. Masalahnya, pengelolaan sampah, termasuk sampah plastic, yang menyerbu sejumlah pantai di Bali belum ditangani maksimal.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan pernah mengatakan sampah di Bali dalam sehari bisa memproduksi sampah sebanyak 3.000 ton lebih per harinya. Sampah-sampah tersebut datang dari luar, bahkan dari dalam negeri sendiri.
Menyikapi permasalahan sampah tersebut, dua anak muda di Bali mengembangkan usaha rintisan, bernama Gringgo, untuk turut mencoba menyelesaikan masalah sampah melalui aplikasi. “Aplikasi Gringgo merupakan salah satu platform teknologi digital yang memungkinkan pengguna memperoleh jasa penjemputan sampah ke rumah dengan tarif tertentu. Tak cukup sampai di situ, pengguna aplikasi dapat memantau secara real time mulai dari proses pengangkutan sampai ketempat pembuangan akhir dan pendauran ulang,” papar Febriadi Pratama, Cofounder Gringgo kepada youngster.id belum lama ini.
Startup yang mulai beroperasi tahun 2015 ini didirikan atas inisiatif Febriadi dan Olivier Pouillon. Mereka mengawinkan pengelolaan sampah dengan teknologi yang terintegrasi. Hasilnya, sangat efektif bahwa jumlah sampah di suatu daerah dapat ditekan jumlahnya.
“Pada prinsipnya di sini kami yakin kalau sampah itu ada nilainya secara komersial. Bisa lebih banyak yang dapatkan uang untuk hidup sejak dari pengambilan sampah maupun proses recycle dengan pungutan yang terukur,” ungkap Febriadi yang bertndak sebagai Chief Technology Officer Gringgo.
Dalam hal ini, aplikasi Gringgo menghubungkan seluruh pihak yang terlibat dengan pengelolaan sampah, baik pemulung maupun private collector sampah. Platform ini meneruskan permintaan pengguna kepada pengangkut sampah yang berada di sejumlah wilayah di Denpasar, Bali.
Saat ini, Gringgo telah memiliki 5000 mitra kerja (masyarakat). Menurut Febriadi, aplikasi Gringgo memprioritaskan pengembangan kualitas sistem sebelum memperluas jangkauan layanan ini. Berbagai peluang kerjasama dengan pemerintah daerah maupun corporate partner juga tengah diburu untuk mewujudkan ekspansi layanan Gringgo.
“Saat ini kami ada sekitar 5000 rekan kerja di wilayah Denpasar, dan kami akan mengembangkannya kembali ke daerah Lombok. Pastinya kami memprioritaskan pengembangan kualitas sistem sebelum memperluas jangkauan layanan ini. Berbagai peluang kerjasama dengan pemerintah daerah maupun corporate partner terus kami lakukan agar kami dapat berekspansi ke wilayah lain,” jelas anak pertama dari 3 bersaudara ini.
Private Collector Sampah
Febriadi menjelaskan, walaupun aplikasi Gringgo mulai dibangun sejak tahun 201, namun baru establish di tahun 2017.
“Ceritanya saya dan Olivier bertemu dalam satu acara startup Weekend Bali pada tahun 2014 lalu. Dari situ ada obrolan, kemudian dia memiliki ide ingin membangun platform digital untuk pengelolaan sampah. Dari situ kami gali ide yang kemudian running sampai sekarang,” kisah Febriadi.
Gringgo merupakan pemenang dari ajang Startup Weekend Bali 2014, dan berhasil masuk Accelerator dari sebuah perusahaan swasta. Gringgo akhirnya mendapatkan pendanaan hibah dari non government organization (NGO) asal Amerika Serikat (AS).
Menurut Febriadi, pengalaman Olivier yang sudah bergelut di bisnis pengelolaan sampah berpadu dengan kemampuannya yang melihat dari sisi teknologi. “Jadi melalui Gringgo ini kami mencoba membangun platform digital untuk mengatasi sitem pengelolaan sampah. Dengan bantuan teknologi hal ini bisa diselesaikan,” jelasnya.
Menurut alumni ITB ini, dengan sistem ini Gringgo menemukan beberapa masalah pokok, yakni tracking terhadap motor pembawa sampah serta pemetaan wilayah. Sebelumnya, motor pembawa sampah tidak bisa dikontrol dengan baik sehingga seringkali dalam satu wilayah bisa didatangi lebih dari satu pengangkut.
Dengan aplikasi Gringgo, motor sampah bisa dikontrol serta memiliki pemetaan wilayah lebih baik. Aplikasi juga bisa memonitor keberadaan dan pekerjaan motor sampah. Aplikasi juga membantu desa memangkas subsidi sampah, yakni dari 100 juta menjadi 40 juta per tahun. Kemudian banyak penduduk mulai mengubah pola pikir terhadap sampah. Penduduk tidak lagi membuang sampah ke sungai tetapi tertarik menggunakan jasa angkut.
Layanan ini juga memungkin penyedia data volume sampah harian yang valid. Data itu dapat dipergunakan pemerintah untuk menentukan kebijakan lingkungan yang lebih terfokus. Bahkan hadirnya platform ini cukup dirasa banyak memberikan manfaat bagi semua orang.
“Di sini kami nggak proses sendiri, kami punya partner, dan partner itu adalah pengelola, kolektor bahkan industri. Jadi di sini tugas kami itu men-tracking data dan kami ada sistem untuk menangkap berapa banyak plastik dalam tumpukan sampah. Ke depannya yang kami ingin achive, kami nggak hanya punya software dan hardware juga. Jadi ketika kami datang ke 100 kota itu kami bisa lihat landscape persampahannya bagaimana dan sampah itu diambil dari mana saja, dilarikan kemana dan terus scoop-nya berapa besar. Kami akan fokus ke situ,” papar Febriadi lagi.
Market Besar
Febriadi mengatakan, pemegang kebijakan kota besar umumnya tidak memiliki data yang valid terkait volume sampah yang dihasilkan per hari. Begitu juga dengan sistem pengolahan sampah yang belum terintegrasi.
“Itu yang bisa diselesaikan dengan teknologi. Skala ekonomi pengelolaan sampah itu besar sekali tapi banyak yang enggak lihat,” ujarnya.
Disebutkan Febriadi, aplikasi Gringgo menghubungkan seluruh pihak yang terlibat dengan pengelolaan sampah, baik pemulung maupun private collector sampah. Platform itu meneruskan permintaan pengguna kepada pengangkut sampah yang berada di area itu. “Kami hanya bawa tools teknologi,” tegasnya.
Layanan tersebut, lanjut Febriadi, memungkinkan penyediaan data volume sampah harian yang valid. Data itu dapat dipergunakan pemerintah untuk menentukan kebijakan lingkungan yang lebih terfokus.
Febriadi juga mengungkapkan, masuk era digital saat ini sangat mendukung sekali dengan bisnis yang ditekuninya karena membawa pengaruh positif yang besar bagi kemajuan perusahaan rintisannya.
“Yang jelas pengaruhnya sangat besar karena kami inikan fokusnya di teknologi. Jadi buat scaling up akan terasa lebih mudah. Terus untuk tim lebih manageable-lah, dan kami nggak ada infrastruktur yang besar banget tapi terasa lebih mudah menjalankannya. Dan saat ini sampah yang kami kumpulkan masih belum banyak, baru dapat sebanyak 25 ton. Itu masih kecil di wilayah Denpasar karena sampah yang dihasilkan di kota itu bisa mencapai ribuan ton,” terangnya.
Setelah beroperasi cukup lama, kini Gringgo bakal memperluas jangkauan layanannya ke luar Bali. Namun Febriadi ingin memprioritaskan pengembangan kualitas sistem terlebih dulu, sebelum memperluas jangkauan layanan Gringgo. Berbagai peluang kerja sama dengan pemerintah daerah maupun corporate partner juga tengah diburu untuk mewujudkan ekspansi layanan Gringgo.
“Mudah-mudahan tahun ini sudah bisa diperluas ke beberapa kota lain di luar Bali, tapi mungkin belum sampai kota sepadat Jakarta atau Bandung. Mungkin terlebih dulu ke kota-kota yang tidak terlalu crowded yang populasinya sekitar 500.000 – 2 juta penduduk,” ungkap pria kelahiran Bandung ini.
Febriadi melihat peluang di bisnis pengelolaan sampah masih sangat besar. “Ada persaingan tetapi kami melihatnya sebagai partner. Karena kami lihat market-nya gede banget dan kami nggak mau melihat mereka sebagai kompetitor. Sebenarnya, kalau saya melihat di Indonesia sendiri dengan model bisnis yang sama dan memang belum ada. Tapi ada beberapa yang mirip-mirip modelnya, tapi keberadaannya di luar negeri,” katanya.
Dia menyebut model bisnis Gringgo adalah tracking sampah. Dan hingga saat ini sudah 8 orang tim yang bergabung dalam Gringgo. “Kami bangun infrastruktur persampahan di Indonesia, ya sambil dapat profit margin. Kami starting dari nol, dan sekarang revenue-nya US$ 10.000 sampai US$ 20.000,” ungkapnya.
Selain itu, Febriadi juga mengaku ingin melakukan implementasi konsep industrial revolusi 4.0 di industri persampahan. “Tujuannya sih merevolusinize industri persampahan karena saat ini yang ada masih tradisional. Dan kami tahu kalau kami bisa merevolusinize hal itu, impact-nya buat masyarakat sampah mereka bisa tertangani, dan kalau industrinya mereka bisa mendapat kesejahteraan yang baik,” lanjut dia.
Febriadi juga ingin timnya bertumbuh, bahkan mereka sedang mengumpulkan modal. “Dengan pengembangan tim dan dana, maka wilayah lain yang kami mau sasar bisa tercapai. Kami juga berharap kehadiran Gringgo dapat mengubah industri dan menjadi solusi dari permasalahan sampah di Indonesia dan dunia,” pungkasnya.
=======================================
Febriadi Pratama
- Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 2 Februari 1985
- Pendidikan Terakhir : Sarjana Desain Interior Institut Teknologi Bandung
- Nama Usaha : Gringgo
- Jabatan : Cofounder & Chief Technology Officer
- Jumlah Tim : 8 Orang
- Revenue : US$ 10.000 – US$ 20.000
Prestasi
- Juara I Go Startup Indonesia 2018,
- Mentor Nasional 1000 Startup Indonesia
======================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post