youngster.id - Potensi perikanan Indonesia mencapai US$ 162 miliar dengan posisi nomor tiga terbesar di dunia. Ada banyak peluang produk-produk perikanan Indonesia ini untuk pasar dunia. Salah satunya adalah udang. Pasar udang di dunia mencapai US$ 24 miliar per tahun, dan Indonesia masih dalam posisi kelima.
Presiden Joko Widodo belum lama ini mengatakan, pasar dunia terbuka lebar, namun rantai pasok bahan baku baik berupa udang, kepiting, rajungan, cumi, hingga ikan harus ditingkatkan sehingga akan memberi nilai tambah produk-produk laut tersebut bagi pemasukan negara.
Salah satu sektor budidaya perikanan yang pertumbuhan ekspornya didorong pemerintah adalah udang. Pasalnya kebutuhan udang dunia per hari sekitar 13 juta ton. Sementara saat ini produksi udang Indonesia masih belum mencapai 1 juta ton. Padahal Indonesia merupakan penghasil udang terbesar dengan beragam jenis.
Untuk menggarap peluang ini, Hardi Junaedi dan Dedi Cahyadi mendirikan usaha rintisan Nanobubble Indonesia (nanobubble.id). Ini adalah perusahaan manufaktur teknologi nanobubble pertama di Indonesia untuk pemanfaatan di bidang budidaya perikanan air payau dan air tawar.
“Teknologi kami menghasilkan gelembung berukuran nano untuk dapat secara signifikan meningkatkan kandungan gas seperti oksigen, karbondioksida, nitrogen di dalam ekosistem perairan,” kata Hardi, yang bertindak sebagai CEO Nanobubble, kepada youngster.id.
Hardi menjelaskan, gelembung yang terdapat di air berfungsi untuk meningkatkan kadar oksigen di dalam air. Agar dapat “dikonsumsi” oleh ikan dalam hal ini udang, maka dengan teknologi berupa alat Nanobubble, gelembung oksigen dapat menjadi berukuran nano (70-200 nm).
“Kelebihan mesin kami adalah gas yang diinjeksi akan dipecah dan dilarutkan dalam air di dalam milling zone (zona pemecahan) sehingga menghasilkan luaran air dengan kelarutan gas yang tinggi dengan ukuran gelembung (bubble) di kisaran 200-900 nanometer. Gas yang berada di dalam bubble akan mudah larut dalam air. Dampaknya kadar gas menjadi lebih tinggi daripada kondisi pada umumnya,” papar Hardi.
Gas yang dimaksud adalah oksigen dan bermanfaat meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam tambak udang, sehingga pada panen pertama mampu meningkatkan hasil panen hingga empat kali lipat.
Menurut Hardi, dengan teknologi Nanobubble diharapkan dapat menjadi solusi bagi pengelolaan kualitas air selama proses produksi budidaya, khususnya oksigen. Oksigen dalam air sangat diperlukan oleh ikan untuk kebutuhan metabolismenya. Semakin kecil gelembung air, jumlah difusi oksigen semakin besar dan kelarutan oksigen semakin tinggi.
Lebih jauh, ia memaparkan bahwa teknologi Nanobubble mampu mendukung produksi ikan atau udang. Sebab, aktivitas metabolismenya meningkat sehingga lebih efektif dalam memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan ikan.
“Melalui teknologi Nanobuble ini kualitas air akan terjaga. Ikan tumbuh secara optimal, dan hemat energi. Ini sangat cocok untuk dikembangkan karena selaras dengan konsep keberlanjutan,” kata Hardi.
Saat ini, mesin Nanobubble telah digunakan di sekitar 15 wilayah tambak/kolam kecil di Indonesia dan ekspor ke negara Malaysia dan Korea.
Rangkaian Riset
Menurut Hardi, startup Nanobubble ini mulai dikenal ketika menjadi juara di Thinkubator Startup Competition 2019. Saat itu, dengan memanfaatkan teknologi nano dan internet of things (IoT) mereka mengklaim dapat meningkatkan hasil panen petambak udang.
Tetapi, menurut Hardi, sesungguhnya teknologi mesin Nanobubble yang berhasil dikembangkannya tersebut telah melalui serangkaian riset yang panjang.
“Kami melakukan riset dari tahun 2014. Awal risetnya dimulai dari cara bagaimana melakukan pengawetan ikan jadi gelembungnya, gelembung nitrogen yang dimasukkan ke dalam air es batu. Cara tersebut ternyata memiliki fungsi memperpanjang umur simpan dari ikan tuna. Cuma memang penerapannya agak sulit,” kisah alumni ITB itu.
Kemudian di tahun 2017 Hardi kembali melakukan penelitian dan mendapati ternyata manfaat Nanobubble itu sangat baik bagi air di kolam atau di tambak. Kemudian di tahun 2018, dia bertemu dengan Dedi Cahyadi di ajang LPDP Summit. Keduanya lalu sepakat menggabungkan ide untuk investasi udang dengan teknologi Nanobubble.
Walaupun baru mulai berkolaborasi pada tahun 2018, setahun sebelumnya Hardi telah mulai mengembangkan mesin aerator berteknologi nano. Tidak hanya itu, mesin ini juga diintegrasikan dengan IoT sehingga bisa diakses oleh petambak melalui smartphone mereka.
Fungsi utama mesin ini adalah untuk menghasilkan gelembung nano yang dapat meningkatkan kadar oksigen di dalam air. Dalam keadaan normal, kadar oksigen di air sekitar 2-4 ppm, tapi dengan teknologi Nanobubble bisa meningkat hingga dua kali lipat.
“Air dengan kadar oksigen yang lebih tinggi tentu memiliki kualitas yang lebih tinggi. Selain itu juga bisa mempercepat pertumbuhan udang serta mengatasi virus dan bakteri,” katanya.
Sesungguhnya mesin yang dipakai Nanobubble terbilang cukup canggih dan jika diimpor pun mahal. Tapi mereka mampu membuat dan mematenkan sendiri dengan peneliti Fisika LIPI.
“Kalau mesin nano buatan Jepang harganya itu bisa berkisar Rp 200 juta. Tapi kami di sini ciptakan sejenis mesin yang sama dengan kemampuan yang tak kalah hasilnya dan kami banderol seharga Rp 9 juta untuk 1 unitnya. Ini harga mesin Nano buatan kami yang paling murah. Dan dengan harga itu akan bisa dijangkau oleh petani atau pemilik tambak yang ada di sini,” papar Hardi.
Bahkan, awalnya, mesin ini diberikan secara gratis kepada mitra petambak dengan sistem bagi hasil 20% dari setiap keuntungan.
“Kalau misalnya masih berbayar mungkin petani atau petambak masih mikir ya, apa mungkin teknologi ini bisa berfungsi dengan baik di lapangan. Tapi kami coba gratiskan agar mereka tertarik untuk bisa memakai teknologi kami dan meningkatkan hasil panen mereka. Sekarang kami lagi mengembangkan kembali karena banyaknya permintaan untuk pemenuhan bagi kolam kecil dengan harga yang lebih murah tentunya,” ungkapnya.
Kini mesin teknologi Nanobubble telah memiliki 4 versi, yaitu Nanobubble Strep untuk kolam ikan Koi dan ukuran kolam kecil, dan Nanobubble Oxy untuk pasokan air minum. Lalu, ada Nanobubble MPS1 dan MPS2 untuk kolam besar dan kecil. Terakhir, Nanobubble untuk tambak udang, yaitu Nanobubble S400. Harga mulai dari Rp 9 juta hingga Rp 26,5 juta per unit.
Pengembangan Mesin
Pria kelahiran Cirebon, 26 Juni 1992 ini mengakui, awalnya teknologi yang mereka kenalkan sulit untuk diterima pasar. Terutama para petambak dan masyarakat yang masih awam dengan teknologi nanobubble.
“Kami melakukan edukasi bahwa ini teknologi dari Jepang yang kami kembangkan. Dan kemudian edukasi kepada teknisi-teknisi di tambak. Itu lumayan agak perlu perjuangan, bagaimana menjelaskan terkait teknologi baru. Tetapi ketika mereka sudah mencoba dan mendapatkan manfaat, mereka lebih bersemangat,” ungkapnya.
Bahkan, menurut Hardi, dia juga turun langsung ke para penambak dan membuat percontohan-percontohan tambak untuk memperkenalkan teknologi ini.
“Kami pernah ada pengalaman head to head dengan produk China. Tetapi dalam satu siklus produk mereka sudah rusak, karena tambak memiliki air yang lebih keruh. Kami berhasil menjelaskan tentang bagaimana proses dan praktek di lapangannya, dan itu yang menjadi keunggulan kami,” tutur Hardi.
Hardi bersyukur, pengembangan mesin teknologi Nanobubble yang diciptakannya itu telah banyak membantu para petani maupun pemilik tambak di Indonesia terutama dalam meningkatkan produktifitas dan panen mereka.
Menariknya, Hardi kembali mengembangkan mesin teknologi Nanobubble dalam penggunaan air minum ternak hingga permintaan dari berbagai depot air minum isi ulang untuk menghasilkan air minum beroksigen tinggi.
“Sudah banyak permintaan lain dari para pemilik ternak untuk menciptakan alat Nanobubble untuk supply air minum bagi hewan ternak mereka. Juga ada permintaan dari beberapa depot air minum untuk supply air minum untuk manusia yang beroksigen tinggi. Sekarang semua itu sedang kami lakukan untuk memenuhi permintaan tersebut dan sedang berproses untuk kedua cabang di wilayah Depok dan Bintaro,” klaim Hardi.
Selain itu, anak kedua dari enam bersaudara ini juga mengungkapkan tengah menjajaki rencana pengembangan pasar baru di bidang pertanian. Termasuk masukan bahwa teknologi Nanobubble menggantikan pupuk urea. Karena dari udara 79% adalah nitrogen yang diambil dan diserap dalam air dan bisa diserap ke dalam akar. Atau bakteri-bakteri yang membutuhkan nitrogen bisa ke gas nano, bisa menjadi metabolisme mereka.
“Sekarang kami sedang menggandeng para influencer pertanian untuk memperkenalkan teknologi ini dan membuka pasar. Karena di sana juga ada masalah mulai dari aquaponik, hidroponik dengan oksigen yang harusnya tinggal menunggu waktu panen beberapa hari lagi terpaksa gagal karena setalah diketahui ada pembusukan akar. Nah sebabnya karena kekurangan oksigen. Nah kami sedang melakukan itu ketika hasilnya bagus kami akan sebar luaskan ke khalayak luas,” jelas Hardi.
Didukung sebanyak 20 orang karyawan, usaha rintisan yang dikembangkan Hardi ini mampu membukukan omzet Rp 1 miliar per bulan. Bahkan, produk Nanobubble karya anak negeri ini telah diakui keungggulannya di Malaysia dan Korea Selatan.
“Memang pasar di luar itu sudah melirik produk kami, yang selain terjangkau, juga telah terbukti keunggulannya. Sekarang permintaan dari negara lain seperti dari Norwegia, Swiss dan India juga telah ada, tetapi masih tahap penjajakan. Semoga akan dapat segera terwujud,” pungkas Hardi.
=====================
Hardi Junaedi
- Tempat Tanggal Lahir : Cirebon, 26 Juni 1992
- Pendidikan Terakhir : Master, Teknologi Industri Pertanian, IPB, Bogor
- Usaha yang dikembangkan : Membuat mesin teknologi nano
- Nama Brand : Nanobubble Indonesia
- Mulai Usaha : Tahun 2018
- Jabatan : CEO & Founder
- Modal : Rp 5 Miliar
- Jumlah karyawan : 20 orang
- Prestasi : juara di Thinkubator Startup Competition 2019
========================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia